Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mahasiswa S3 Tertawa di Koridor Kampus Bukan karena Bahagia, tapi Menertawakan Nasibnya Sebagai Pabrik Akademik dan Nasib Jurnal Ditolak 5 Kali

Muhammad Ifan Fadillah oleh Muhammad Ifan Fadillah
14 November 2025
A A
Derita Mahasiswa S3 Sebelum Gila, Tertawakan Diri Sendiri Dulu

Ilustrasi Derita Mahasiswa S3 Sebelum Gila, Tertawakan Diri Sendiri Dulu. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Supervisor S3, reviewer, dan Tuhan

Di hidup mahasiswa S3, ada tiga entitas yang nyaris selalu benar. Mereka adalah supervisor, reviewer, dan Tuhan. Bedanya, Tuhan memberi rahmat tanpa track changes.

Supervisor adalah nabi kecil yang menafsirkan kitab metodologi kita. Kalimat pembuka favoritnya berbunyi, “Menarik, tapi…” Setelah itu diikuti hutan revisi. 

Dia bisa menanyakan kenapa pakai teori A, bukan B; kenapa sampling 200, bukan 400; dan kenapa literature review terasa seperti thread curhat, bukan peta wacana. Kita sering keluar dari ruang bimbingan S3 dengan file yang sama, tapi judul foldernya berubah dari “final.docx” jadi “insyaallah ini sudah final fix fix fix.docx”.

Reviewer adalah malaikat pencatat dosa konseptual mahasiswa S3. Dia muncul dalam bentuk PDF penuh komentar bernomor dan highlight kuning. Kata clarity of argument dan theoretical contribution muncul lebih sering daripada kata “terima kasih.” 

Kadang dia meminta sesuatu yang secara konseptual mustahil tanpa revolusi paradigma. “Coba kembangkan kerangka teori baru yang menjembatani semua perspektif yang tampak kontradiktif.” 

Kita membalas, “Terima kasih atas sarannya yang sangat berharga,” sambil menatap layar kosong dan secangkir kopi yang sudah dingin.

Tuhan? Di fase S3, Tuhan adalah tempat menyimpan file yang tak terselamatkan. Kita berdoa bukan hanya untuk kelulusan, tapi juga supaya hard disk tidak meledak, plagiarism checker bertobat dari angka 39%, dan SPSS tidak crash di menit 59 detik sebelum autosave.

Alienasi akademik kuliah S3: Ketika ilmu kehilangan makna sosial

Marx menyebut alienasi: keterasingan manusia dari kerja, produk, sesama, dan dirinya sendiri. Di S3, alienasi hadir dalam versi akademik. 

Kita menulis bukan karena ingin, tapi karena KPI. Membaca, bukan karena haus pengetahuan, tapi demi mengisi subbab 2.3.3. Meneliti masalah sosial, tetapi tersandera template dan style guide. Lama-lama, yang kita rawat bukan realitas sosial, melainkan estetika metodologis.

Lebih getir lagi, alienasi itu terasa bahkan saat riset kita “sukses”. Artikel terbit, angka sitasi naik. Tapi, apakah ada yang berubah di lapangan? Kebijakan menoleh? Orang yang kita wawancarai hidupnya membaik? Sering tidak. Ilmu berhenti di paywall; pengetahuan jadi arsitektur indah yang jarang ditinggali.

Metodologi berubah menjadi semacam agama. Validitas jadi ayat suci, robustness check jadi doa harian; dan theoretical framework menjadi kitab tafsir selama S2. Kita menaruh keyakinan pada model dan software terbaru, seolah algoritma mampu menebus data yang tak sempurna. Lalu Reviewer 2 menulis, “Coba gunakan pendekatan teoritik lain.” Iman pun goyah. Maksudnya apa?

Kelas menengah akademik: Antara gengsi dan genset

Mahasiswa S3 disebut “calon doktor” tapi listrik kamar sering padam. Kita diminta produktif, tapi beasiswa cairnya seperti hujan bulan kemarau. Kita disuruh menulis cepat, tapi akses data butuh surat yang stempelnya entah siapa yang pegang.

Kelas menengah akademik itu, apalagi yang mengambil S3, adalah spesies yang lucu. Sore mengajar demi tambahan, malam coding regresi, subuh bales email supervisor di zona waktu berbeda. Pagi briefing asisten riset, siang ngurus komite etik, sore diskusi teori, malam revisi tabel. 

Di sela-selanya, ada ritus agar tetap waras. Misal, jogging sambil rehearse defense, nonton video statistik YouTube yang menyelamatkan banyak jiwa, atau menangis elegan di toilet perpustakaan (akustiknya bagus).

Iklan

Kita bukan “menikmati” sistem ini. Kita bertahan. Karena di luar sana, pasar kerja menilai kita dengan logika yang mirip: angka, sertifikat, indeks. Menolak sistem bukan heroik, seringnya bunuh diri karier. Di dunia ini, bahkan ruang sunyi pun berbayar: co-working, kafe, atau kamar kos yang makin mahal.

Mengapa kita masih di sini?

Pertanyaan yang jujur: kalau begitu getir, kenapa tetap jalan S3? Jawaban sederhana: karena pengetahuan masih berarti. Di balik KPI dan metrik, masih ada momen-momen kecil yang tulus. Obrolan dengan informan yang membuka mata, data yang tiba-tiba “bicara”, mahasiswa bimbingan yang bilang, “Terima kasih, Pak, artikelnya membantu saya paham.”

Selain itu, kita tetap di sini karena struktur, bukan semata pilihan personal. Sistem sosial mengarahkan yang punya modal pendidikan untuk bertahan di jalur akademik meskipun pendapatan tak seindah mitos. 

Kita bukan orang-orang munafik yang mengkritik kapitalisme sambil memanfaatkannya. Kita dipaksa menjalankan kritik di dalam sistem, karena di luar sistem pintunya lebih rapat. Bahkan perlawanan pun membutuhkan Wi-Fi.

Perlawanan kecil yang masuk akal

Tidak semua perlawanan harus berupa manifestasi besar. Di akademia, perlawanan yang mungkin adalah yang kecil, konsisten, dan merawat sesama:

  1. Membuka akses dengan unggah preprint, berbagi dataset yang aman, bikin ringkasan riset berbahasa publik.
  2. Mengajar dengan empati dengan membantu mahasiswa membaca secara kritis, bukan sekadar mengejar nilai.
  3. Kolaborasi egaliter dengan kredit layak untuk asisten riset; nama penulis urut sesuai kontribusi, bukan hierarki.
  4. Merawat komunitas dengan bangun ruang diskusi rendah biaya; peer support untuk kesehatan mental; berbagi template dan script tanpa pelit.

Perlawanan seperti ini tidak tercatat di H-index, tapi tercatat di ingatan orang-orang yang kelak akan membuat akademia sedikit lebih manusiawi.

Disertasi S3: Bukan mahakarya, tapi jejak perjalanan

Kita sering dipaksa melihat disertasi S3 sebagai mahakarya yang harus sempurna. Padahal disertasi itu jejak perjalanan. Sebuah bukti bahwa kita pernah bersusah payah memahami sesuatu secara serius. Ia bukan Al-Qur’an metodologi tapi laporan kemajuan yang satu hari nanti akan dikoreksi lagi oleh diri kita yang lebih matang.

Pada hari sidang, mungkin tidak ada pelangi. Yang ada slide agak pecah, pewarta yang kelelahan, dan penguji yang meminta: “Tambahan dua halaman diskusi implikasi”. 

Tapi, ada yang lebih besar daripada itu semua, yaitu kita selamat. Kita tidak sekadar melewati ujian. Kita bertahan di dalam sistem sambil menjaga agar keberpihakan pada yang tertindas tidak pernah padam.

Derita ini milik bersama

Tulisan ini bukan keluhan personal. Ia adalah diagnosis struktural. Mahasiswa S3 bukan cendekia yang hidup di menara gading. Kami buruh pengetahuan yang berusaha hidup bermartabat di pabrik akademik. 

Mahasiswa S3 tidak memilih logika metrik, tapi dikurung di dalamnya. Kami tidak menikmati tekanan publikasi tapi bertahan supaya pintu kerja tidak menutup.

Kalau suatu hari Anda melihat mahasiswa S3 tertawa di koridor, jangan buru-buru menyimpulkan dia bahagia. Bisa jadi dia baru saja ditolak jurnal untuk kelima kalinya, lalu memilih menertawakan dunia sebelum dunia menertawakannya lebih dulu. 

Dan bila satu saat Anda membaca disertasi yang masih kikuk tapi jujur, ketahuilah, di baliknya ada manusia yang dengan sisa tenaga mencoba memastikan pengetahuan tetap punya hati dan jiwa bukan sekadar angka.

Mungkin revolusi tidak akan dimulai di jalanan. Mungkin ia akan dimulai di ruang bimbingan, saat seorang mahasiswa S3 menyadari bahwa disertasinya memang ditulis di bawah bayang kapital, tetapi hatinya tetap berpihak pada mereka yang tak punya akses ke pengetahuan. Dan karena itu, ilmu yang dia tulis tidak akan berhenti di paywall.

Penulis: Muhammad Ifan Fadillah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kuliah S3 Memang Bergengsi, tapi Menyimpan Sisi Kelam yang Jarang Diketahui Orang dan catatan menyedihkan di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 14 November 2025 oleh

Tags: disertasijurnal s3mahasiswa s3S3scopusujian s3
Muhammad Ifan Fadillah

Muhammad Ifan Fadillah

Seorang mahasiswa yang lagi lanjut studi di bandung, kebetulan suka bacaan “kiri” yang manis hehe.

Artikel Terkait

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO
Esai

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Keculasan Dosen dalam Publikasi Jurnal Internasional bikin Integritas dan Kualitas Riset Kampus di Indonesia Dipertanyakan. MOJOK.CO
Mendalam

Keculasan Dosen dalam Publikasi Jurnal Internasional bikin Integritas dan Kualitas Riset Kampus di Indonesia Dipertanyakan

10 Juli 2025
dosen, lulusan s3, jogja.MOJOK.CO
Kampus

Mahal-mahal Bayar Kuliah sampai S3 tapi Menolak Jadi Dosen karena Tahu Sisi Gelap Dunia Pendidikan di Jogja

5 Mei 2025
mahasiswa UMY S3 kuliah sambil resepsi nikah.MOJOK.CO
Kampus

Perjuangan Mahasiswa S3 UMY Tetap Kuliah Online Saat Resepsi Nikah, Awalnya Datang ke Jogja Modal “Dengkul”

20 Januari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Wali Kota Semarang uji coba teknologi bola GPS untuk mitigasi banjir Semarang MOJOK.CO

Bola GPS Jadi Teknologi Mitigasi Sumbatan Air Penyebab Banjir di Simpang Lima Semarang

13 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Harga Paha Atas Olive Chicken Naik, Warga Jogja Resah (Unsplash)

Keresahan Warga Jogja di Balik Kabar Kenaikan Harga Menu Paha Atas Olive Chicken

12 Desember 2025
borobudur.MOJOK.CO

Borobudur Moon Hadirkan Indonesia Keroncong Festival 2025, Rayakan Serenade Nusantara di Candi Borobudur

15 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025

Video Terbaru

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.