MOJOK.CO – Anak humaniora yang sering diolok-olok susah dapat kerja mendapat “angin segar” berkat drakor Hometown Cha-cha-cha.
Sebagai anak humaniora atau ilmu budaya, waktu kuliah, saya biasa diolok-olok akan susah dapat pekerjaan. Sampai sekarang, itu masih menjadi momok bagi junior-junior saya seperti yang bisa dibaca lewat beberapa artikel di Terminal Mojok.
Oleh Profesor Bambang Purwanto, bahkan hal tersebut divalidasi. Menurut beliau, orang-orang yang mempelajari humaniora selalu berjuang sendiri karena selepas lulus, kompetensi mereka bukan kompetensi yang dibutuhkan industri andalan negara.
Jika menengok paparan statistik tentang banyaknya pengangguran lulusan S1, sepertinya humaniora menyumbang angka besar. Banyak di antara kami memang harus menghabiskan waktu lama untuk mencari kerja hingga pada akhirnya berlabuh di pekerjaan yang tidak linier dengan yang kami pelajari. Kendati demikian, lewat senyum Hong Du-sik dalam drakor Hometown Cha-cha-cha, saya melihat masa depan kami akan cerah.
Drakor Hometown Cha-cha-cha menjadi menarik berkat ceritanya yang terasa akrab. Kami, para penonton, terperangah, ketika kampung di Korea Selatan bisa mirip dengan kampung di Indonesia. Ada nenek-nenek yang super konservatif, warga desa gemar bergunjing, jam kerja fleksibel, tensi antara orang desa dan kota, juga keramahan dan banyak makanan enak buatan rumah. Seketika kami merasa terepresentasikan.
Selain itu, yang tak kalah penting tentunya tokoh Pak Ketua Hong yang serbabisa. Secara kemampuan, dia mengingatkan kita semua pada Om Gundul. Sayangnya, kehidupan desa di Indonesia baru bisa dikemas secara sederhana dalam program dokumenter seperti Jejak Si Gundul dan Si Bolang. Sementara itu, di Korea Selatan, bisa dinikmati dalam bentuk drama, seperti Hometown Cha-cha-cha, dengan kualitas tinggi.
Jika acara Om Gundul hanya bisa dinikmati anak-anak sepulang sekolah, Hometown Cha-cha-cha bisa dinikmati kapan saja oleh pasar yang jauh lebih luas. Drakor satu ini mampu memikat jutaan fans; fansnya Kim Seon-ho, fansnya Shin Min-a, warga pesisir di Asia, perantauan yang kangen kampung halaman, hingga orang-orang gabut yang kepincut banner Netflix.
Semua itu didasari oleh perubahan ekspektasi pemirsa. Konten hiburan berubah dari “menyajikan impian” ke “menyajikan kenyataan”. Banyak tayangan, sebelum 2010, berkisah tentang “menyajikan impian”.
Cerita sinetron dipenuhi kehidupan glamor orang kaya. Di Asia, dunia hiburan yang waktu itu dipimpin Jepang, juga lebih banyak menyajikan cerita tak masuk akal untuk dikhayalkan, ketimbang realita sederhana yang dekat untuk dirayakan.
Salah satu produk yang “menyajikan impian” khas periode itu, misalnya, Hana Yori Dango (1995) yang ceritanya mirip Cinderella. Drama ini diproduksi ulang di Taiwan menjadi Meteor Garden (2001), dan di Korea Selatan jadi Boys Before Flowers (2009).
Tren terasa berubah, mengarah ke “menyajikan realita” di Boys Before Flowers yang diproduksi paling belakangan. Ternyata, bagi banyak penggemar, adegan-adegan glamor di SMA Sinhwa, ballroom, kapal pesiar, Macau, dan New Caledonia kalah berkesan dengan adegan Gu Jun-pyo makan odeng di pinggir jalan dan Geum Jan-di makan mi instan langsung dari pancinya.
Ketika Jun-pyo makan odeng itu, Korean Wave sudah masuk gelombang ketiga. Produk Korea Selatan sudah semakin beragam dan didesain untuk semakin representatif untuk berbagai lapisan masyarakat. Bagi masyarakat internasional, yang menarik bukan lagi produk hiburan seperti drama, boyband, dan lagu-lagu, tapi gaya hidup orang Korea Selatan secara keseluruhan.
Pergeseran dari drama yang menjual khayalan ke drama yang disukai karena dekat dengan realita orang kebanyakan membutuhkan riset humaniora. Saya yakin, penulisan naskah Hometown Cha-cha-cha dilengkapi riset antropologis yang detail.
Semua pekerjaan yang dilakukan Du-sik di Hometown Cha-cha-cha tidak bisa dikarang hanya dengan imajinasi. Tema obrolan nenek-nenek tukang membersihkan cumi, barang yang dijual di warung ibunya Bo-ra, dan bentuk acara makan-makan satu desa sudah pasti didasari riset antropologis.
Tentu rasanya berbeda dengan drama Indonesia seperti Heart Series. Latar ceritanya memang ada di perkebunan teh di Bandung. Namun sayang, perkebunan tersebut lebih merupakan backdrop, bukan background. Rachel dan tokoh lainnya tidak berinteraksi dengan latar tersebut. Mereka tinggal jauh dari perkotaan, tapi semua orang, baik di rumah maupun di sekolah, bicara “dialek Jakarta”. Bandung di situ sangat bisa diganti dengan green screen.
Jika menonton drakor yang trending belum lama ini, yaitu Reply 1988, riset humaniora, dalam hal ini sejarah, juga terlihat kuat sekali. Saya bilang riset sejarah karena drakor ini bisa menghidupkan kembali suasana kehidupan sehari-hari di Seoul periode 1980an yang sepertinya harus direkonstruksi melalui banyak arsip keluarga dan wawancara.
Ketika menyajikan peristiwa sejarah besar seperti Olimpiade Musim Panas dan June Struggle, mereka tidak hanya sekadar mereka ulang adegan buku sejarah. Mereka menangkap kesan-kesan personal dan sentimental di keluarga dan orang per orang tentang kejadian tersebut.
Kesan tersebut ditampilkan lewat beberapa adegan. Misalnya ketika bapaknya Sung Deok-sun menyelamatkan seorang demonstran sepulang kerja dan waktu Bo-ra masuk penjara. Cerita begini, Bung dan Nona, tidak bisa didapat dari sekadar baca Wikipedia dan menghafal tanggal-tanggal.
Sebetulnya, di Indonesia, upaya serupa sudah diawali oleh seniman-seniman Webtoon. Annisa Nisfihani, sejak 2016, membuat cerita tentang pasangan PNS di sebuah kelurahan. Yupit, secara cerdas, mengangkat kehidupan keluarga pemilik toko kelontong di Bali dalam Webtoon berjudul Warung.
Selain dua kisah di atas, beberapa tema di Webtoon menceritakan kehidupan sekolah. Misalnya, SMAS’D, LARA(S)HATI, dan SCRAMBLED: Journeylism yang mengambil latar SMA Indonesia dengan seragam putih abu-abu.
Tidak jarang, mereka menangkap fenomena di sekitar sekolah seperti ojek online dan makanan kantin yang disajikan menggunakan mangkuk ayam jago. Sebuah tren yang menggembirakan mengingat beberapa tahun lalu, drama-drama bertema kehidupan sekolah lebih banyak mengambil latar di sekolah swasta yang seragamnya ala-ala luar negeri.
Hometown Cha-cha-cha dan Reply 1988 membuat saya berandai-andai. Seandainya drama dari Webtoon bisa jadi tontonan mainstream di Indonesia. Bisa juga menjadi drama-drama oneshot berlatar daerah di SCTV yang dulu kerap dibintangi Atiqah Hasiholan dan dibuat secara lebih serius. Bahkan sangat bisa, drama yang tayang siang hari di Indosiar, yang sebenarnya sudah sangat representatif terhadap kehidupan pelaku UMKM itu, mengangkat problem yang lebih kompleks dan humanis daripada sekadar kejahatan yang diazab.
Sekarang kita punya jutaan penduduk remaja dan dewasa yang menonton, mendengarkan lagu, dan gemar berburu jajanan Korea Selatan. Bayangkan duit yang bisa kita raup kalau pasar itu bisa meneyarap produk sendiri. Anak humaniora yang ketakutan susah dapet kerja itu lho sangat bisa diberdayakan. Terima kasih, Hometown Cha-cha-cha.
BACA JUGA Hong Du-sik di Drakor Hometown Cha-cha-cha Bukan Serbabisa, Itu Tren Toksik Hustle Culture dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.