MOJOK.CO – Framing yang dilakukan beberapa media justru menyandera Presiden Jokowi. Padahal, Presiden tidak pernah bilang melarang penjualan rokok ketengan.
Kemarin, Senin (26/12) ramai soal kabar pelarangan penjualan rokok ketengan. Kabar ini tersebar lewat begitu banyak media, mulai dari yang media kecil hingga media raksasa kelas nasional. Semua berita itu mengatakan satu kebohongan yang sama: Presiden Jokowi melarang penjualan rokok ketengan. Padahal, kenyataannya, Presiden tidak berkata kalau “sudah” melakukan pelarangan.
Persoalannya, hal tersebut sama sekali tidak benar. Tidak ada aturan pelarangan penjualan rokok eceran yang dikeluarkan oleh pemerintah dan diumumkan oleh Jokowi. Coba tengok Keputusan Presiden, kamu tidak akan menemukan landasan dari kebenaran soal larangan penjualan rokok ketengan. Tidak ada sama sekali.
Sumber berita yang digunakan banyak media adalah Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2022 tentang program penyusunan peraturan pemerintah. Jika kita mencermatinya, di salah satu rancangannya, membahas soal rancangan perubahan Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang rokok. Salah satu poin yang terbahas di rancangan tersebut adalah usulan pelarangan penjualan rokok ketengan.
Jika kamu membaca sekilas saja, khususnya buat yang awam bahasa hukum, pasti akan mengira bahwa pemerintah, dalam hal ini Jokowi, akan melarang penjualan rokok ketengan. Namun, patut diingat, media itu bukan seorang awam. Media harusnya bisa melihat isi Keputusan Presiden tersebut dengan lebih jernih dan benar. Sebabnya, Keputusan Presiden itu hanya berisi tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan dibahas tahun depan, tidak kurang dan tidak boleh dilebihkan.
Coba baca baik-baik, di Keputusan Presiden tersebut ada begitu banyak RPP yang dibahas pemerintah tahun depan. Misalnya, yang paling penting, RPP tentang Pencegahan Kekerasan Seksual. Ada juga RPP tentang penyertaan modal negara. Namun, dari sekian banyak RPP di Keppres tersebut, kenapa cuma soal rokok yang dibahas media? Atau lebih tepatnya, kenapa bisa poin usulan pelarangan penjualan rokok ketengan yang justru menjadi berita utama? Apakah hanya karena ada kata kunci Jokowi di sana?
Pertanyaan tersebut jelas tak bisa saya jawab. Saya bukan wartawan atau anggota perkumpulan wartawan. Kalau cuma menuduh media dan wartawan (apalagi yang tergabung di satu aliansi), tentu nggak baik. Meski ya kita sama-sama tahu selalu ada program beasiswa liputan dengan tema mendiskreditkan rokok dari perkumpulan jurnalis hampir di setiap tahunnya.
Hanya, ada satu hal yang pasti. Ada banyak media yang telah menyebar kebohongan terhadap publik terkait isu ini apalagi menggunakan nama Pak Jokowi di sana. Sedihnya, kebohongan media terkait rokok ini bukan hanya baru sekali terjadi. Misalnya seperti hoaks pemerintah menaikkan harga rokok menjadi Rp50 ribu pada 2016. Ada banyak media yang juga ikut menyebarluaskan kebohongan tersebut.
Sekadar mengingatkan, pada 2016 hokas rokok Rp50 ribu itu dimulai dari situs ecek-ecek yang membuat artikel dengan judul “Kebijakan Pemerintah!! Mulai hari ini harga rokok naik menjadi Rp50.000/bungkus”. Dari artikel tersebut, kemudian media ikut menyebarluaskan hoaks ini ke publik. Bukannya insyaf, kabar bohong ini justru dijadikan media sebagai wacana publik. Sebuah kegilaan nyata yang dilakukan media.
Dan pada isu larangan rokok ketengan ini, media kembali melakukan kebodohan dengan membuat berita seakan pemerintah telah melarang hal tersebut. Dengan judul “Tahun Depan Jokowi Larang Rokok Ketengan”, tentu saja publik akan menganggap bahwa hal tersebut telah terjadi, padahal ya tidak seperti itu kenyataannya.
Bahkan dengan menyatakan “akan” saja, itu sudah keliru. Pak Jokowi tidak pernah bilang seperti itu. Ingat, prinsip RPP itu adalah usulan yang masih akan dibahas. Misalnya Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang mengajukan usul bisa menjadikan RPP ini untuk dibahas pemerintah, tapi belum tentu Kementerian lain akan menerima usulan tersebut. Bisa saja tahun depan, rancangan revisi PP 109 ini akan kembali mentah seperti yang terjadi di tahun ini.
Kalau kemudian usulan rancangan tersebut ditolak, kan kemudian pemerintah tidak melarang penjualan rokok ketengan. Kata “akan” yang media gunakan di judul-judul itu jadi tidak benar, dan bukan menjadi fakta. Lagipula, hal yang sebatas usulan tentu bukan berarti sudah melarang. Masa ya Keputusan Presiden soal rancangan disebut sebagai aturan baru. Ingat, ini baru rancangan. Logika hukum paling dasar seperti ini saja masa redaktur media besar tidak memahaminya?
Harusnya media itu menuliskan fakta dan kenyataan, bukan malah menggiring opini. Kalau mau menggiring opini ya setidaknya jangan menjadikan itu sebagai tulisan berita. Kalau media kemudian sudah tidak lagi menjadikan kebenaran atau fakta sebagai landasan membuat berita, siapa lagi yang bisa dipercaya untuk menyebarkan kebenaran?
Hal ini tentu menjadi bukti bagaimana kualitas media di Indonesia. Sudah cuma modal judul bombastis seperti “Presiden Jokowi Melarang Penjualan Rokok Ketengan”, kemudian juga tidak mau atau tidak bisa melakukan verifikasi terkait sumber berita yang digunakan. Kemudian, ketika ada satu atau dua berita dengan judul tersebut, media-media lain pun mengekor kebodohan tersebut dengan menyebar ulang kebohongan terhadap publik.
Dan sekali lagi, framing yang disebarkan seperti ini justru bakal menjadi wacana di publik, dan hal hal ini justru akan menyandera Presiden Jokowi dalam kebijakan soal rokok ketengan. Biar gimana, yang namanya kebijakan itu harus mengakomodir semua pihak. Jangan sampai karena kesalahan media menyebar hoaks, kebohongan itu justru dipercaya dan menjadi tuntutan pada Pak Jokowi untuk mewujudkannya.
BACA JUGA KNPK: Sri Mulyani Memang Ingin Membunuh Industri Strategis Bangsa Ini dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Aditia Purnomo
Editor: Yamadipati Seno