MOJOK.CO – Resto waralaba Hanamasa jadi perdebatan netizen karena tak memiliki sertifikat halal. Debat halal haram pun tak terelakkan.
Dalam hal halal-haram, masyarakat muslim Indonesia bisa dikelompokkan dalam dua kutub yang berbeda. Kutub yang pertama adalah Tasahul (gampangan). Sedangkan kutub kedua adalah Tasyaddud (ketat).
Gambaran mengenai kedua kutub ini dihadirkan dalam rangka menyikapi hiruk pikuk resto waralaba Hanamasa yang dikabarkan masih abu-abu soal halal atau haram itu.
Kelompok yang masuk dalam kutub Tasahul cenderung permisif. Tidak terlalu kaku atau saklek. Terhadap jenis makanan, mereka lebih santai. Tidak mempersoalkan sertifikasi halal. Yang penting tidak jelas-jelas haram, mereka tidak keberatan untuk mengonsumsi.
Biasanya kelompok ini juga setali tiga uang dalam menyikapi rukhshah (keringanan). Misalnya, ketika sedang puasa dan melakukan perjalanan jauh yang memenuhi syarat; mereka akan berbuka meskipun tidak haus maupun lapar.
Kelompok Tasahul ini tidak hanya dari kalangan awam, lho. Sejumlah ulama besar ada yang masuk kategori ini.
Yang paling masyhur adalah kisah Raden Asnawi, ulama kharismatik dari Kudus. Sesaat setelah diberitahu bahwa yang beliau konsumsi adalah daging babi, beliau hanya terkekeh dan bersyukur.
“Untung sudah habis, jadi tahu rasanya babi,” kira-kira begitu respons beliau.
Di sisi lain, ada kutub Tasyaddud. Mereka yang harus keras berpegang teguh pada standar halal-haram yang jelas. Kelompok ini bisa pula kita kategorikan menjadi dua sub-bagian.
Pertama, kelompok tradisional yang terinspirasi pada ulama klasik. Ada istilah tersendiri untuk ini, yaitu: wara’. Biasanya dianut oleh kalangan pesantren atau masyarakat yang terpengaruh kultur pesantren. Rujukan dari perilaku ini adalah sejumlah kisah ulama yang teramat hati-hati.
Salah satunya adalah kisah Abu Hanifah, di mana beliau menghindar untuk berteduh di rumah yang pemiliknya punya utang pada beliau. Khawatir ada tambahan manfaat atas utang, di mana itu bisa dikategorikan sebagai riba.
Dalam kisah lain, Abu Hanifah “mengerem” makan sate, tongseng, gulai, dan olahan kambing apapun selama tujuh tahun. Bukan karena kolesterol atau darah tinggi, tapi karena ada kambing Baitul Mal yang kabur dari kandang.
Abu Hanifah sempat melakukan riset kepada para peternak, dan dia tahu bahwa umur terjauh dari kambing adalah tujuh tahun. Dari sana, Abu Hanifah memutuskan tidak mengkonsumsi kambing selama itu. Khawatir apa yang masuk ke perut adalah bagian dari kambing yang tidak jelas halal atau haram begitu.
Nah, kalangan tradisionalis yang menapaki jejak ulama seperti itu, rasanya kecil kemungkinan menjadi konsumen waralaba semacam Hanamasa.
Kenapa? Jangankan makan di resto tanpa label halal; jajan dan makan di warung biasa saja bisa menurunkan muru’ah (kharisma). Bagi Anda yang mempelajari Hadis, muru’ah ini termasuk aspek penting pertimbangan diterimanya suatu hadis.
Yang dilakukan kalangan ini adalah sebisa mungkin masak sendiri. Dari bahan-bahan yang jelas halal-haramnya. Mereka adalah orang yang kecil kemungkinannya jadi konsumen resto macam itu.
Soalnya inti dari jalan yang diambil oleh kalangan ini adalah menghindari yang haram. Boro-boro yang haram, yang subhat (tidak jelas) dan berlebihan dalam yang halal sekalipun mereka menghindarinya kok.
Nah, selain itu, ada lagi kelompok Tasyaddud yang kedua, yaitu akhi dan akhwat sobat hijrah.
Biasanya kelompok ini datang dari masyarakat muslim perkotaan. Mereka yang pada masa pendidikannya sedari dini belum terpapar dengan kajian Islam. Maksud saya mereka tidak sekolah di madrasah, pesantren, atau perguruan Islam.
Pada masa itu mereka adalah awam yang bersekolah di sekolah umum non keagamaan. Baru ketika sudah dewasa, mereka jadi gandrung akan syariat sehingga cukup bisa dimaklumi kalau jadi begitu hati-hati (kalau tak mau menyebutnya ketat) soal tafsir hukum-hukum agama.
Salah satu bentuk kehati-hatian kelompok ini dalam halal atau haram bahkan begitu luas sampai produk non-makanan. Misalnya kulkas, panci, hingga hijab halal. Produsen-produsen besar menganggap mereka sebagai ceruk pasar tersendiri sehingga memproduksi alternatif produk berlabel halal bisa dipahami.
Nah, rasanya kelompok jenis inilah yang paling berpotensi menjadi konsumen Hanamasa—kalau Hanamasa sangat strict soal klaim halal sajiannya lho ya. Kata kuncinya relevan sekali soalnya: muslim kota, hijrah, puber agama, dan sangat berhati-hati dalam halal haram.
Itulah kenapa—saya rasa—Hanamasa perlu riset siapa sebetulnya calon konsumen terbesar yang datang ke resto AYCE tersebut. Jika mayoritas berasal dari kalangan Tasahul atau malah awam, ya sudah biarkan saja fenomena di medsos soal waralaba mereka. Toh nggak rugi juga dari sisi bisnis, malah jadi promosi gratisan.
Akan tetapi, jika konsumen terbesar Hanamasa sebenarnya berasal dari kelompok sobat Hijrah (yang tentu jumlahnya tak kalah banyak), ada baiknya sertifikat halal perlu diurus juga oleh manajemen.
Soalnya, jalan terbaik untuk mencapai itu adalah apa yang dirumuskan dalam teori Al Khuruj Minal Khilaf Mustahab, keluar dari persengketaan amat dianjurkan.
Daripada berkubang dalam cekcok kontroversial, Hanamasa tinggal cantumkan ingredients secara gamblang di depan dan cetho welo-welo. Jangan disamarkan layaknya klausul “syarat dan ketentuan berlaku” ala-ala give away itu.
Soalnya Hanamasa itu jual makanan, bukan sandal. Lagian, dengan kasih ingredients secara jelas (entah di menu, entah di tembok resto), kadang-kadang itu justru bisa meningkatkan nafsu makan pelanggan lho.
Jadi, transparan dengan pelanggan soal apa yang mereka mau makan sebelum mereka pesan itu tak selalu berkonotasi buruk bukan? Lagipula konsumen dari segala jenis kalangan jadi bisa memilih dengan leluasa. Dan ini sesuatu yang baik.
Lagian, setahu saya, hal kayak gitu kan juga amanah undang-undang sih. Maksud saya dalam hal ini, resto atau penjual makanan sekurang-kurangnya harus memenuhi hak-hak pelanggan terhadap akses informasi. Membiarkan mereka riset sendiri rasanya kurang bijak kalau pakai perspektif hak konsumen.
Rempong amat lapar-lapar disuruh riset? Wkwkwkw.
Itu saran saya buat produsen, manajemen, atau apapun itu namanya. Sekarang bagi sedulur-sedulur yang konsumen (atau calon konsumen).
Oke, begini. Jadi, tampaknya kita perlu merenung sejenak.
Paradigma bahwa apa-apa harus bersertifikat halal ini harus diluruskan. Sebab agak bertentangan dengan kaidah bahwa segala sesuatu pada dasarnya bersifat halal. Sebaiknya yang perlu didorong bukan label halal melainkan tanda haram. Apalagi negeri ini mayoritas muslim.
Dampaknya enak soalnya. Setiap hal yang ada di depan kita, anggap saja halal; sebelum bukti membuktikan bahwa ia benar-benar haram. Untuk meniru laku dari Abu Hanifah di masa sekarang ini tampaknya, seperti kata Srimulat, hil yang mustahal. Paling mendekati realitas adalah meniru Raden Asnawi.
Idealisme dalam halal haram, dewasa ini, hanya bisa terwujud saat masih dalam pikiran.
Jika ia dituangkan dalam kertas, ada pohon yang ditebang untuk itu, yang mungkin saja mengakibatkan banjir dan bikin mati orang lain. Jika diketik dalam gadget, ada kandungan kobalt yang harus ditambang. Dalam prosesnya mungkin saja ada eksploitasi pekerja anak di sana.
Maka, benar apa yang dipopulerkan Gus Baha’ dalam ngaji kitabnya. Kira-kira begini isinya, saya parafrasakan:
Hal yang halal 100 persen itu cuma air hujan yang langsung kamu minum. Saya tambahi: itu pun harus langsung ndangak tak pakai gelas atau airnya tak boleh lewat genting. Karena apapun di dunia ini, yang diciptakan dari tangan manusia, sekarang sudah ada potensi haramnya semua.
Kalaupun tidak ada potensi haram dari bahan bakunya, setidaknya dari caranya bikinnya atau cara menambang bahannya.
BACA JUGA Alasan Kenapa Kalender Hijriah Malah Kurang Mashoook bagi Banyak Negara Arab atau tulisan Miftakhur Risal lainnya.
Penulis: Miftakhur Risal
Editor: Ahmad Khadafi