Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ekspetasi VS Kenyataan Jadi Santri Gontor

Munir Abdillah oleh Munir Abdillah
28 April 2021
A A
Ekspetasi VS Kenyataan Jadi Santri Gontor

Ekspetasi VS Kenyataan Jadi Santri Gontor

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Jangan percaya kalau ada orang bilang kalau santri Gontor itu setengahnya Muhammadiyah, setengahnya NU. Tidak, tidak kayak gitu.

Kalau kamu menyempatkan main ke Pesantren Gontor, hal pertama yang bakal bikin kamu notice adalah keberadaan tulisan gede terpampang: “Ke Gontor Apa yang Kau Cari?”

Sebuah tulisan yang saya rasa bakal membekas di memori terdalam bagi siapa saja yang pernah jadi santri di Pesantren Gontor.

Begitu filosofis, sekaligus sulit dijawab. Mungkin karena sulit dijawab, pertanyaan itu pun akhirnya jadi begitu membekas di setiap alumni Gontor (baik yang lulus baik-baik maupun yang tidak).

Saya kadang bertanya-tanya, apa jangan-jangan justru karena pertanyaan itulah Pesantren Gontor banyak melahirkan orang-orang yang telah mewarnai Indonesia?

Sebut saja Idham Chalid, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid, Din Syamsuddin, Amin Abdullah, bahkan sampai Abu Bakar Ba’asyir.

Soal nama terakhir, kamu tak perlu protes. Blio kan ya tetep itungannya “mewarnai” Indonesia juga. Hehe.

Dari tokoh-tokoh di atas, saya kadang mikir, bagaimana sebuah pesantren bisa melahirkan alumni yang plural begitu? Beda-beda haluan. Punya kecenderungan Islam yang tak jarang berseberangan. Bahkan berasal dari golongan ormas yang berbeda.

Oleh sebab itu, jangan percaya kalau ada orang bilang kalau Gontor itu anteknya Wahabi, isinya Muhammadiyah, ajarannya NU, simpatisan Persis, atau apapun. Tidak, tidak ada yang seperti itu.

Pesantren Gontor itu—setidaknya sesuai pengalaman saya bertahun-tahun nyantri di sana belasan tahun lalu—netral di atas dan untuk semua golongan. Semua dipelajari, semua dikritik, semua dibahas, semua dirembug.

Barangkali penetralisir itu hadir karena para pendiri Gontor tak pernah muluk-muluk berharap pada santri-santrinya.

“Kalian saya anggap menjadi alumni sukses jika mau mengajar di surau-surau kecil di pelosok negeri.” Begitu pesannya.

Simpel banget, tak kelihatan mewah sama sekali. Meski begitu, bagi alumni, efek dari pesan sederhana itu begitu luar biasa. Sebab, setinggi apapun jabatanmu di dunia, kamu tak akan berarti jika tak memberi manfaat kepada lingkunganmu.

Oh, iya sebelum saya lanjut nyerocos soal Gontor, ada baiknya saya memperkenalkan latar belakang saya dulu. Anu, saya kebetulan lahir procot dari rahim NU.

Iklan

Maksudnya, ibu saya NU, bapak saya NU, kampung saya NU, masjid saya NU, bahkan mungkin ikan lele saya juga NU.

Itu yang jadi sebab sebelum menyandang status sebagai santri Gontor, saya pernah nyantri juga di pesantren NU di daerah Jawa Tengah. Intinya, NU banget lah saya ini.

Maka dari itu, ketika akhirnya saya akan “dipindah” mondok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, saya tak punya ekspetasi apa-apa selain.. wah, bakal diajarin klenik ini saya, kayaknya.

Maklum, ketika masih kinyis-kinyis, dalam bayangan saya, orang kalau mau mondok ke Jawa Timur itu pasti pulang-pulang bakalan jadug, bakal sakti, punya ilmu kanuragan, bisa terbang, bisa ngilang, wah sangar pokoknya.

Lingkungan saya yang NU, sedikit banyak memberi “bekal” untuk mikir klenik-klenik begitu. Maklum, irisan masyarakat Nahdliyin dengan masyarakat yang klenik kan tipis sekali. Kadang-kadang suka sulit dibedakan. Kadang.

Ditambah dengan citra pesantren di Jawa Timur yang terkenal dengan kisah pesilat-pesilat zaman dulu, adu ilmu kesaktian antar-kiainya. Beneran udah kayak dunia persilatan yang melegenda lah pokoknya.

Makanya, ketika dipaksa Bapak untuk pindah pondok, saya langsung kepikiran punya ilmu-ilmu begitu. Pengin aja rasanya, kalau setiap buka pintu bisa salat jumat di Mekah, salat asar di Turki, salat magrib di Madinah, salat isya di Kongo.

Sampai kemudian, ketika saya datang kali pertama ke Gontor, hal-hal seperti itu nggak ada sama sekali. Boro-boro kesaktian, di Gontor itu kamu memiliki cincin akik saja dilarang sangat keras.

Jangankan ngurusi masalah jin, keris, atau kesaktian lainnya, santri makan sepiring berdua saja bisa digundul, pakai sandal diseret digundul, ngomong bahasa jawa digundul. Jadi mana mungkin santri Gontor punya waktu ngurusin hal-hal seperti itu?

Ngurusin aturan duniawi di dalem pondok aja kerepotannya setengah modiyar kok, hakok mau ngurusin kesaktian.

Jika pun ada santri Gontor yang memaksakan diri untuk ngurusin hal aneh itu, hampir bisa dipastikan dia nggak akan betah lama-lama. Lah gimana? Kegiatan sudah sudah super-sibuk.

Urusan kelas, pramuka, sampai klub-klub khusus. Belum dengan belajar bahasa Arab dan Inggris setiap waktu. Bahkan konon, ketika sudah mimpi sekalipun, santri Gontor itu sebenarnya masih berkegiatan.

Itulah kenapa, sejak awal masuk, ustaz pembimbing sudah mewanti-wanti dengan keras. Yang bawa hal-hal yang berbau gaib segera dibuang. Atau kalau kalau itu pusaka keluarga, bawa pulang. Karena itu semua akan menghambat.

Prinsipnya sederhana: percayalah kepada kemampuan sendiri. Di atas hanya Allah di bawah hanya tanah. Gitu.

Kalaupun ada jimat yang diizinkan oleh santri Gontor sih, mungkin cuma satu. Jimat dalam bentuk mantra. Mantra itu bunyinya gini, “man jadda wa jada“, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.

Jadi jika awal ekspektasi awal mondok ke Gontor bisa sakti, pada kenyataannya saya malah dapat ilmu yang lebih dan sangat kurang jika hanya dituntut selama 5 tahun. Ibaratnya seperti minum air laut, semakin minum semakin haus.

Semakin tahu banyak hal, malah merasa semakin bodoh. Begitu kenyataan yang saya dapat begitu jadi santri Gontor.

BACA JUGA Seberapa Gereget sih Kamu Ketika Jadi Santri? dan tulisan Munir Abdillah lainnya.

Terakhir diperbarui pada 28 April 2021 oleh

Tags: GontormadinahMekahPesantrenpondoksantri
Munir Abdillah

Munir Abdillah

Bakul kopi di Salatiga

Artikel Terkait

Tayangan Trans7 tentang pesantren memang salah kaprah. Tapi santri juga tetap perlu berbenah MOJOK.CO
Aktual

Trans7 Memang Salah Kaprah, Tapi Polemik Ini Bisa Jadi Momentum Santri untuk “Berbenah”

17 Oktober 2025
Ilustrasi Pesantren Lirboyo diserang framing TransTV yang kelewatan - MOJOK.CO
Esai

Framing Busuk Trans7 ke Pesantren Lirboyo dengan Citra Perbudakan adalah Kebodohan yang Tidak Bisa Dimaafkan Begitu Saja

14 Oktober 2025
Etika santri di pondok pesantren bukan pengkultusan pada kiai MOJOK.CO
Ragam

Dari Sungkem hingga Minum Bekas Kiai, Dasar Etika Para Santri di Pondok Pesantren yang Dituding Perbudakan

14 Oktober 2025
Ilustrasi pondok pesantren yang jadi makelar jodoh - Mojok.co
Ragam

Perjodohan di Pesantren “Makelar Jodoh”: Dipaksa Terima Orang Tak Dikenal Hanya karena Saleh, Tapi Jalani Rumah Tangga Menderita

10 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.