Memulai belajar IELTS
Singkat cerita, saya diterima sebagai Calon Penerima Beasiswa LPDP pada percobaan pertama. Tidak berselang lama, saya diterima sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga.
Ini sebuah anugerah yang semakin membuat saya berani untuk menapaki fase kehidupan baru berikutnya: menikah. Sebagai penerima beasiswa jalur afirmasi, saya mendapat kesempatan belajar IELTS selama 6 bulan di UGM.
Saya masih ingat betul hari pertama pelatihan IELTS. Saat itu, saya menjalani pelatihan menggunakan Zoom Meeting. Masih baru menikah dan masih di rumah mertua, saya menghadapi pretest IELTS. Seorang tutor perempuan melontarkan pertanyaan kepada saya dalam Bahasa Inggris, “Please, introduce yourself!”
Saya benar-benar kelabakan, bahkan untuk memperkenalkan diri. Meskipun sudah menerjemahkan 2 buku dari Inggris ke Indonesia, ternyata hal itu tidak cukup membantu. Hasilnya, saya mendapatkan skor 4, dari nilai tertinggi 9.
Sebagaimana speaking, listening saya juga sama buruknya. Terlebih lagi mengerjakan soal akademik writing! Jangankan nilai 4, menulis dalam Bahasa Inggris saja saya tidak pernah. Apa yang akan dinilai jika dari 4 paragraf yang harus ditulis, saya hanya bisa menuliskan 2 kalimat? Saya mendapatkan skor 2 dari 9.
Sementara untuk reading, saya akui tidak buruk-buruk amat. Ketika pretest IELTS, saya terbantu pekerjaan saya sebagai penerjemah amatir.
Walau begitu, ketika berhadapan dengan teks tentang hewan laut atau eksplorasi angkasa luar, misalnya, saya ternyata tidak memiliki perbendaharaan kata yang memadai. Semata karena background studi saya adalah topik-topik seputar studi Islam.
Official test IELTS pertama
Saya mengambil ujian resmi IELTS di Bandung. Kota ini saya pilih karena, berdasarkan rumor, tempat ujian IELTS di kota ini lebih mudah. Khususnya speaking ketimbang di lokasi tes di kota lainnya. Target saya adalah mendapatkan nilai overall 7.
Saya mengajak istri saya yang sedang hamil ke kota Bandung. Membaca selawat dan menunaikan salat Dzuha sebelum ke tempat ujian. Hasilnya, saya mendapatkan nilai 6. Sebuah pencapaian yang luar biasa sebenarnya mengingat saya memulainya dari overall 4. Tapi ya tetap saja itu berarti saya tidak memenuhi persyaratan administrasi kampus tujuan saya.
Test kedua
Saya kembali mengambil perpanjangan kursus IELTS selama 3 bulan di UGM dengan pembiayaan dari LPDP. Pagi hari saya jogging sambil mendengarkan podcast berbahasa Inggris. Pukul 8 sampai 4 sore di UGM, dan malam harinya belajar soal-soal latihan secara mandiri.
Saya berlangganan platform writing9 (writing9.com). Ini adalah sebuah aplikasi yang bisa menilai writing saya seharga Rp180-an ribu per bulan. Saya juga memiliki teman-teman yang mau latihan speaking setelah kelas di UGM selesai.
Hasilnya, saya mengalami peningkatan yang signifikan. Tidak ada nilai yang di bawah 6, tetapi tidak ada yang mencapai skor 7. Artinya, saya tidak berhasil mencapai target skor minimal yang dibutuhkan perguruan tinggi tujuan saya.
Tes ketiga IELTS dan seterusnya
Saya terus belajar IELTS. Saat yang sama, saya dikarunia momongan. Di tengah kesibukan ngrumati bayi, saya terus meluangkan waktu belajar IELTS.
Semua soal latihan dari Cambridge IELTS, dari buku seri 9 sampai 17 saya kerjakan semua. Jika dihitung, setidaknya saya telah melakukan setidaknya 36 latihan IELTS. Sembilan buku, dan setiap buku terdiri dari 4 latihan soal, saya kerjakan. Itu masih saya ulangi 2 sampai 3 kali.
Saya juga meminta kepada kaprodi di tempat saya bekerja sebagai dosen untuk mengajar Bahasa Inggris. Di sana, saya membagikan semua pengetahuan yang saya dapat tentang Bahasa Inggris. Sekaligus, saya juga praktik di dalam kelas bersama mahasiswa. Sebuah totalitas tak tertandingi.
Karena sudah tidak bisa lagi meminta pelatihan IELTS ke LPDP, saya mengambil kursus yang ada di sekitar Jogja. Selain itu, saya juga ikut course berbayar dari tutor di Youtube yang berdomisili di London.
Dari mana uang untuk kursus itu? Ya tentu dari gaji saya yang senilai biaya tes IELTS. Saya bisa mengatakan bahwa gaji saya selama 1 tahun hanya digunakan untuk membiayai kursus dan test IELTS saja.
Untuk sehari-hari, saya meminta istri untuk mencukupinya. Ya, kamu tak salah baca. Konstruksi sosial patriarkal agaknya tak berlaku di keluarga kecil saya.
Walaupun demikian, saya benar-benar merasa lelah dan malu terutama kepada istri. Kenapa saya begitu bebal? Pingin putus asa, tetapi tidak bisa. Saya sudah terlalu jauh melangkah. Hidup saya benar-benar hanya untuk IELTS. Saya tidak sempat menulis esai ke media, bahkan projek terjemah saya terbengkalai lebih dari 1 tahun.
Perkembangan yang terjadi kepada saya
Namun, di tengah tekanan seperti itu, saya menyadari satu hal. Saat itu, saya sudah bisa menulis, ngomong, dan mendengarkan percakapan para native speaker. Saya sudah tidak peduli lagi dengan materi bacaan, tentang black hole, ikan-ikan di laut dalam, atau struktur bangunan piramida di Mesir.
Perubahan ini terasa terutama ketika interview atau mengobrolkan proposal dengan calon supervisor dari kampus di Australia atau negara-negara Eropa. Saya bisa memahami dan menjelaskan topik riset saya.
Satu-satunya hal yang menghentikan saya tidak lagi mengambil ujian IELTS adalah waktu pencarian LoA yang mulai mendekati hari H. Jika tak kunjung mendapatkan LoA, secara otomatis, saya dinyatakan gugur sebagai calon awardee. Akhirnya, dengan overall 6.5, saya realistis memilih kampus.
Menjadi orang yang lebih berani
Terlepas dari nilai yang tidak tercapai, setidaknya 2 tahun belajar IELTS telah membawa saya menjadi orang yang berani berbicara. Misalnya menjadi moderator atau presenter dalam forum-forum akademik. Saya juga bisa menulis dan mendengarkan podcast tanpa perlu melihat subtitle.
IELTS yang awalnya saya kira sebagai tangan kanan kolonialisme mungkin ada benarnya. Namun, harus saya akui bahwa tes kompetensi ini sangat mencerminkan di mana level Bahasa Inggris saya berada
Kini, anak saya sudah berusia 2,5 tahun dan artikel ini adalah tulisan pertama saya setelah bertapa mengarungi dunia IELTS. Jika Tuhan mengizinkan, saya sebentar lagi akan belajar di salah satu negara di Eropa bagian barat dengan nilai IELTS yang tidak pernah mencapai rata-rata 7.
Semoga bermanfaat!
Penulis: Azis
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tips Belajar Bahasa Inggris dari yang Awalnya Bego Banget Sampai Bisa Kuliah ke Eropa dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












