Dunia Maudy Ayunda yang Tak Sempurna

Dunia Maudy Ayunda yang Tak Sempurna

Dunia Maudy Ayunda yang Tak Sempurna

MOJOK.COSudahi mengagumi Maudy Ayunda yang baru lulus dari Stanford University dengan berlebihan. Ingat, kamu juga punya kehidupan.

Ayunda Faza Maudya, BA., MA., MBA., kini jadi nama lengkap beserta gelar akademik Maudy Ayunda.

Beberapa hari lalu, Maudy baru saja lulus dari Stanford University, Amerika Serikat. Ia menyandang dua gelar sekaligus yaitu Master of Arts dan Master of Business Administration pada usia 26 tahun.

Kalau kemarin-kemarin kita heboh soal usia 25 sebaiknya anak muda punya tabungan 100 juta, maka Maudy Ayunda seperti udah melampaui itu semua.

Pada usia 26 tahun tabungannya bukan tak mungkin sudah mencapai miliaran rupiah dan lulus dari kampus paling bergengsi di jagat raya. Padahal, kalau saya ingat-ingat lagi, pada usia 26 tahun saya masih hidup dengan gaji bulanan 2 jutaan. Dunia yang jauh berbeda. Haha.

“Maudy keren ya!” begitu tanggapan sebagian besar orang.

“Dia pandai memanfaatkan privilese dalam keluarganya!” ujar sebagian orang yang paham faktor pendorong keberhasilan Maudy.

“Maudy adalah perpaduan kerja keras, kerja cerdas dan semua fasilitas yang disediakan keluarganya,” kata yang lain.

Maudy tumbuh dengan beragam privilese alias keistimewaan. Keluarga bahagia yang mendukung tumbuh kembangnya secara penuh. Meski awalnya keluarga Maudy Ayunda adalah keluarga biasa, namun seiring waktu mereka jadi keluarga berada.

Semakin tahun Maudy tumbuh dalam rumah mewah, tidak kekurangan makanan bergizi, dan selalu mendapat kasih sayang keluarganya.

Setidaknya, kesimpulan itu bisa kita lihat dari riwayat pendidikan Maudy Ayunda.

SD: Mentari Intercultural School, Jakarta

SMP: Mentari Intercultural School, Jakarta

SMA: British School Jakarta

S-1: Universitas Oxford, P.P.E (Politics, Philosophy, and Economics) – lulus 2016

S-2: Universitas Stanford, M.B.A. (Master of Business Administration) dan M.A. (Master of Arts) – lulus 2021

Lihat sekolah Maudy dari SD-SMA: itu sekolah mahal. Tanpa setumpuk uang, bagaimana mungkin Maudy bisa menikmati lingkungan sekolah yang membuatnya tumbuh sebagai remaja cerdas, yang kepikiran bulat melanjutkan kuliah ke Universitas Oxford di Inggris?

Padahal bagi kebanyakan anak Indonesia, bisa masuk kampus negeri di provinsi tempat tinggal saja sudah sangat bersyukur.

Banyak anak lain yang sudah diterima di kampus bergengsi seperti IPB, UI, UGM, ITB saja harus gugur karena tidak bisa bayar uang gedung, atau terlambat mengetahui informasi beasiswa.

Sementara Maudy Ayunda, saat SMA saja udah kepikiran buat kuliah di luar negeri. Artinya, dia nggak pusing mikirin soal keuangan. Kalau soal kemampuan bahasa Inggris sih, dia pasti udah tokcer dari riwayat pendidikan sebelumnya.

Ingat, banyak anak Indonesia lain yang susah belajar bahasa Inggris karena nggak punya uang buat bayar kursus. Apalagi mereka yang hidup di kampung, makin susah lagi.

Saat merencanakan kuliah S2 di Amerika, sesungguhnya Maudy Ayunda merupakan penerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan. Pertanyaannya: ngapain sih orang sekaya Maudy Ayunda kuliahnya harus pakai beasiswa LPDP?

Nggak mungkin kan Maudy nggak mampu membiayai kuliahnya sampai harus pakai beasiswa LPDP?

Kalau boleh berandai-andai, mungkin jawabannya justru LPDP yang butuh nama Maudy Ayunda sebagai salah satu fellow-nya. Uang beasiswa LPDP barangkali receh banget lah kalau dibanding tabungannya Maudy. Mungkin juga, dalam konteks kenegaraan, Maudy adalah aset berharga untuk negeri ini.

Maudy Ayunda dan pencapaian hidupnya memang begitu keren dan hebat, tapi dia tidak sesempurna yang dikira.

Mengapa?

Sebab, dia berjalan di karpet merah kemudahan dan fasilitas. Meskipun harus diakui, Maudy benar-benar pandai menempatkan diri dan memanfaatkan segala dukungan yang diberikan padanya. Keberhasilan Maudy adalah perpaduan antara privilese, kerja cerdas, dan kerja keras.

Jika Maudy anak petani karet di ujung Sumatera, kerja keras dan kerja cerdasnya mungkin hanya membuatnya sampai ke kampus pinggiran Jakarta, bukan Amerika.

Saya punya seorang teman untuk memberi gambaran itu.

Teman saya anak sulung dari 8 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai penarik becak dan ibunya ibu rumah tangga.

Bisakah membayangkan bagaimana sulung dari 8 bersaudara, dari keluarga miskin bisa menyelesaikan S3 dan sekaligus membuat ke-7 adiknya berhasil jadi sarjana?

Ya, teman saya berhasil melakukannya. Ia hemat bukan main, pekerja sangat keras, pembelajar sangat tekun, dan membagi uangnya untuk semua adiknya agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi.

Saat kuliah S1 teman saya mendapat beasiswa dari kampus, lantas bekerja serabutan sebagai tukang jahit pesanan, plus menjadi guru privat. Saat S2, ia bekerja serabutan demi membiayai kuliahnya dan tinggal di asrama mahasiswa agar nggak bayar uang kos. Saat S3, ia mendapat beasiswa Dikti dan menerima jahitan, juga menjual kain kiloan dengan suaminya.

Selama masa kuliah dari S1-S3, mia selalu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membiaya ke-7 adiknya dari sekolah hingga kuliah.

Alhasil, teman saya, si sulung dari 8 bersaudara ini, berhasil menyandang gelar S3 dari IPB disertai peluk bangga kedua orang tuanya dan ke-7 adiknya yang telah ia sekolahkan dengan susah payah.

Lihat: teman saya ini kuliah di kampus dalam negeri dan beasiswa yang ia terima pun nominalnya kecil. Tetapi, saat ia melaju tinggi dalam pendidikan, ia turut membawa serta ke-7 adiknya.

Jika dulu keluarganya selalu direndahkan karena masalah kemiskinan, kini tatapan orang mulai berubah. Di kampungnya: ia perempuan pertama dan satu-satunya yang berhasil kuliah S3.

Teman saya ini telah terbukti mampu tumbuh dalam kepungan hinaan dan rintangan, bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan bersama ke-7 adiknya. Maka bagi saya, jika dibandingkan dengan teman ini, pencapaian Maudy Ayunda jadi terkesan biasa-biasa saja.

Atau ada juga seorang perempuan muda yang saat remaja dipaksa orang tuanya untuk menjalani Perkawinan Usia Anak (PUA). Orang tuanya yang miskin hendak “membuangnya” dan menghancurkan mimpi-mimpinya.

Dua kali ia dipaksa orang tuanya sendiri untuk menikah usia anak aih-alih melanjutkan sekolah. Namun, perempuan muda itu menolak takluk.

Berpendidikan adalah haknya sebagai manusia dan ia memilih bekerja serabutan demi melanjutkan sekolah, dan membuktikan bahwa ia bisa melepaskan diri dari menjadi beban kedua orang tuanya.

Tahun-tahun berlalu. Ia bukan saja berhasil terhindar dari Perkawinan Usia Anak, namun juga telah menyandang gelar sarjana, bekerja di lembaga internasional untuk hak anak dan kini menjadi pekerja kantoran di Jakarta.

Karpet hidupnya mungkin bolong-bolong dan kusam, tak secemerlang Maudy Ayunda, tapi ia berhasil menyelamatkan hidupnya dan menjadi inspirasi banyak remaja perempuan Indonesia untuk melanjutkan pendidikan alih-alih menyerah pada Perkawinan Usia Anak.

“Masa iya kamu mengatakan pencapaian Maudy sangat biasa? Dia lulusan Stanford lho!” katamu tidak terima.

“Lha, banyak orang di dunia ini lulusan Stanford bahkan Harvard. Bagi orang kaya, bagi anak-anak kalangan atas lulus dari kampus bergengsi di luar negeri ya biasa aja. Apa istimewanya?” itu pembelaan saya.

“Tapi kan masuk Stanford itu susah,” belamu lagi.

“Susah bagi orang miskin dan bodoh. Ingat, pendidikan itu bukan hanya soal otak, tapi akses. Maudy Ayunda udah dapat akses dan jaringan ke dunia pendidikan internasional sejak SD. Lha, kamu kalau sekolah di SD negeri ujung berung gimana ceritanya dapat jaringan dan pengetahuan internasional yang setara itu?”

“Sebagai sesama perempuan kok kamu nggak bangga sih sama Maudy?” mungkin kamu berpikir demikian.

Oh, tidak. Saya bangga sama Maudy Ayunda, tapi, kebanggaan ini bukan kebanggaan berlebihan. Biasa aja.

Terkait kisah Maudy yang sempurna dan teman saya yang harus jungkir balik hidupnya, saya kira itu jadi gambaran nyata tentang kesenjangan di masyarakat kita.

Belum lagi jika dibandingkan dengan mereka yang terancam putus sekolah dan dipaksa menikah usia anak oleh orang tuanya, sampai harus jungkir balik kerja serabutan biar tetap bisa sekolah.

Oh, Maudy Ayunda jelas tidak merasakan itu semua. Belum lagi mereka yang menahan lapar saat mengerjakan tugas sekolah, atau menahan malu karena seragam yang butut, atau dihina dina guru karena nggak bisa bahasa Inggris, atau ngantuk di sekolah karena harus nyambi nyantri di Pesantren, atau yang nyambi memikirkan utang orangtuanya, atau yang belajar di pengungsian karena terusir dari kampung halaman, atau yang mengalami bencana.

Terlepas dari itu, pertanyaannya pentingnya bukan di sana, melainkan adalah… memangnya kita bisa kuliah di Stanford University seperti Maudy Ayunda?

Kuliah di kampus manapun yang kita inginkan di dunia ini adalah BISA. Mau pakai uang sendiri atau beasiswa, BISA. Hanya saja, ada proses yang harus dilalui dengan sabar, disiplin, dan cerdas. Saya sendiri berproses selama satu tahun untuk mendapatkan beasiswa IFP pada 2010 lalu.

Buat kamu yang sudah selesai dapat beasiswa tersebut, kita juga harus mengisi berbagai dokumen untuk mendapatkan Letter of Acceptance (loA) dari kampus tujuan, termasuk surat rekomendasi dari satu atau dua orang profesor di kampus tujuan. Semua ditulis dalam bahasa Inggris akademik dengan tata bahasa sempurna.

Bayangkanlah, jika kamu anak ndeso di pinggiran Indonesia mau kuliah di Stanford University, proposal seperti apa yang bakal kamu tulis dan siapa profesor yang bakal kamu kontak untuk diajak berkomunikasi?

Ini berbeda dengan Maudy Ayunda, dia sudah terbiasa berbahasa Inggris sejak SD. Sejak SMA bacaannya saja majalah The Economist, bikin proposal atau rencana studi atau berkomunikasi via email dengan profesor di kampus tujuan tidak seberat anak-anak di pinggiran Indonesia yang tak terjamah akses pendidikan.

Mendapat pendidikan dasar hingga menengah di lembaga-lembaga pendidikan yang membawa isu global dengan bahasa Internasional, adalah modal dasar Maudy untuk punya pemikiran kritis level global.

Jaringan Maudy Ayunda barangkali ada yang dari kalangan elite, lintas negara, ragam bahasa, dan budaya. Di luar kemampuannya yang luar biasa, akses ini jadi penopang Maudy untuk meraih potensinya secara maksimal.

Artinya, kita harus sadar bahwa hanya sedikit warga negara yang punya keistimewaan seperti yang dimiliki Maudy. Mereka-mereka yang jadi warga negara dengan jungkir balik untuk mendapat akses pendidikan maksimal, seperti kisah teman saya tadi.

Jadi, sudahilah memuji Maudy secara berlebihan. Sudah saatnya memperjuangkan mimpimu sendiri. Kamu juga bisa kok mencapai lebih dari yang dicapai Maudy Ayunda meski dikepung aneka kesulitan. Nilainya bisa sama baiknya, meski secara nilai materiil terlihat begitu berbeda.

Sebab, seperti judul tulisan ini, dunia Maudy Ayunda pun sama seperti yang kita punya: tak sempurna.

BACA JUGA Menangisi Ibu Maudy karena Ibu Sendiri Nggak Begitu dan tulisan ESAI lainnya.

Exit mobile version