Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Hometown Cha-cha-cha, Drakor yang Bikin Masa Depan Ilmu Humaniora Makin Cerah

Hometown Cha-cha-cha kasih angin segar buat anak humaniora.

Yuanita Wahyu Pratiwi oleh Yuanita Wahyu Pratiwi
23 September 2021
A A
Hometown Cha-cha-cha, Drakor yang Bikin Masa Depan Ilmu Humaniora Makin Cerah MOJOK.CO

Hometown Cha-cha-cha, Drakor yang Bikin Masa Depan Ilmu Humaniora Makin Cerah MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Anak humaniora yang sering diolok-olok susah dapat kerja mendapat “angin segar” berkat drakor Hometown Cha-cha-cha.

Sebagai anak humaniora atau ilmu budaya, waktu kuliah, saya biasa diolok-olok akan susah dapat pekerjaan. Sampai sekarang, itu masih menjadi momok bagi junior-junior saya seperti yang bisa dibaca lewat beberapa artikel di Terminal Mojok.

Oleh Profesor Bambang Purwanto, bahkan hal tersebut divalidasi. Menurut beliau, orang-orang yang mempelajari humaniora selalu berjuang sendiri karena selepas lulus, kompetensi mereka bukan kompetensi yang dibutuhkan industri andalan negara.

Jika menengok paparan statistik tentang banyaknya pengangguran lulusan S1, sepertinya humaniora menyumbang angka besar. Banyak di antara kami memang harus menghabiskan waktu lama untuk mencari kerja hingga pada akhirnya berlabuh di pekerjaan yang tidak linier dengan yang kami pelajari. Kendati demikian, lewat senyum Hong Du-sik dalam drakor Hometown Cha-cha-cha, saya melihat masa depan kami akan cerah.

Drakor Hometown Cha-cha-cha menjadi menarik berkat ceritanya yang terasa akrab. Kami, para penonton, terperangah, ketika kampung di Korea Selatan bisa mirip dengan kampung di Indonesia. Ada nenek-nenek yang super konservatif, warga desa gemar bergunjing, jam kerja fleksibel, tensi antara orang desa dan kota, juga keramahan dan banyak makanan enak buatan rumah. Seketika kami merasa terepresentasikan.

Selain itu, yang tak kalah penting tentunya tokoh Pak Ketua Hong yang serbabisa. Secara kemampuan, dia mengingatkan kita semua pada Om Gundul. Sayangnya, kehidupan desa di Indonesia baru bisa dikemas secara sederhana dalam program dokumenter seperti Jejak Si Gundul dan Si Bolang. Sementara itu, di Korea Selatan, bisa dinikmati dalam bentuk drama, seperti Hometown Cha-cha-cha, dengan kualitas tinggi.

Jika acara Om Gundul hanya bisa dinikmati anak-anak sepulang sekolah, Hometown Cha-cha-cha bisa dinikmati kapan saja oleh pasar yang jauh lebih luas. Drakor satu ini mampu memikat jutaan fans; fansnya Kim Seon-ho, fansnya Shin Min-a, warga pesisir di Asia, perantauan yang kangen kampung halaman, hingga orang-orang gabut yang kepincut banner Netflix.

Semua itu didasari oleh perubahan ekspektasi pemirsa. Konten hiburan berubah dari “menyajikan impian” ke “menyajikan kenyataan”. Banyak tayangan, sebelum 2010, berkisah tentang “menyajikan impian”.

Cerita sinetron dipenuhi kehidupan glamor orang kaya. Di Asia, dunia hiburan yang waktu itu dipimpin Jepang, juga lebih banyak menyajikan cerita tak masuk akal untuk dikhayalkan, ketimbang realita sederhana yang dekat untuk dirayakan.

Salah satu produk yang “menyajikan impian” khas periode itu, misalnya, Hana Yori Dango (1995) yang ceritanya mirip Cinderella. Drama ini diproduksi ulang di Taiwan menjadi Meteor Garden (2001), dan di Korea Selatan jadi Boys Before Flowers (2009).

Tren terasa berubah, mengarah ke “menyajikan realita” di Boys Before Flowers yang diproduksi paling belakangan. Ternyata, bagi banyak penggemar, adegan-adegan glamor di SMA Sinhwa, ballroom, kapal pesiar, Macau, dan New Caledonia kalah berkesan dengan adegan Gu Jun-pyo makan odeng di pinggir jalan dan Geum Jan-di makan mi instan langsung dari pancinya.

Ketika Jun-pyo makan odeng itu, Korean Wave sudah masuk gelombang ketiga. Produk Korea Selatan sudah semakin beragam dan didesain untuk semakin representatif untuk berbagai lapisan masyarakat. Bagi masyarakat internasional, yang menarik bukan lagi produk hiburan seperti drama, boyband, dan lagu-lagu, tapi gaya hidup orang Korea Selatan secara keseluruhan.

Pergeseran dari drama yang menjual khayalan ke drama yang disukai karena dekat dengan realita orang kebanyakan membutuhkan riset humaniora. Saya yakin, penulisan naskah Hometown Cha-cha-cha dilengkapi riset antropologis yang detail.

Semua pekerjaan yang dilakukan Du-sik di Hometown Cha-cha-cha tidak bisa dikarang hanya dengan imajinasi. Tema obrolan nenek-nenek tukang membersihkan cumi, barang yang dijual di warung ibunya Bo-ra, dan bentuk acara makan-makan satu desa sudah pasti didasari riset antropologis.

Iklan

Tentu rasanya berbeda dengan drama Indonesia seperti Heart Series. Latar ceritanya memang ada di perkebunan teh di Bandung. Namun sayang, perkebunan tersebut lebih merupakan backdrop, bukan background. Rachel dan tokoh lainnya tidak berinteraksi dengan latar tersebut. Mereka tinggal jauh dari perkotaan, tapi semua orang, baik di rumah maupun di sekolah, bicara “dialek Jakarta”. Bandung di situ sangat bisa diganti dengan green screen.

Jika menonton drakor yang trending belum lama ini, yaitu Reply 1988, riset humaniora, dalam hal ini sejarah, juga terlihat kuat sekali. Saya bilang riset sejarah karena drakor ini bisa menghidupkan kembali suasana kehidupan sehari-hari di Seoul periode 1980an yang sepertinya harus direkonstruksi melalui banyak arsip keluarga dan wawancara.

Ketika menyajikan peristiwa sejarah besar seperti Olimpiade Musim Panas dan June Struggle, mereka tidak hanya sekadar mereka ulang adegan buku sejarah. Mereka menangkap kesan-kesan personal dan sentimental di keluarga dan orang per orang tentang kejadian tersebut.

Kesan tersebut ditampilkan lewat beberapa adegan. Misalnya ketika bapaknya Sung Deok-sun menyelamatkan seorang demonstran sepulang kerja dan waktu Bo-ra masuk penjara. Cerita begini, Bung dan Nona, tidak bisa didapat dari sekadar baca Wikipedia dan menghafal tanggal-tanggal.

Sebetulnya, di Indonesia, upaya serupa sudah diawali oleh seniman-seniman Webtoon. Annisa Nisfihani, sejak 2016, membuat cerita tentang pasangan PNS di sebuah kelurahan. Yupit, secara cerdas, mengangkat kehidupan keluarga pemilik toko kelontong di Bali dalam Webtoon berjudul Warung.

Selain dua kisah di atas, beberapa tema di Webtoon menceritakan kehidupan sekolah. Misalnya, SMAS’D, LARA(S)HATI, dan SCRAMBLED: Journeylism yang mengambil latar SMA Indonesia dengan seragam putih abu-abu.

Tidak jarang, mereka menangkap fenomena di sekitar sekolah seperti ojek online dan makanan kantin yang disajikan menggunakan mangkuk ayam jago. Sebuah tren yang menggembirakan mengingat beberapa tahun lalu, drama-drama bertema kehidupan sekolah lebih banyak mengambil latar di sekolah swasta yang seragamnya ala-ala luar negeri.

Hometown Cha-cha-cha dan Reply 1988 membuat saya berandai-andai. Seandainya drama dari Webtoon bisa jadi tontonan mainstream di Indonesia. Bisa juga menjadi drama-drama oneshot berlatar daerah di SCTV yang dulu kerap dibintangi Atiqah Hasiholan dan dibuat secara lebih serius. Bahkan sangat bisa, drama yang tayang siang hari di Indosiar, yang sebenarnya sudah sangat representatif terhadap kehidupan pelaku UMKM itu, mengangkat problem yang lebih kompleks dan humanis daripada sekadar kejahatan yang diazab.

Sekarang kita punya jutaan penduduk remaja dan dewasa yang menonton, mendengarkan lagu, dan gemar berburu jajanan Korea Selatan. Bayangkan duit yang bisa kita raup kalau pasar itu bisa meneyarap produk sendiri. Anak humaniora yang ketakutan susah dapet kerja itu lho sangat bisa diberdayakan. Terima kasih, Hometown Cha-cha-cha.

BACA JUGA Hong Du-sik di Drakor Hometown Cha-cha-cha Bukan Serbabisa, Itu Tren Toksik Hustle Culture dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 23 September 2021 oleh

Tags: Boys Before FlowerDrakorHometown Cha-cha-chailmu budayailmu humaniorailmu sejarahMeteor Gardenreply 1988
Yuanita Wahyu Pratiwi

Yuanita Wahyu Pratiwi

Peneliti sejarah. Asli Bekasi, Jawa Barat. Mahasiswi Colonial & Global History Leiden University.

Artikel Terkait

No Other Choice: rekaman betapa rentan nasib buruh. Mati-mati kerja sampai kehilangan diri sendiri, tapi ditebang saat tak dibutuhkan lagi MOJOK.CO
Catatan

No Other Choice: Buruh Mati-matian Kerja sampai Kehilangan Diri Sendiri, Usai Diperas Langsung Ditebang

16 Oktober 2025
jurusan psikologi jadi jurusan kuliah gaji terendah.MOJOK.CO
Kampus

16 Jurusan Kuliah dengan Gaji Paling Kecil, Mahasiswa Jurusan Psikologi Beri Sanggahan karena Masuk Daftar

5 April 2024
Lolos SNBP Universitas Brawijaya Malang Karena Asal Klik dan Hoki, Sekarang Menyesal Jurusannya Sulit Buat Cari Kerja.mojok.co
Kampus

Mahasiswa Miskin Unpad Sempat Diremehkan Gara-gara Kuliah di ‘Jurusan Terburuk’, Sengaja Memilihnya karena Pengalaman Kelam di Masa Lalu

13 Maret 2024
yumi's cells mojok.co
Hiburan

Drama Yumi’s Cells Berbeda dengan Versi Komik, Penulis Jelaskan Alasannya

3 Agustus 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.