MOJOK.CO – Dari kasus Babe Haikal Hassan ini kita bisa belajar, di negeri ini menceritakan mimpi ketemu Nabi pun bisa jadi masalah.
Akhirnya tiba juga kita pada fase di mana untuk sekadar bermimpi pun kita harus tertib adat dan nalar. Jika tidak, bisa-bisa telikung penjara menjadi ganjaran yang setimpal.
Hm, gembira sekaligus bangga sekali rasanya, sebab ini adalah pertanda lonjakan kualitas hukum kita makin transenden dan gemilang.
Gondok saja bawaannya, kok selama ini kita bebas-bebas saja bermimpi, tanpa kenal batasan. Ada, misalnya, jenis orang yang saban tidur mimpi dinner uwuw bareng Mbak Monica Belluci, kan nggak masuk akal ya.
Ada juga senior saya, yang kini aktif di LSM, katanya mimpi Pak Jokowi berinisiatif menggelar referendum secara transparan dan damai buat masyarakat Papua.
Dih, nggak beradab banget deh, masak bunga tidur dijejali motif politis begitu.
Mimpi itu ya mesti tahu diri juga. Nggak bisa seenak udel begitu. Memangnya ini negara demokratis-liberal apa?
Beruntunglah kita punya orang-orang yang mau mereformasi kebebasan yang sudah kebablasan ini. Mereka-mereka ini bersusah-payah membersihkan mimpi dari nilai dan kepentingan tertentu, supaya Indonesia senantiasa damai.
Sebuah inisiatif yang taktis dan ajaib, bila perlu, memang harus dibikin lembaga sensor yang mengurusi perkara mimpi. Sungguh ini urgent banget!!1!1!
Adalah Hasan Shihab dan kelompoknya, pelopor yang membawa spirit pembaharu itu. Mereka, melalui laporan bernomor LP/7433/XII/YAN.25/2020/SPKT PM, menggugat Babe Haikal Hassan atas dugaan ujaran kebencian, penistaan agama, dan berita bohong yang bisa menggemparkan Republik Indonesia.
Babe Haikal dikenal pasal berlapis, dan UU ITE yang lebih melar ketimbang karet nasi uduk jelas jadi sandaran kuat.
Laporan beken itu mencuat gara-gara video yang berisi ucapan duka Babe Haikal—ketika menghadiri pemakaman 5 orang laskar FPI—beredar luas di internet, setelah sebelumnya diunggah oleh kanal Front Tv.
Dalam kesempatan berbicara yang tak lebih dari lima menit itu, Babe Haikal Hassan mengutarakan bahwa dia pernah mimpi didatangi dan diberi petuah oleh Nabi untuk senantiasa bersabar tatkala dua buah hatinya wafat.
Dan dengan penuh empati, dia juga meminta para keluarga korban berlaku selayaknya dirinya; ikhlas dan menerima, sebab orang-orang yang wafat itu telah mendapatkan tempat “bersama Rasulullah”.
Saya mengulang sebanyak tiga kali video tersebut, dan tak merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Maksud saya, dalam momen demikian, memang sudah selayaknya kita memberi aneka ucapan sungkawa kepada famili yang tengah berduka.
Cuma, ya nganu, Indonesia adalah negara hukum sejati, semuanya mesti berjalan dalam koridor yang telah berlaku sesuai dengan amanat undang-undang.
Buktinya tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang tidak selesai dan tuntas. Iya, sebagian selesai dalam bentuk kampanye politik belaka, sebagian yang lain tuntas dalam jalur bernama kekeluargaan.
Toh intinya selesai dan tuntas, kan?
Bahkan, saat dimintai tanggapan soal kasus kekerasan yang menimpa Laskar FPI dan teror di Sigi, Pakde Jokowi meminta kita buat jangan seenak jidat.
“Dan ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, tidak boleh ada warga dari masyarakat yang semena-mena,” katanya.
Intinya, hukum Indonesia kadang tidak tebang pilih, tajam ke semua lini kecuali ke pejabat, kelompok mayoritas, dan koleganya, dan untuk itulah kita harus siap mempertanggungjawabkan segala ucapan, tindakan, dan impian kita yang muluk dan utopis.
Dalam konteks Haikal Hassan, kalau yang bersangkutan berani omong di Internet pernah mimpi ketemu Nabi, ya mesti ada pembuktian empiris minimal foto resolusi HD dong.
Masak waktu mimpi gitu nggak melintas di pikiran buat sekadar selfie, kan repot jadinya. Ya wajar kalau UU ITE yang maha-canggih bisa menjerat. No Pict= hoax, Gan.
Lagian buat menghilangkan duka-lara para keluarga, kan bisa pakai kalimat-kalimat syahdu lainnya, nggak perlu lah bawa-bawa mimpi segala. Apalagi sampai mimpi ketemu Nabi.
Pertama. Misalnya, Babe Haikal Hassan bisa meyakinkan ke keluarga korban kalau negara dan seluruh aparat hukum berkomitmen untuk menuntaskan hingga ke akar kasus pembunuhan ini, hingga detail paling tersembunyi.
Atau kedua, Babe Haikal Hassan bisa saja cerita soal kebaikan-kebaikan polisi dan optimisme yang tinggi terhadap institusi ini.
Bahwa tak ada salahnya keluarga korban yakin kalau polisi akan menuntaskan banyak masalah HAM dari zaman jebot sampai zaman TikTok. Termasuk permasalahan ini. Dengan adil, bijak, baik, benar, dan sesuai alur logis pada umumnya.
Meskipun… kalau dipikir-pikir lagi, dua contoh kalimat itu tadi sebetulnya terdengar lebih nggak masuk akal ketimbang Haikal Hassan mimpi berjumpa Baginda Nabi juga sih.
Tapi toh, kalau baik-baikin polisi bakal dilaporin, paling mentok juga dilaporkan atas tuduhan berita palsu, bukan pasal berlapis ujaran kebencian + penistaan agama.
BACA JUGA Hal-hal yang Dirindukan bila FPI Bubar Beneran dan tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.