“Di belakang seorang laki-laki sukses, selalu ada perempuan hebat.”
Teman-teman saya yang perempuan biasanya akan langsung protes begitu mendengar kata-kata itu. Karena perempuan juga bisa sukses dan bisa di depan, tidak selalu harus ada di belakang seorang laki-laki. Kalau mau, yang laki-laki juga boleh protes karena mereka juga bisa sukses sendirian. Tidak harus menunggu ada perempuan di belakangnya.
Kita bisa berdebat panjang soal ini, soal posisi depan atau belakang ini, tapi untuk memulai perdebatan baru saya mau menawarkan satu adagium lain: “Di belakang seorang laki-laki bajingan, selalu ada perempuan yang jadi korban”.
Fahmi Darmawansyah divonis 2 tahun 8 bulan untuk kasus penyuapan pejabat Bakamla. Ada yang kenal si Fahmi ini? Beberapa orang, mungkin, beberapa yang lain harus gugling dulu. Tidak heran kalau kemudian beberapa media daring, untuk berita yang sama, menurunkan juudul “Suami Inneke Koesherawati Divonis 2 Tahun 8 Bulan”.
Padahal kalau dipikir-pikir, apa sih kesalahan Mbak Inne di kasus itu? Kalaupun ada, pol mentok di dua hal: 1) memilih Fahmi—bukan saya, bukan kamu—sebagai suaminya, dan 2) beliau artis dan lebih terkenal daripada suaminya. Seandainya kita yang punya istri artis dan lebih terkenal, kalau bisa nama istri dicantumin juga di KTP. Status Kawin: Sudah Kawin sama Dian Sastro, misalnya.
Tahun 2009, Ibrohim alias Boim—untung bukan Ibro atau Ibra—ditembak mati polisi di Temanggung untuk kasus terorisme. Nama istrinya memang tidak jadi kepala berita di media-media ternama, tapi pascaperistiwa bom Kampung Melayu kemarin, cerita tentang istrinya bersliweran di media sosial. Terlebih setelah konon diketahui bahwa pelaku bom Kampung Melayu juga punya anak-istri.
Kata status soal Suci Hani, istri Ibrohim itu, beliau harus menunggu malam datang hanya untuk menabur bunga di makam suaminya. Mana sebentar lagi lebaran pula. Ketika sebagian orang bingung menyiapkan jawaban kalau-kalau (pasti) ditanya kapan kawin, Suci Hani mungkin sedang bingung mengatur waktu untuk membawa anak-anaknya nyekar ke makam suaminya.
Seorang perempuan lain menangis tersedu-sedu ketika membacakan surat yang ditulis suaminya di penjara. Beberapa orang menyebutnya pencitraan, beberapa yang lain membandingkannya dengan air mata para korban penggusuran yang dilakukan suaminya. Ya, saya rasa semua orang tahu pasangan suami-istri itu. Veronica Tan si istri, Ahok si suami.
Buat sebagian orang, Ahok adalah pahlawan, tapi buat yang sebagian lagi, dia adalah penista agama. Atau dalam kasus air mata istrinya, dia adalah gubernur tukang gusur. Sebagian orang kesal, saya tahu. Tapi kesedihan itu seperti jomblo, kesedihan yang satu tidak bisa dibandingkan dengan kesedihan yang lain sebagaimana ngenesnya jomblo yang satu tidak bisa dibandingkan dengan ngenesnya jomblo yang lain.
Veronica berhak bersedih dan menangis karena suaminya di penjara, hak yang sama juga untuk Inneke dan Suci Hani. Kelakuan suaminya tidak menghilangkan hak mereka meneteskan air mata. Malah yang sebenarnya tidak berhak adalah orang-orang yang membuat dan menyebarkan foto bugil Veronica, misalnya. Hambok kalau bisa photoshop, mending buka jasa ngedit foto bareng artis aja.
Kita dulu pernah seperti ini, ketika anak dan istri orang-orang yang dituduh terlibat PKI dikucilkan masyarakat. Bahkan negara mendukungnya dengan menandai KTP mereka. Saking pentingnya status anak PKI atau bukan, sampai-sampai ada yang maksa Jokowi tes DNA untuk membuktikan kalau di sel darah merahnya gak ada gambar palu-aritnya.
Ribut-ribut pilkada Jakarta yang gak selesai-selesai itu bisa-bisa ke sana juga arahnya. Bisa-bisa di masa depan orang disuruh tes DNA untuk membuktikan kalau di darahnya gak ada tulisan ‘alumni 212’ atau tulisan ‘bani serbet’.
Tapi kalau kita fokus pada masalah posisi depan dan belakang laki-laki atau perempuan tadi, maka kita akan sampai pada pertanyaan: “Apakah perempuan juga tidak bisa jadi bajingan?”
Ratu Atut Chosiyah divonis empat tahun penjara untuk kasus suap pilkada Lebak, Dewie Yasin Limpo dihukum enam tahun penjara untuk kasus suap anggaran pembangkit listrik, dan Miranda Goeltom ditahan tiga tahun lamanya karena menyuap anggota DPR untuk bisa jadi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Ini untuk menyebut beberapa nama saja.
Yang membedakan ketika perempuan melakukan kesalahan, nama suaminya jarang dibawa-bawa. Buktinya, coba, jangan gugling, sebutkan nama suami ketiga perempuan di atas? Ada yang bisa lengkap menyebutkannya? Padahal di kasus Dewie Yasin Limpo, misalnya, konon suaminya juga ikut ditahan. Atau di kasus penggandaan uang Dimas Kanjeng, nama Marwah Daud Ibrahim lebih kondang daripada suaminya yang justru diduga sebagai kepala HRD padepokan itu.
Untuk laki-laki, resiko menjadikan anak dan istrinya korban dari kelakuannya jauh lebih besar daripada perempuan. Jadi kalau nanti pas lebaran ada yang nanya kapan kawin, akui saja bahwa kita masih bajingan, bahwa kita masih belum siap mengorbankan perempuan di belakang kita untuk kelakuan kita. Bisa jadi inilah pesan moral—kalau memang harus ada—dari tulisan ini.
“Kalau masih ada yang percaya bahwa jadi bajingan itu gampang, maka segera beranguslah pikiran busuk itu!”
Maaf, saya lupa kalau ini Mojok. Saya kira Republika online.
Pesan moralnya begini: “Setiap orang boleh jadi bajingan, tapi habiskan jatah bajinganmu ketika kamu masih jomblo supaya di masa depan gak nyusah-nyusahin anak dan istrimu!”