Dilema Anak Rantau Antisakit Menghadapi Orang Tua yang Super Khawatir

Dilema Anak Rantau Antisakit Menghadapi Orang Tua yang Super Khawatir - Sakit Tengeng

MOJOK.COAnak rantau menjadi serba salah ketika jatuh sakit, sementara punya orang tua yang super khawatir. Jadilah, sebuah dilema yang bakal muncul di kehidupan perantauan.

“Sehat, Bang?”

“Sehat, Mak. Ini lagi mau meeting.”

Demikian secuil percakapan saya dengan Mamak di kampung. Pertanyaan standar seorang Ibu pada anak kandungnya yang hidup ratusan atau bahkan ribuan kilometer jauhnya dari rumah.

Jawaban “sehat” adalah template anak rantau untuk pertanyaan tentang kesehatan. Termasuk saya, meskipun pada kenyataannya sedang terbaring lemah di salah satu ruangan Rumah Sakit Caritas, Palembang, bersebelahan dengan seorang tauke karet yang lagi ribut karena istri sah datang membesuk saat selingkuhannya juga sedang menjenguk. MAMAM…

Ya, ini nyata. Nyata bahwa saya mengaku sehat padahal sedang opname. Nyata juga bahwa saya pernah dalam sebuah momen janggal pertikaian dua wanita demi seorang pria yang sedikit tampan saja tidak. Sebagai jomblo ketika itu, saya sungguh merasa hidup ini tidak adil.

Konsep merantau sudah ada sejak dulu. Kisah fiktif alias perumpamaan paling kondang dalam ajaran Katolik, misalnya, membahas tentang seorang anak bungsu yang meminta seluruh jatah warisannya untuk kemudian pergi merantau dan berfoya-foya. Si anak bungsu pulang saat sudah tidak punya apa-apa.

Tanah Minang punya Malin Kundang. Kalau yang satu ini, di perantauan beroleh kesuksesan sehingga ketika pulang malah lupa sama ibunya sendiri. Si orang kaya baru ini dikutuk jadi batu karena melupakan ibunya. Sudahlah jadi batu, sekarang jadi objek wisata pula. Mempertimbangkan posisi itu, Malin bahkan tidak memperoleh persenan sama sekali. Kasian benar nasibnya. Itulah akibatnya kalau durhaka sama ibu.

Kita juga mengenal Jokowi yang merantau dari Solo ke Aceh selama tiga tahun, mulai dari Lhokseumawe hingga Bener Meriah. Ada juga Sandiaga Uno, yang merantau ke Amerika Serikat untuk sekolah, bahkan tanpa dibekali tiket pulang. Mungkin karena kalender akademik belum keluar, jadi tiket pulang belum bisa dibeli. Gitu.

Saya sendiri jadi anak rantau, meninggalkan rumah di punggung Bukit Barisan menuju Jogja Berhati Mantan Nyaman yang sekarang maunya disebut “istimewa” sejak usia 14 tahun. Usia labil untuk jauh dari pengawasan orang tua. Saya sendiri telah memutuskan bahwa kelak tidak akan membiarkan anak saya merantau pada usia labil begitu.

Dalam setiap perantauan, fase pertama adalah sedih. Sedih karena sepi, karena berjauh-jauhan dengan orang tua. Tahapan kedua justru sebaliknya: gembira. Sesudah merenungi jarak itu, anak rantau kemudian memperoleh sesuatu yang sulit didapatnya ketika ada orang tua.

Ya, kebebasan. Yang sering jadi kebablasan.

Kalau dahulu di rumah tidak boleh merokok, maka di perantauan merokok bisa sesukanya. Jika di rumah ada jam malam, di kos-kosan mau tidak pulang juga tidak masalah. Satu hal yang pasti, senakal apapun anak rantau pasti punya satu prinsip: orang tua yang super khawatir di rumah hanya boleh tahu bahwa si anak rantau selalu dalam keadaan baik-baik saja. Sehat walafiat.

Anak rantau level apa pun pasti tahu bahwa kabar buruk dari tanah rantau akan menjadi beban pikiran orang tua yang super khawatir. Orang tua yang banting tulang demi kiriman bulanan. Atau kalau sudah bekerja, anak rantau juga tidak mau orang tua jadi panik dan malah jatuh sakit hanya karena kabar kurang enak dari tempat yang jauh.

Apalagi, bagi anak rantau yang paham bahwa orang tuanya bukanlah tipe cuek, tapi yang setiap ada masalah pasti langsung sakit. Bisa dipastikan, kabar yang sampai ke kampung hanya yang baik-baik saja, sejauh segala hal memang masih bisa ditangani.

Ada seorang teman, atlet sepak bola antarkampung. Ketika ikut tarkam, lututnya cedera parah. Membiru dan benar-benar tidak bisa berjalan. Ketika pergi ke klinik, dia malah disarankan untuk amputasi.

Begitu ada telepon dari rumahnya di Kalimantan, dia memang mengaku kalau sedang cedera. Namun, hanya cedera biasa yang bakal sembuh dengan mengoleskan obat gosok. Pada akhirnya, seorang tukang pijat spesialis olahragawan tarkam berhasil membereskan kakinya. Setelah berhari-hari harus hilir mudik dibantu teman-teman kos maupun rekan-rekan sesama tarkam-wan.

Sebagai anak rantau, saya juga pernah mengalami ketika saya dan dua adik sama-sama merantau di Jabodetabek. Adik saya yang cewek mengabari kalau dirinya demam sudah beberapa hari. Sebagai abang yang baik, saya lantas mengantarkannya ke rumah sakit terdekat. Eh, ndilalah, dia positif Demam Berdarah Dengue (DBD) dan harus opname.

Pada saat yang sama, orang tua sedang dalam perjalanan ke kampung karena ada sepupu kami yang menikah. Saya dan adik saya yang cowok lantas berunding dan memutuskan bahwa tidak perlu mengabari orang tua di kampung.

Jadilah, saya dan adik saya yang cowok ini bergantian menginap di rumah sakit hingga lima hari. Setiap melapor ke rumah, kami hanya menyebutkan bahwa adik sudah keluar dari rumah sakit dan kini ada di kos-kosan untuk istirahat barang dua sampai tiga hari. Sementara itu, saya melaporkan diri sedang kerja di kantor.

Yaa, mau dibilang dosa karena membohongi orang tua, ya benar juga. Namun, kebohongan itu sendiri sudah berdasarkan analisis risiko yang memadai. Bukan apa-apa, sering, dampak yang ditimbulkan dari laporan kurang baik dari anak rantau itu bisa bikin pening orang tua.

Dalam konteks anak dikirim atau bekerja di kota yang orang tua sama sekali tidak familiar, ketika memutuskan untuk menengok, pasti muncul kerepotan tersendiri yang susah ditangani si anak rantau yang lagi sakit atau sedang ada masalah. Mulai dari siapa yang menjemput ke bandara atau stasiun, nanti orang tua tidur di mana, orang tua akan makan di mana, pakaian dalam pacar masih tersimpan di lemari, dan hal-hal lainnya.

Ketika terjebak dalam keadaan tersebut, anak rantau tetap memikirkan orang tuanya yang tidak akan dalam kondisi baik ketika harus datang ke kota asing maupun menginap di kos-kosan yang pengap. Ada perbedaan perspektif dalam hal ini; orang tua dengan konsep bahwa anaknya tetaplah yang utama, sedangkan anak rantau dengan prinsip enggan merepotkan. Dua pola pikir inilah yang menjadi pertentangan online sehingga berujung mengabarkan yang baik-baik saja.

Bagaimanapun, seberbeda apapun pola pikir orang tua dan anak rantau, sesungguhnya semuanya hanya berdasarkan pada satu hal: cinta. Cinta yang dapat kamu bagikan dengan menuliskan cerita perantauanmu di kolom komentar~

Exit mobile version