MOJOK.CO – Gara-gara Muhidin M. Dahlan, koneksi-koneksi HMI dianggap sebagai salah satu bagian dari kelompok yang bertanggung jawab melengserkan Gus Dur. Enak aja.
Terserah kalian bila mau jelek-jelekin HMI dan membenturkannya dengan PMII. Atau, kalian mau katakan “HMI Connection” yang mengudeta Gus Dur dari tampuk kursi presiden pada 2001.
Atau, kalian taklid buta atas buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama, bahkan ada yang belum baca buku tersebut, tetapi sudah memercayainya dengan hikmat.
Atau, ada lagi tuh, penulis-penulis belia yang baru baca esai Muhidin M. Dahlan, “Salah Ya Kalau Presiden Gus Dur Dilengserkan ‘Hmi Connection’?”, langsung japri pada saya, “Kakak Safar, bantu sa dong agar bisa belajar menulis langsung pada Muhidin M. Dahlan.” Heee, saya bersama Muhidin M. Dahlan selama 2 tahun lebih, tak pernah diajari nulis secara privat. Tidak pernah!
Oke. Tinggalkan pembahasan tentang Muhidin M. Dahlan. Tra penting.
Saya belum baca buku Menjerat Gus Dur. Meski begitu, saya su baca surat Fuad Bawazier kepada Akbar Tandjung tentang pelengseran Gus Dur dari kursi presiden. Ingat, ya, Fuad dan Akbar adalah alumni HMI.
Apakah HMI sudah begitu buruk karena beberapa kadernya bermuslihat kepada Gus Dur? Eit, eit, tunggu dulu.
Saya menawarkan bacaan lain perihal kedekatan Gus Dur bersama tokoh-tokoh HMI, yaitu buku Sang Kosmopolit karya Hairus Salim, terbit bersamaan dengan buku Menjerat Gus Dur.
Kalian pasti tidak tahu kalau “HMI Connection” dan Gus Dur sudah punya kedekatan emosional sejak Gus Dur masih kecil.
Itu bermula dari Deliar Noer, mantan Ketua Umum PB HMI (1953-1955) juga tokoh Muhammadiyah, datang berkunjung ke rumah K.H. A. Wahid Hasyim bertemu K.H. Wahab Chasbullah.
Begini pengakuan Deliar Noer:
“… aku diterima dengan biasa-biasa saja; tanpa protokol. Aku dipersilakan duduk, dan sambil menunggu Kiai Wahab aku pun duduk dengan melihat-lihat keliling. Ada beberapa anak kecil sering berlari-lari dan ada juga seorang anak yang membaca dengan kacamata tebal di lantai. Aku sempat beberapa kali ke rumah itu, dan anak-anak tersebut tetap saja ada.”
Anak dengan kacamata tebal itu adalah Gus Dur. Deliar Noer memerhatikan Gus Dur yang doyan baca buku.
Kedekatan selanjutnya, Gus Dur pernah mengulas novel karya William Faulkner di majalah Media milik HMI pada 1960-an.
Nah, kalian yang banyak memuji Gus Dur, mesti berterima kasih kepada HMI karena dari majalah milik HMI-lah Gus Dur optimistis menulis esai di koran-koran nasional. Bayangkan, kalau kanda redaktur Media menolak tulisan Gus Dur lalu putus asa kayak penulis pemula zaman sekarang—yang tulisannya ditolak sekali, lalu memutuskan berhenti menulis—yah kita tidak akan membaca tulisan-tulisan Gus Dur yang canggih.
Akan tetapi, tentu mental Gus Dur tidak seperti itu, kau kira beliau pu mental kerupuk, hah?
Semangat menulis Gus Dur sama dengan semangat menulis Cak Nur atau Nurcholish Madjid. Cak Nur adalah tokoh yang dipuja oleh kader-kader HMI. Saking hebatnya Cak Nur ini, ia lebih terkenal dibandingkan pendiri HMI, yaitu Lafran Pane. Bahkan mungkin lebih terkenal ketimbang HMI-nya sendiri.
Gus Dur dan Cak Nur adalah esais andal di bidang Islam ke-indonesia-an. Namun, kalian pencinta Nurcholish Madjid jangan dulu berbangga diri. Cak Nur pernah diejek habis-habisan oleh Gus Dur karena selera sastra Cak Nur sangat kering.
Ah, kalian sudah pasti baca esai-esai Cak Nur yang mendayu-dayu itu, tidak sastrawi. Ups, saya salah, saya baru ingat bahwa banyak kader HMI malas baca buku.
Kalian pengin membantah? Tidak usah, akan semakin tampak kalau kalian memang malas baca buku, wong buku Cak Nur, Islam, Doktrin, dan Peradaban, yang semestinya menjadi bacaan wajib di HMI, tidak dibaca tuh.
Selain tidak baca buku sastra, Cak Nur juga kolot. Sebab, jauh sebelum Gus Dur mengejek Cak Nur, Ahmad Wahib juga sudah mengejek Cak Nur yang memiliki pemikiran konservatif. Wah, Cak Nur konservatif lho.
Jangan ngegas dulu, kalian mesti baca catatan Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, supaya tahu bagaimana intelektual Cak Nur biasa saja pada zaman itu.
Ahmad Wahib punya dua teman yang tidak kalah kerennya, yaitu Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo. Dua orang itu juga kader HMI yang berteman dengan Gus Dur.
“HMI Connection” lainnya adalah Kiai Yahya Cholil Staquf, yang pernah menjadi juru bicara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi presiden.
Sampai di situ, kalian paham, kan, bagaimana “HMI Connection” tidak seburuk yang kalian pikirkan.
Jadi, hubungan “HMI Connection” dan Gus Dur tidak buruk-buruk amat kok. Yang buruk dan busuk itu hanya “Akbar Tandjung Connection”.
Tra percaya?
Coba cek lagi nama-nama yang tercantum di Skenario Semut Merah (SEMER), yang mayoritas alumni HMI.
Kalau kalian malas, saya sebutkan di sini: Akbar Tandjung, Fuad Bawazier, Hidayat Nur Wahid, Alimarwan Hanan, Hamdan Zoelva, Patrialis Akbar, Azyumardi Azra (kok, ada nama blio di komplotan ini, ya?), Anas Urbaningrum, M. Fakhruddin, dan yang paling sepuh ada Amien Rais.
Sepuluh orang tersebut memang kader HMI, tetapi mereka bukan “HMI Connection”, melainkan “Akbar Tandjung Connection”.
Maksudnya apa?
Begini, di HMI, bila Kanda-Kanda mau jadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI, mereka akan “menjilat” dulu pada Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Dua orang itu sudah cukup. Muslihat politik Akbar Tandjung begitu aduhai, sedangkan Jusuf Kalla begitu… (ah, kalian isi sendiri saja titik-titik itu, sa tra berani).
Jangan tegang. Di HMI “jilat-menjilat” adalah hal biasa. Bagi yang menghayati, jilatan adalah kenikmatan tiada terkira; bagi yang setengah progresif, jilatan terasa menjijikkan; bagi kader idealis tanpa kompromi, jilatan menjadi haram.
Jangan tegang. Di HMI, hal seperti itu tidak mengagetkan kok. Untuk kader muda, mereka tidak tahu hal-hal demikian, yang mereka tahu cuma satu kata: LAWAN! Namun, saat mereka sadar bahwa di HMI banyak keculasan, ada beberapa orang meneriakkan: BUBARKAN HMI!
Eh, jangan dulu berburuk sangka, begitu banyak kader—walau sudah tahu bobrok HMI—tetap konsisten bertasbih: YAKUSA! (YAKIN USAHA SAMPAI).
Yang mesti diperhatikan, HMI tidak saja mengenai “Akbar Tandjung Connection”, tetapi masih banyak alumni HMI garis lurus; ada yang berhaluan kiri, syiah, ahmadiyah, NU-cum-Gusdurian, dan Muhammadiyah. Bahkan, Abu Bakar Ba’asyir saja adalah alumni HMI.
(((Abu Bakar Ba’asyir alumni HMI.)))
Sebenarnya, sebelum hiruk-pikuk buku Menjerat Gus Dur (2020), sudah ada skripsi berjudul “Politik Jaringan KAHMI dan Kejatuhan Presiden Abdurahman Wahid” (2001) disusun oleh M. Fachrur Riza—juga kader HMI—di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2012.
Coba tebak, siapa saja yang menjadi narasumber kunci dalam skripsi tersebut?
Mereka adalah Akbar Tandjung, Fuad Bawazier, dan dua nama yang tidak disebutkan di dokumen Skenario Semut Merat, yaitu Anwar Arifin dan Bachtiar Chamsyah. Yah, masih “Akbar Tandjung Connetion”.
Artinya, terlalu sembrabangan kalau menyebut Gus Dur dilengserkan “HMI Connection”, lebih tepat itu “Akbar Tandjung Connection”. Dan kalau mengembangkan celetukan Gus Dur tentang HMI, maka bakalan jadi kayak gini.
Jika “HMI halalkan segala cara, sedangkan PMII tidak tahu caranya”…
… maka Akbar Tandjung adalah stempel halalnya.
BACA JUGA Surat Berisi Skenario Pelengseran Gus Dur Ditemukan Jurnalis atau tulisan soal GUS DUR lainnya.