Saya tidak paham mengapa Tuhan menciptakan perempuan sebagai makhluk berhati lemah.
Ada iklan lippen seri terbaru, pasti kebawa mimpi. Padahal sudah ada lima nomor seri lippen lain dari berbagai merek yang baru dibeli. Belum lagi abad onlineshop yang menyebabkan kami selalu memiliki dosa awal bulan yang terus terulang: stalking Instagram, ngelove-ngelove produk tas, sepatu, hingga cetakan alis kotak kekinian.
Setelah duit ludes, tinggal ndusel-ndusel ke pacar deh. (Lho, mbaknya kayak ada aja yang dinduselin).
Ideologi iklan memang memberi pengaruh yang sangat besar pada pemirsa. Tidak hanya dalam relasi konsumsi-produksi berupa value produk, namun juga tentang konsep idealitas dunia dalam imajinasi semesta iklan. Hiperreality, demikian Baudrillard menyebut.
Sekira sepuluh tahunan lalu, teori hiperealitas ala Yasraf Amir Pilliang dalam Dunia yang Dilipat (2004) juga menjelaskan keadaan di mana maraknya iklan-iklan produk kecantikan yang begitu rasialis, karena memberikan imaji idealitas atas wajah dan tubuh seperti kulit putih, hidung mancung, rambut hitam lurus, dan badan langsing.
Namun, apakah hari ini teori tersebut masih berlaku?
Alkisah, merek P adalah kosmetik yang menjual produk laris pencuci muka dan bedak. Harganya sangat ramah kantong dan dapat ditemukan dengan mudah di mal-mal besar atau toko-toko kelontong di kampung-kampung. Dalam beberapa tahun terakhir, merek P memperlihatkan lompatan ideologi iklan secara menukik.
Pertama-tama, ia hadir dengan seri produk white beauty. Beberapa tahun kemudian, meluncur produk flawless white. Dan sekira setahunan lalu, muncul seri perfect beauty. Tajuk serian produk itu tentu tidak sembarangan dibuat. Ia adalah sebuah narasi paradigmatik besar ideologi.
Satu dekade lalu, iklan komersial merek P seri white beauty mempertontonkan sebuah drama tentang laki-laki ideal (sesuai standar komodifikasi) yang lebih memilih perempuan kulit putih untuk menjadi kekasihnya dibanding perempuan (ras) kulit hitam.
Iklan yang menonjolkan rasialisme akut itu membuat perempuan kulit hitam pada akhirnya memakai merek P dan memperoleh hasil white beauty, walaupun nasibnya tidak dijelaskan kemudian.
Anehnya, kecaman pada konsep iklan rasis itu baru muncul akhir-akhir ini. Dahulu, perempuan seluruh dunia seolah terbius begitu saja dengan ilusi kecantikan sempurna yang ditawarkan merek P. Perempuan kulit gelap seluruh dunia pun seperti menerima kutukan sebagai perempuan kelas dua yang tidak memiliki hak untuk mengklaim kecantikan.
Dalam seri flawless white, isu rasialisme dalam iklan merek P sudah tidak nampak. Meski narasi besarnya masih sama, peran perempuan kulit hitam ditiadakan. Mereka sepertinya sudah sadar bahwa zaman berubah.
Salah satunya iklannya begini. Seorang laki-laki kekinian yang telah memiliki kekasih dengan warna kulit cerah, bertemu mantan kekasihnya. Sang mantan, yang merasa memiliki wajah kurang cerah dan berkerut hitam, rupanya berkecil hati. Ia lalu memakai seri flawless white sehingga wajahnya berubah lebih cantik.
Voila! Sang laki-laki pun pada akhirnya kembali jatuh hati kepadanya.
Dekade berlalu, globalisasi kian mendobrak. Salah satu efek baiknya adalah isu rasialisme dalam ekonomi politik media kian tiada. Iklan komersial pada era ini mewujud dalam studi kasus merek P seri perfect beauty. Dan sekitar awal tahun lalu, bintang moncer Raisa didapuk sebagai ambassador-nya untuk Indonesia. Tentu saja juga dengan dibuatkan iklan.
Dalam iklan yang sering muncul menganggu Anda ketika akan menikmati video Youtube itu, Raisa bermonolog tentang kisah ibunya yang gagal menjadi bintang sebab tugas-tugas rumah tangga. Ia pun beritikad tidak ingin mengikuti jejak ibunya dan bertekad mewujudkan cita-cita dengan “wajah baru Indonesia”.
Iklan merek P seri terkini memang cenderung memamerkan sederet perempuan Indonesia mapan yang berhasil “mewujudkan cita-cita” meraih kemerdekaan profesi dan kemerdekaan finansial.
Begitulah. Iklan masa kini tidak lagi mengungkit soal kulit putih yang lebih berhak punya pacar. Namun, perempuan-perempuan berprofesi dan berbakat, yang seolah menjadi seperti itu sebab menggunakan merek P.
Tapi plis deh, apa hubungannya sih? Apa hubungannya suara merdu Raisa yang bikin lelaki sejagat langsung tayamum itu dengan pemakaian merek P? Yasudahlah, namanya juga usaha…
Studi kasus kedua adalah produk kecantikan merek W.
Merek W menjual kampanye #HalalSejakAwal. Bersama MUI, merek W mempromosikan sertifikasi halal produk kecantikan yang seakan mewajibkan seluruh perempuan muslim (sebagai pasar yang sangat potensial) untuk memakai produk mereka. Fyi aja yah, strategi pemasaran yang membuat bias sakralitas nilai agama dan spiritual ini memang sedang marak di Indonesia, lho.
Ariel Heryanto pada sebuah kesempatan pernah bernarasi bahwa Islamisasi membuat kita mengafirmasi identitas dan mengidentifikasi kenikmatan. Dalam hal ini, identitas muslim diafirmasi dalam kenikmatan-kenikmatan sekuler yang begitu parsial dalam kehidupan, ya seperti hijab modis itu deh.
Dewi Sandra, dalam iklan merek W juga tampil sebagai perempuan bebas, traveler, smart, dan bebas memiliki kehendak apapun. Tetapi, untuk menjadi seperti Dewi Sandra, pemirsa perempuan harus memakai produk kecantikan merek W. Seperti itulah kira-kira narasinya.
Seiring modal besar yang mulai marak masuk ke industri Tanah Air sejak akhir 1990-an, serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup trans-nasional ke Indonesia terus menawarkan gaya hidup yang tak mungkin terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
Fun Fearless Female, misalnya, adalah konsep perempuan masa kini yang dengan ironis justru membawa perempuan ke dalam perdebatan bersifat dikotomis: Perempuan Bekerja VS Ibu Rumah Tangga, Perempuan Menyusui VS Susu Formula, Melahirkan Vaginal VS Caesar, dan beberapa isu lain yang seakan mengkonfrontasi nilai-nilai kemurnian di hadapan kuasa kapital.
Sebagai pengamat fesyen hijab kontemporer, tentu tak lengkap rasanya jika sudah sok filosofis begini saya tak menitip pesan untuk gelaran HijabHunt 2016 yang sebentar lagi akan kembali tayang. Oh iya, sebagai informasi, sponsor utama gelaran ini adalah sampo merek S.
Tren hijab belakangan ini memang membuat segala produk kecantikan tak mau melewatkan berbagai kesempatan, sampo khusus hijaber salah satunya. Iklan sampo hijaber sendiri merupakan iklan absurd karena tidak menampakkan rambut, tetapi justru hijab yang tidak dikeramasi.
Dengan tren seperti ini, kita tinggal menunggu munculnya sabun hijaber, pasta gigi hijaber, hingga deodoran hijaber. Sebab siapa tahu, keringat yang diproduksi ketek hijaber barangkali lebih syariah.
Begini, Teh Desi Ratnasari, Mbak Bela atau Mbak Jenahara, atau Pak Budiono Darsono yang punya acara. Mbok ya konsep HijabHunt itu agak diperjelas sedikit.
Pertama, nama tayangannya saja sudah aneh. HijabHunt itu mau mencari hijab yang hilang atau bagaimana? Apakah hijab itu dicuri Joko Tarub atau di-hap oleh Bang Ipul? Kalau yang dicari talent hijab, ‘kan bisa pakai judul lain. Indonesia Mencari Hijaber, misalnya.
Kedua, bulan puasa tahun kemarin, saya agak-agak gimana gitu pas di tayangan tersebut terdapat sesi mengaji. Etapi, mengajinya kok surat Al-Ikhlas alias qulhu ae lek, kesuwen! Mbak-mbak cantik berhijab trendi yang muncul di acara itu juga mendadak bikin ilfil gara-gara merapal surat qulhu dengan nada-nada sumbang yang dipaksakan.
Keilfilan saya semakin menjadi-jadi ketika Mbak Dian Pelangi memberi komentar: “Subhanallah…Sungguh Muslimah panutan” dan ponakan saya yang TK tiba-tiba nyeletuk, “Lhooo aku juga bisa surat yang itu!”.
Tolonglah, buat audisi yang tahun ini pilihan suratnya ditingkatkan jadi Al-Falaq atau Al-Kafirun, gitu. Sebenernya kalau tanpa sesi mengaji juga enggak papa, kok. Tidak akan mengurangi kecantikan mbak-mbak calon talent iklan dan acara lini syariah itu.
Perempuan dengan “cita-cita Indonesia” ala iklan Raisa dan perempuan bebas ala Dewi Sandra memang terkesan menjanjikan. Tapi, di sisi lain, bukankah perempuan “bebas” yang dapat memproduksi kapital dan memiliki kemerdekaan finasial juga merupakan target pasar yang basah? Apalagi yang ada embel-embel halal dan syariah-nya. Wow, ini tentu menguntungkan bagi pasar!
Semestinya, dengan tidak lagi bergantung pada laki-laki, barisan perempuan itu dapat memiliki otoritas lebih untuk membeli produk-produk kecantikan yang ia suka.
Khotbah ini akan saya akhiri dengan beberapa anjuran:
Ada baiknya jika mbak-mbak cantik sekalian juga peduli dengan puluhan ibu-ibu Rembang yang masih melakukan perlawanan kepada pabrik semen. Jangan lupa juga para buruh perempuan yang memperjuangkan haknyamelalui serikat.
Atau mbak-mbak juga bisa lho sesekali menengok para ibu dan para anak gadis penjual tisu eceran di bawah fly-over di Jakarta yang kerap menjadi korban kekerasan seksual dan human trafficking itu.
Untuk melakukan itu semua, mbak-mbak tak perlu cantik, kok. Tenang saja.