Malah jadi boros
Akhirnya, dengan langkah pasrah, saya muter-muter lagi di minimarket itu. Saya mencari barang apa aja biar genap Rp50 ribu. Padahal, sebenarnya saya nggak butuh apa-apa lagi. Tapi demi QRIS tercinta, saya rela.
Setelah keliling beberapa rak, mata saya tertuju ke tumpukan pakaian dalam pria. Ya sudah, sekalian saja beli celana dalam untuk suami. Yang lama juga udah pada bolong.
Ambil satu pak, langsung ke kasir. Begitu ditotal, malah jadi Rp70 ribu. Selamat, saya berhasil transaksi QRIS. Tapi dengan perasaan yang sedikit “huh”.
Di jalan pulang saya cuma bisa nyengir. Dari niat awal cuma beli krayon seharga Rp21 ribu. Eh, saya malah pulang bawa krayon plus celana dalam untuk suami. Totalnya Rp70 ribu.
Ironis juga, QRIS yang katanya bikin hidup lebih praktis, kadang justru bikin belanja jadi lebih tragis. Dari niat sederhana, malah jadi pengeluaran tak terduga.
Apakah minimal order memang harus semahal itu?
Sesampainya di rumah, saya membaca beberapa artikel terkait minimal order supaya bisa membayar pakai QRIS. Ternyata, Bank Indonesia (BI) sendiri bahkan tidak menetapkan ada minimal order.
Kebijakan ini adalah kebijakan internal masing-masing merchant karena adanya biaya transaksi yang ditanggung. Namanya Merchant Discount Rate atau MDR.
Namun, BI sendiri sebetulnya melarang merchant membebankan biaya tersebut kepada konsumen. Sudah begitu, nominal minimal transaksi QRIS secara teknis adalah Rp1. Nah, kan.
Saya sendiri, pada dasarnya, nggak mau terlalu memikirkan soal minimal order. Apalagi itu kebijakan internal. Namun, saya rasa akan jauh lebih memudahkan konsumen kalau minimal order-nya nggak sampai Rp50 ribu juga.
Mungkin kita bisa membuat rata-rata minimal order di antara Rp10 ribu sampai Rp20 ribu, deh. Maksud saya biar sama-sama enak.
Lagian, kenapa harus semahal itu sampai Rp50 ribu hanya untuk bisa membayar pakai QRIS? Apakah karena minimarket tersebut tidak berada di kota sehingga sedikit yang memakai pembayaran non-tunai? Saya rasa itu bukan alasan yang kuat. Zaman sudah sedemikian modern. Saya yakin di desa pun banyak yang lebih suka memakai QRIS.
Jadi ya, pelajarannya jelas. QRIS memang memudahkan, tapi juga bisa menjerumuskan jika muncul kebijakan yang memberatkan.
Di sisi lain, nggak ada salahnya tetap sedia uang tunai di dompet. Karena kadang, yang bikin nyesek bukan nggak bisa bayar, tapi harus beli celana dalam dulu baru bisa scan kode.
Penulis: Fathna Saadati Choliliyah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pembayaran Tunai di Kasir Indomaret Lebih Ringkas daripada QRIS, Nggak Usah Sok-sokan Cashless dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.












