MOJOK.CO – Tentara vs sipil akan selalu menjadi humor gelap, yang menyelimuti Indonesia. Hilal akan kegelapan itu sudah di depan mata kita semua.
Medio 2024, di sebuah museum militer milik Kemenhan-nya Belanda, saya bercakap-cakap dengan seorang veteran tentara KNIL. Saya memanggilnya Papayan, sebagaimana dia mengenalkan dirinya.
Papayan cerita banyak tentang pengalamannya selama bertugas di Indonesia ketika Perang Dunia ke-II memasuki masa senja. Salah satu yang bikin percakapan kami makin hangat saat itu adalah obrolan tentang rokok kretek.
Saya lalu menyodorkan sebungkus refill kepadanya. Dia bilang aroma cengkehnya bikin nostalgia. Di detik-detik ketika dia memantik api, seseorang datang menginterupsi.
“It will kill you!” ujar Paul, sang direktur museum tempat Papayan dan rekan sebaraknya menghabiskan usia lanjut.
“Nope! I’ll kill it first, instead,” tukas papayan sambil mematikan rokonya.
Kami lalu saling melempar tawa. Ngakak.
Sejurus kemudian, Paul berkata dengan tatapan sedikit tajam kepada saya. “You shouldn’t trust him. He’s military!”
Mendengar hal itu sensasi adrenaline rush saya langsung tersulut. Saya coba meneroka. Jelas itu adalah ungkapan keakraban dengan sentuhan humor. Tapi, kalau memang humor, buat saya itu kelewat gelap. Tapi, Papayan ternyata jauh lebih rileks dari yang saya bayangkan, walaupun dia juga tak kalah gelap lemparan jokes-nya.
“Don’t listen to what he said. I hate him. He’s a civilian!” kata Papayan kepada saya sebelum menjatuhkan lirikannya kepada Paul.
Kami lalu kembali saling melempar tawa. Kali ini dengan sedikit kegetiran. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Tentara vs sipil
Sejujurnya saya tidak terlalu memahami konteks 2 menir Belanda tulen itu bisa membuat candaan spontan se-dark itu. Namun, relasi tentara dan sipil dalam konteks kehidupan bernegara memang penuh dengan intrik dan konflik berkepanjangan.
Sejarah mencatat bahwa hubungan antara warga sipil dan tentara selalu menjadi medan tarik-ulur kepentingan. Baik dalam konteks pemerintahan demokratis maupun otoriter. Relasi ini tidak hanya berkutat pada aspek keamanan dan pertahanan, tetapi juga merangsek ke dalam persoalan politik, ekonomi, hingga sosial-budaya.
Kamu bisa menemukan salah satu tamsil klasik dari ketegangan sipil-tentara dalam sejarah Romawi Kuno. Misalnya, sebuah legenda jenderal kawakan, Julius Caesar, yang menyeberangi Sungai Rubicon pada tahun 49 SM dengan pasukan bersenjata lengkap.
Tindakan berani itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum. Saat itu, Kota Roma mengadatkan bebas dari kepentingan militer. Apalagi dengan intervensi jenderal dan berkompi-kompi pasukannya. Tak butuh waktu lama, Caesar dituding telah menantang otoritas Senat Romawi dan akhirnya memicu perang saudara.
Dalam konteks politik modern, hubungan sipil-tentara di pusat peradaban kapitalis, Amerika Serikat, juga mengalami pasang surut. Selepas Perang Dunia II, Presiden Dwight D. Eisenhower memperingatkan tentang “kiamat sugra” yang dipicu oleh “kompleks industri-militer”.
Dia mewajangkan alerta ini dalam sebuah pidato perpisahan tahun 1961. Saat itu, dia mewanti-wanti pengaruh tentara terhadap kebijakan ekonomi dan politik dapat mengikis supremasi sipil dalam sistem demokrasi.
Dinamika tentara vs sipil di Indonesia
Di Indonesia, hubungan sipil-tentara memiliki dinamika sejarahnya sendiri. Khususya dalam kaitannya dengan pembentukan negara dan perjalanan politik bangsa.
Pada era Orde Lama, militer lebih bermain peran sebagai penumpas pemberontakan dan menjaga stabilitas negara pasca-kemerdekaan. Hanya, hasrat militer untuk mendominasi panggung politik pun makin mencuat. Utamanya selepas peristiwa G30S/PKI 1965. Fase ini kemudian mengantarkan Soeharto ke tampuk kekuasaan.
Rezim Orde Baru, pada gilirannya, menempatkan tentara di hampir semua aspek kehidupan bernegara melalui ideologi Dwi Fungsi ABRI. Dari sini, tentara akhirnya punya peran ganda. Mereka bukan saja alat pertahanan negara, tetapi juga dimungkinkan oleh sistem untuk menjadi semacam kekuatan sosial-politik baru.
Memang, gelombang reformasi 1998 sempat menjadi titik balik penting dalam hubungan sipil-tentara di Indonesia. Setelah Gus Dur jadi Presiden ke-4 RI, TNI secara resmi hengkang dari politik praktis dan mengakhiri masa-masa kegemilangan Dwi Fungsi ABRI.
Walau begitu, telah banyak studi yang menunjukkan bahwa pengaruh tentara tetap kuat dalam aspek-aspek strategis pemerintahan. Keterlibatan mereka dalam sektor ekonomi, seperti pengelolaan lahan dan bisnis, hingga “kiprahnya” dalam kebijakan keamanan dalam negeri, masih menjadi bahan perdebatan, riset, juga rasan-rasan, hingga kini.
Bisa menjadi aktor politik utama
Apapun itu, yang mesti berpagi-pagi perlu disadari adalah kita bahkan bisa dengan gamblang menyaksikan bagaimana militer, tanpa senjata apinya, juga bisa menjadi aktor politik utama dalam konteks kehidupan bernegara. Ia mungkin bisa produktif (setidaknya buat militer itu sendiri), walaupun banyak sekali dampak destruktifnya bagi kepentingan publik.
Myanmar, saya rasa, menjadi contoh paling dekat terkait hal ini. Kudeta militer circa 2021 itu menegaskan bahwa supremasi sipil atas tentara belum sepenuhnya kokoh di banyak negara, terutama yang memiliki sejarah panjang pemerintahan otoriter.
Di titik ini, saya kemudian menginsafi bahwa humor gelap yang dilemparkan Paul dan Papayan dalam percakapan kami di museum militer Belanda tahun lalu agaknya bukan sekadar candaan belaka. Ia kini menemukan relevansinya, terutama dalam mencerminkan realitas ketegangan historis antara sipil dan tentara yang telah terjadi selama berabad-abad.
Ya, di balik humor gelap Arnhem waktu itu terpantul semacam skeptisisme terhadap tentara dan sebuah sentimen terhadap sipil yang diwarisi dari sisa-sisa ketidakpercayaan sejarah panjang hubungan keduanya. Dalam skala yang lebih besar, ketegangan ini kemungkinan akan terus berlanjut dalam berbagai bentuk di berbagai negara.
Utamanya di Indonesia. Apalagi dengan menyingsingnya hilal yang sudah melampaui ufuk kembalinya Orba yang serba militeristik itu.
Penulis: Anwar Kurniawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA TNI Sudah Multifungsi Kok Malah Mau Dwifungsi? Dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.