Strategi penjajah
Dahulu kala, pemerintah Hindia Belanda berhasil menancapkan taringnya hingga ke desa-desa dengan cara seperti itu. Yaitu dengan mencokok hidung para raja kecil seperti bupati, demang, lurah, dan kepala dukuh agar setia dengan kumpeni dengan gelontoran uang suap dan korupsi.
Penjajah dengan jumlah orang Belanda (dan jumlah pasukan militer) yang tidak seberapa banyaknya, jika dibandingkan dengan jumlah pribumi pada saat itu, mampu menguasai hampir seluruh Nusantara dengan cara mengikat raja-raja desa. Belanda paham betul tipikal masyarakat desa adalah masyarakat sosial feodal yang hormat dan tunduk pada patron atau pimpinan komunitas atau desanya.
Maka, cukup dengan mengendalikan pemimpinnya saja, seluruh desa akan terkuasai. Strategi penjajahan jitu itu rupanya dipelajari dengan seksama dan dipraktikkan oleh penguasa hari ini dalam konteks pemilu.
Tapi sialnya, pengetahuan sepenting itu tidak tersentuh oleh kawan ronda saya di desa. Seyogyanya, mereka menjadi subjek sekaligus objek terpenting dalam siasat ini. Tapi apa lacur, mereka hanyalah orang biasa yang tidak terpapar konten yang luar biasa ini.
Dirty Vote “hanya” kena ke pemilih berpendidikan
Penyebutan mereka sebagai “orang biasa” tiada maksud merendahkan. Istilah biasa di sini mengacu pada kuantitas, jumlah orang Indonesia kebanyakan, common people. Yakni, golongan warga yg tidak terakses pengetahuan tinggi yang diasumsikan mampu memahami diksi-diksi intelek dan istilah politik yang rumit pada video Dirty Vote.
Video itu dibuat untuk sasaran orang Indonesia berpendidikan tinggi atau setidaknya terakses pergaulan digital. Ketahuilah, golongan ini sangatlah sedikit jumlahnya. Minoritas.
Dengan asumsi bahwa golongan yg “melek” dengan Dirty Vote adalah orang yang pernah kuliah, maka jumlahnya sangat minim di negara ini. Data Kemendagri tahun 2022 menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang mengenyam perguruan tinggi hanya sekitar 6,41%. Dari jumlah itu hanya 0,45% yang mencapai jenjang magister dan doktoral.
Katakanlah hitungan kasar saya, hanya sekitar 15 juta penduduk yang pernah kuliah yang mudeng dengan pembahasan Dirty Vote oleh narsum para pakar itu. Itu saja dengan asumsi tidak semua dari 15 juta mau dan mampu menonton Dirty Vote.
Lantas, bagaimana dengan ratusan juta penduduk Indonesia lainnya yang tidak tersentuh film itu?
Bagaimana dengan orang biasa yang mungkin sudah kadung menjatuhkan pilihan mencoblos pada orang yang salah? Tanpa mempan digoyang dengan video-video serupa Dirty Vote?
Bagaimana dengan para tetangga saya di desa yang termasuk golongan “orang biasa” itu. Dalam grup ronda tadi malam, hanya saya satu-satunya orang yang beruntung bisa kuliah. Dari 9 anggota ronda, 8 lainnya adalah petani, buruh bangunan, serabutan, dan pedagang. Merekalah gambaran orang biasa yang tidak terpapar sama sekali dengan hebohnya berita tentang Dirty Vote kemarin.
Dalam kajian budaya media digital, terdapat suatu konsep tentang bagaimana seseorang terekspos suatu informasi berdasarkan algoritma yang membaca perilakunya di internet. Accidentally news exposure adalah istilah untuk kejadian seperti yang saya alami dengan tiba-tiba muncul berita tentang Dirty Vote berkelindan di medsos.
Akan tetapi, masalahnya, boro-boro tentang algoritma, “orang-orang biasa” geng ronda saya ini bahkan tidak mainan medsos. Jadi, upaya Dandhy Laksono menghadirkan video dengan harapan bisa membuka perspektif pemilih nanti, tidak akan berguna bagi mayoritas rakyat Indonesia. Dan sepertinya penguasa lalim negeri ini paham betul tentang realita ini.
Cuma riak kecil bagi penguasa lalim
Dirty Vote hanya berupa riak kecil bagi gelombang besar kecurangan mereka. Tidak akan mengganggu strategi mereka untuk mengakali Pemilu 2024 ini. Film itu masih susah menembus orang biasa yang menjadi target empuk penguasa. Merekalah orang-orang yang gampang dikadalin dengan bansos.
Mereka adalah “orang biasa” yang tidak terakses kemajuan pengetahuan internet.
Tidak paham bahasa di Dirty Vote yang susah dicerna.
Jelas tidak mudeng membaca data-data dalam infografis warna-warni di video itu.
Pahitnya, mereka tidak bisa membaca artikel ini.
Sehingga kecurangan ini tidak akan disadari rakyat biasa, yang jadi mayoritas negara ini.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Gejala Kecurangan Pilpres 2024 dan Isu Pemakzulan Jokowi Menurut Romahurmuziy dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.