MOJOK.CO – Mengupas korelasi kebangkitan AC Milan dari perspektif ilmu hukum tata negara
Hukum tata negara tampaknya menjadi ilmu yang belakangan ini amat digemari. Ia sudah menjadi semacam tren masa kini, bahkan cenderung edgy. Tinggal menunggu waktu sampai Nadin Amizah bikin kutipan “Terima kasih sudah belajar hukum tata negara sampai sejauh ini” atau muncul band folk psychedelic bernama ‘The Tatanegaras’.
Ini serius. Coba saja amati linimasa media sosial, di sana, kita bisa menemukan banyak sekali komentar maupun para “ahli” tata negara baru yang bermunculan di tahun-tahun politik belakangan ini. Ilmu tata negara mendadak menjadi punya banyak peminat. Jumlahnya pun kolosal. Bak kedai kopi baru di Condongcatur atau Jalan Kaliurang.
Ini tentu menjadi fenomena yang sangat menarik. Dahulu, pada zaman Pak Harto, tata negara adalah ilmu yang dicurigai. Pengajarnya sering dicap penganjur heretik. Bid’ah. Hal yang kita tahu dalam dalil dikatakan seluruh penganjurnya adalah sesat dan harus berakhir di neraka.
Beruntung Pak Harto adalah tipikal pemimpin yang agak abangan. Belio masih lebih jeli dibanding aliran tertentu yang memukul rata bid’ah akan berakhir di neraka. Bagi Pak Harto, hukum tata negara tetap ada yang beraliran hasanah. Bid’ah yang baik, khususnya pengajar hukum tata negara yang kala itu bisa menyokong otoritarianisme orde baru. Atau sekurang-kurangnya mengajarkan hukum tata negara dengan mengenalkan UUD, Pancasila, dan P4 dengan nada datar dan dingin hanya demi ilmu.
Saya ingat benar siaran Forum Negara Pancasila yang dibawakan Pak Tejo Sumarto di RRI tahun 1980-an yang diperintahkan oleh Ali Murtopo harus berlanjut dan terus mengudara sepanjang zaman orde baru. Suaranya yang gagah dan dalam serupa suara Arya Kamandanu itu sekaligus menjadi penanda buat saya untuk segera mandi dan berangkat ke sekolah.
Bagi Pak Harto, tentu para ahli hukum tata negara yang mau membawa ilmu sekadar ilmu tak akan diperangi. Tak membahayaken, eh membahayakan. Hanya para penganjur hukum tata negara yang mengajarkan pikiran kritis pada negara (sebagai pelaku bid’ad dhalalah) yang harus dihancurkan. Tanpa sebut nama, kita tahu bahwa itu hanya segelintir dan nyaris tak ada.
Maka, di tangan Pak Harto, jadilah Paket UU Politik yang bahasa sederhananya meramu politik menjadi dua partai dan satu golongan. PNS tak boleh berpartai tapi boleh bergolongan. Menggemuklah dukungan golongan berlambang beringin itu.
Ditambah sokongan birokrasi dan militer, ia jadi jaya. Ibarat pepatah Jawa: tumbu ketemu tutup, blantik ketemu dolop.
Hukum tata negara di tangan para pemoles memang menjadi gincu bagi orde baru. Kita semua paham betapa seronoknya, tetapi warna-warnanya tetap membangkitkan hormon serotonin yang bisa membuat orang terlupakan dengan dihibur pakai bahasa “demi pembangunan”.
Tragisnya, hukum tata negara juga terlalu akrab dengan ilmu politik. Saking dekatnya, seringkali kayak orang pacaran, saling memuji, saling menguatkan, hanya ada keindahan, dan pada saat melakukan pernikahan, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Belum tentu bencana, tapi berpotensi jadi awalan petaka. Tak ada hubungan ideologis, seringkali patologis, saling menyakiti.
Ibarat kopi, sehebat apapun para pengajar hukum tata negara dan ilmu politik mencoba menyamar—dengan menambah “gula” melalui bahasa menghibur, “Hukum tata negara adalah tulang dan ilmu politik adalah daging,” atau “Hukum tata negara adalah lokomotif dan politik adalah relnya,” dan bisa berlaku vice versa—rasa pahit hubungan keduanya tetap terasa.
Padahal, politik dan hukum seringkali berdiri dari mazhab pendekatan yang berbeda. Meski tak selalu, tapi politik sering berdiri pada pendekatan “pilihan rasional”. Sepanjang itu adalah rasional bagi pelaku politik, ya itu menjadi jalan yang mungkin diambil.
Berbeda dengan hukum yang pendekatannya seringkali institusionalis, pilihannya adalah perbaikan aturan dan kelembagaan menuju kepada yang ideal demi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Dalam porsi itulah keduanya saling mencurigai. Politik menganggap pendekatan hukum sebagai pilihan tak rasional dan hukum memandang pendekatan politik tak menuju ke arah idealisme hukum.
Nah, tatkala keduanya bersatu di tangan kekuasaan, saat itulah mereka bisa menjadi amat dahsyat. Ketika pilihan politik itu diberi dasar hukum, pilihan paling rasional bagi kekuasaan bisa dibuatkan aturan hukumnya. Sehingga keadilan, kemanfaatan, dan kepastiannya menghamba pada pilihan paling rasional bagi kekuasaan.
Tentu saja aaya tidak sedang mengompori anda untuk curiga pada ahli hukum yang sekaligus ahli politik lho, ya. Namun terus terang, hal ini memang layak untuk terus kita renungkan.
Apakah produk hukum yang ada saat ini menghamba pada apa yang diinginkan secara politik atau secara hukum? Bacalah realitas penggunaan kekuasaan dalam kacamata ini belakangan, bisa jadi anda bisa melihat kesimpulan yang terbaca sangat berbeda.
Soal pelarangan FPI, misalnya. Apakah itu lahir dari pilihan politik yang mencoba dibenarkan secara hukum atau bukan? Termasuk pembatasan hak asasi, kebebasan berbicara, serta kebebasan mimbar akademik dan sebagainya.
Nah, apalagi tatkala kesombongan politik dan hukum tata negara menjadi luluh dan porak-poranda di hadapan kepentingan ekonomi. Buka saja catatan negara belakangan. Pakai dalil “Demi investasi, apapun yang menghambat akan dihancurkan”.
Lalu dikatakanlah “KPK mengambat investasi”, maka KPK harus dihancurkan. Meluncurlah UU KPK dengan segala proses dan isi ajaibnya itu. Lalu demi investasi pun kita semua tahu cerita UU Cipta Kerja yang juga dengan segala proses dan isi yang tak kalah ajaibnya.
Ahli politik dan hukum tata negara jadi dungu di hadapan kemauan kepentingan politik dan terutama ekonomi. Mereka yang bekerja untuk kekuasaan hanya bekerja untuk memoles jalan mulusnya. Yang berhadapan dengan kekuasaan silakan menggerutu, toh tak akan didengarkan.
Di tangan kekuasaan, hukum, politik, dan kepentingan ekonomi berpagutan dan berkelindan. Tentu saja ini bukan hanya terjadi sekarang. Dahulu di zaman Pak Harto pun demikian. Tak ada yang membedaken, eh, membedakan kecuali daripada pelaku-pelakunya.
Lantas, apa korelasinya dengan kebangkitan AC Milan belakangan? Sebenarnya nyaris tak ada, kecuali kalau kita mau lebih jeli.
Milan mulai jaya kembali pada zaman Pakto 88 dikeluarkan oleh negara untuk mempermudah pendirian perbankan dengan membabat habis regulasi (deregulasi) yang mempersulit pendirian perbankan. Di zaman itulah AC Milan memulai era-era gentho-nya dengan“membajak” trio Belanda: Basten, Gullit, dan Rijkaard.
Logika sederhana Berlusconi dalam membentuk winning team adalah dengan membeli pemain bagus. Sedangkan di sisi pelatih, Berlusconi tampaknya punya semacam formula di mana ia harus mengambil sosok yang “bukan siapa-siapa” sebagai pelatih walau kemudian kelak menjadi luar biasa. Nyaris hanya Fatih Terim pelatih yang berprestasi banyak di zaman Berlusconi, selebihnya pelatih yang “bukan siapa-siapa”.
Kejayaan itu kemudian mencapai puncaknya di masa Sacchi, sosok yang memaksa pemain-pemain jempolan itu masuk ke sistem permainan. Bagi Sacchi, bukan pemain yang memenangi pertandingan, melainkan sistem permainan. Pemain bagus dan ahli yang meluruh menjadi sistem, itulah yang terbaik. Dari situlah kejayaan kembali AC Milan diukir.
Tahun 1998, Pak Harto jatuh, dan kita tahu pasti bahwa salah satu penyebab utama kejatuhan Pak Harto adalah kacaunya ekonomi yang salah satunya disebabkan oleh buruknya pondasi perbankan Indonesia.
Pada tahun yang sama, tetap dengan logika Berlusconi-nya itu, AC Milan masih terus konsisten mempertahankan kedigdayaannya sebagai salah satu tim papan atas dunia. Bahkan, di bawah kendali Alberto Zacheroni, yang doyan memainkan taktik sistem ketat walau berbeda dengan meninggalkan kebiasaan 4 bek menjadi 3-4-3 atau 3-4-1-2 dengan mempersilakan pemain tengah untuk bermain trengginas agar striker dimanjakan, AC Milan tetap tangguh. AC Milan bahkan menjadi juara Serie A. Bierhoff pun saat itu tampil menjadi top scorer.
Namun, perlahan tapi pasti, AC Milan mengikuti jejak Pak Harto: tumbang. Kebiasaan mengandalkan pola pendekatan membeli pemain bagus pun kelihatan kedodoran tatkala kondisi keuangan melesu serta politik dan hukum di Italia yang mulai menggencet Berlusconi. Ia tak lagi bisa seroyal dulu dalam belanja pemain.
Milan pun perlahan merapuh setelah ditinggal semua pemain tua “mahal” dan kemudian tak mampu membeli pemain baru. Pemain biasa-biasa saja dipadu dengan pelatih bukan siapa-siapa membuat Milan tak bisa berprestasi.
Kini, kita tahu bahwa pendekatan baru dalam membeli pemain muda yang kelihatan moncer untuk kemudian dipoles menjadi tren baru dan terbukti berhasil. AC Milan membuktikannya.
Dengan para pemain muda, berpadu dengan gaya Pioli yang lebih menyukai pemain pekerja keras yang bisa bertahan dan menyerang dengan kondisi sama bagusnya, Milan kini bangkit dan menjadi pemimpin puncak saat ini. Bahkan secara statistik juga memuncaki Eropa jika dilihat dengan statistik liga lain di beberapa negara elit sepakbola.
Segala kisah kejayaan kembali itu berhasil diraih AC Milan tanpa gaya Berlusconi.
Saya pikir, begitu pula seharusnya politik dan hukum. Ia tak seharusnya terus menginduk pada konsep usang yang terbukti tidak punya fondasi kemajuan yang kuat.
Politik dan hukum yang berubah selalu akan membawa perubahan, termasuk kemapanan ekonomi. Jadi, mengedepankan ekonomi pasti akan mengorbankan politik dan hukum itu sendiri. Dan karenanya, tak bisa membedakan mana pendekatan orde baru dan pendekatan yang ada saat ini.
Pendekatan hukum seharusnya hanya berfokus pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tanpa harus tunduk pada politik apalagi ekonomi.
Kalau masih ada penguasa yang ngotot untuk tak mengikutinya, jangan-jangan kekuasaannya itu memang dibangun dengan salah kaprah karena menganggap kuasa bisa dibuat dan dipertahankan dengan cara-cara yang relatif sama seperti bagaimana buku-buku ilmu politik dan hukum tata negara menuliskannya.
Kuasa seharusnya tak membutuhkan perubahan cara pandang, sebab ia rentan menjadi salah kaprah. Mirip salah kaprah anda yang mengira Milan masih akan bapuk di liga Italia hanya karena pemainnya masih hijau semua. Bahkan, termasuk salah kaprah anda atas Jokowi di periode 1 dan 2. Iya kan? Iya dong. Iya aja.
BACA JUGA Sudah Saatnya Konsep ‘Yang Menang Pilpres Jadi Presiden dan yang Kalah Jadi Menteri’ Diinstitusionalkan dan tulisan Zainal Arifin Mochtar lainnya.