MOJOK.CO – Kasus Steven Yadohamang itu hanya secuil kejadian yang diterima orang-orang Papua. Masih banyak Steven-Steven lain di sini.
Ketika saya sedang menonton video penganiayaan Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto terhadap Steven Yadohamang di Merauke pada hari saat saya menulis ini, saya langsung kaget tiba-tiba.
Seorang anak kecil, berusia tiga tahun, Aventus Itlay berkata ke saya, “Adu sayang… pade (bapa ade) dapat pukul dari orang jahat.” Kemudian dia sedih dan saya pun meneteskan air mata di teras sebuah indekos, Kota Jayapura, Papua.
Semua orang yang lahir, besar, dan pernah tinggal di Merauke tahu, Steven Yadohamang adalah seorang bisu. Hampir setiap hari dia cari makan dan minum, bertahan hidup dengan cara menjadi juru parkir di depan toko dan kios-kios yang pada umumnya milik para migran di Kota Merauke.
Itu menjadi jalan kehidupan dan keselamatan bagi Steven untuk mempertahankan hidupnya di atas tanah airnya. Tapi dirinya tetap miskin dan melarat. Sering, pada hari Minggu, ia menjaga parkiran kendaraan secara sukarela di halaman Gereja Katolik Katedral Keuskupan Agung Merauke.
Dia memang sering mengonsumsi minuman keras, bahkan adu mulut dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi tidak pernah ia menimbulkan keresahan besar-besaran yang berujung pada kerusuhan hingga menewaskan orang. Termasuk kerusakan dan kerugian material bagi pedagang warung yang sering dia kunjungi untuk makan.
Kasus Steven ini membuat saya ingat pada dua hal. Pertama, ingat kehidupan sehari-hari saya di masa kecil. Kedua, sifat, karakteristik, dan kebiasaan orang Papua yang perlu kita pelajari baik-baik.
Terutama bagi kita yang butuh tahu siapa orang Papua sebenarnya. Dengan demikian, kita, khususnya orang-orang yang baru datang di Papua atau bertemu orang Papua di luar Papua, tidak lagi jatuh dalam lubang-lubang diskriminasi rasial yang meningkat pesat pada belakangan ini.
***
Saya anak kampung. Lahir besar di kampung halaman, Yogonima, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, yang didominasi oleh sub-suku Itlayhisage, bagian dari suku Hugula. Di sana saya tumbuh dan berkembang secara bebas.
Sejak kecil, di honai-honai adat yang beratap ilalang kering, orang tua saya tidak pernah ajarkan untuk membenci orang melalui sikap atau perbuatan rasis terhadap teman-teman dan orang lain di sekitarnya.
Saya lahir dari rahim perempuan yang tidak tahu baca tulis. Besar di tangan kedua orang tua yang sama-sama tidak pernah sekolah, tapi dari kecil membekali saya dengan pengetahuan dasar adat untuk mencintai sesama tanpa batas. Mereka, sudah menasihati saya dari kecil untuk mengasihi orang dengan hati dan jiwa-raga saya.
Kami anak-anak kecil di kampung pasti mendapatkan pendidikan informal semacam itu. Sejak SD kelas satu hingga kelas enam sering dapat pukul dari orang tua, guru, kaka-kaka, dan teman lain. Tetapi tidak pernah mereka merendahkan harkat, martabat, dan harga diri kami. Sungguh pun mereka harus pukul, pasti mereka pukul dengan cinta. Dan bagi kami itu wajar-wajar saja.
Di kampung, kami tidak pernah membeda-bedakan orang. Apalagi melukai hati orang dengan tindak kekerasan yang berbau rasis. Kalaupun leluhur dan nenek moyang kami dulu dikenal berangkat dari kebiasaan perang suku, mereka tidak pernah saling menjatuhkan harga diri dan martabat sesama, meskipun mereka saling bermusuhan dengan satu suku, wilayah, atau klan lain.
Sejak kecil, orang-orang tua kami mengajarkan untuk menerima tamu dengan hati nurani; melayani dengan hasil bumi, kerja keras dan keringat kita sendiri. Jika tamu itu hendak pulang, biasanya dipulangkan dengan segala bentuk kehormatan. Orang tua pasti akan siapkan petatas, sayur, ternak, sagu, dan lain sebagainya.
Itu tidak hanya sebagai bentuk mengasihi sesama. Lebih daripada itu, melalui hal demikian dapat mempererat tali persaudaraan satu sama lain.
Selama 12 tahun di kampung, saya tidak pernah merasakan yang namanya sikap, ujaran, dan perlakuan setengah binatang dari teman, bapa, mama, om, tante, dan lainnya. Kami selalu hidup rukun dan damai dalam kekeluargaan, persahabatan, dan belas kasihan yang luar biasa.
Rasisme baru kemudian menghampiri saya ketika saya SMP.
***
Saya menempuh SMP dan SMA di Wamena kota. Di sana saya pertama kali mengalami perlakuan rasis, yakni pada saat daftar di SMP Negeri 1 Wamena pada 2006 lalu. Saat itu, kami anak-anak yang tamat dari pedalaman kuotanya dikurangi. Bahkan saya dianggap tidak lulus meski sudah bayar uang pendaftaran.
Namun, persoalan tidak selesai hanya sebatas saya tidak diterima sekolah. Bapa saya yang tidak tahu baca tulis minta tolong agar orang-orang Wamena yang tahu bahasa Indonesia agar bicara dengan panitia, minta uang pendaftaran juga dikembalikan. Lalu mereka bilang tidak bisa karena aturannya, kalau sudah dibayar tidak boleh meminta uang kembali.
Dia minta tolong ke berapa orang yang pakaiannya bagus dan indah. Tapi hasilnya sama saja. Sehingga dia bicara pakai bahasa daerah, bahasa Hugula, dan ngotot agar panitia penerimaan siswa baru di SMP itu segera kembalikan biaya pendaftaran.
Uang 70 ribu yang Bapa bayar itu bukan uang sedikit bagi keluarga kami. Itu buah dari hasil kerja kebun yang memakan waktu yang lama—tiga atau enam bulan.
“Kalau kamu tidak terima saya punya anak, mari kasih saya punya uang yang saya cari di kebun hingga di jalan dan pasar di kota ini dengan tahan dingin, hujan, dan panas,” demikian kata saya punya bapa almarhum, Harto Itlay, yang saya masih ingat betul percakapannya hingga saat ini.
Akhirnya saya daftar ulang di SMP YPK Betlehem Wamena. Kemudian lanjut SMA pun di situ. Setelah tamat pada 2012, saya mulai menetap di Jayapura. Saya selesaikan sekolah di kampus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ).
***
Ada pengalaman unik sejak Papua dianeksasi/disintegrasi pada 1963. Orang-orang di pedalaman Papua dari dulu menerima mereka dengan hati dan jiwa raga. Melayani dengan hati nurani. Tanpa memikirkan untung dan rugi. Sampai harus berkorban demi melayani, mendampingi mereka dalam keadaan susah maupun senang.
Bakal sangat menghargai, menghormati, dan menjunjung mereka seperti Tuhan. Terutama tenaga kesehatan dan guru-guru dulu. Kadang kalau ada masalah, orang Papua mempertaruhkan nyawanya untuk orang pendatang. Orang Papua tidak pernah tega meninggalkan orang yang berjasa besar dan berkorban bagi mereka di depan mata.
Ada juga kalau seseorang tampak capek, orang Papua dukung dan membuat sebuah perangkat dari kayu dan tali, kemudian bantu pikul. Jarak yang ditempuh tak hanya satu kilometer. Kadang bisa memakan lebih dari 100 kilometer.
Kisah-kisah seperti ini sangat banyak. Sekarang kita bisa mulai baca di internet. Tapi hingga saat ini, kebiasaan itu masih dirawat di kampung-kampung, termasuk di pinggiran kota-kota besar di Papua.
Tas dan barang bawaan lainnya selalu dipikul masyarakat. Mereka akan bawa dan antar seorang tamu dengan ramai-ramai. Dalam nyanyian dan sorak-sorai.
Pater John Jongga, imam diosesan dari Keuskupan Jayapura asal Flores, NTT tahu itu. Dia pernah ke kampung saya. Kami menyambutnya dengan hati lapang dan suka ria.
Di kampung-kampung ada istilah khas: “Sa makan, maka ko makan.” Saya makan, kamu juga makan.
Ini berbicara tentang nilai filosofis tentang bela rasa yang luar biasa. Artinya sangat luas. Misalnya, untuk meletakan status sosial: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi; sama rasa, sama rata; menjadikan suka duka sesama sebagai suka duka bersama.
Kami tidak pernah diajarkan untuk makan sembunyi-sembunyi. Selalu masak sama-sama. Kecil besar makanannya, bagi sama rata. Makan minum selalu sama-sama. Tidak pernah diajarkan untuk membiarkan teman yang sakit, menderita, dan kelaparan tersiksa di samping kita.
Kalau ada berkat selalu bagi sedikit-sedikit. Tanpa harus memandang kelas sosial.
***
Orang Papua itu tampak mukanya seram, tapi hatinya baik. Tulus dan ikhlas. Kasihnya besar. Bukti apa? Sejak migran mulai masuk di Papua, kami terima dengan baik-baik. Dengan hati yang terbuka.
Selama bertahun-tahun kami hidup sama-sama sebagai sesama manusia dan sesama warga negara Indonesia. Kita sudah kasih tanah, untuk mereka cari makan minum dan kubur keluarga yang meninggal dunia di sini tanpa pandang bulu diskriminasi rasial.
Tapi bayangkan kalau kami yang sekolah di Jawa. Kami selalu diejek. Disamaratakan dengan binatang buas, monyet, ketek, kera, gorila. Harga diri kami selalu diinjak-injak. Memandang kami dengan sebelah mata.
Dianggap setengah binatang, bangsa kelas dua, bahkan bangsa kelas Z. Sebuah kelas yang tidak diperhitungkan sama sekali di Indonesia. Sampai-sampai harus menyebut kami kaum primitif, kanibal, bodoh, dan lain seterusnya.
Kami mau kubur orang-orang kami yang meninggal di luar Papua tidak bisa. Tidak kasih tempat. Terpaksa kami harus cari uang dan minta uang ke orang tua untuk bayar uang tiket, biaya perawatan, dan lain sebagainya. Hingga kirim ke Papua lagi untuk menguburkan mayat di tanah kami sendiri. Perlakuan seperti ini kami alami dari waktu ke waktu dan generasi ke generasi.
Tidak hanya itu. Kami mau masuk kos dan kontrakan di Jawa, pemilik bilang tidak terima orang Timur. Belum lagi kejadian dalam taksi, gereja, pasar, dan tempat lain yang orang Jawa dan lainnya tutup hidung, buang muka, buang ludah, dan lainnya di samping orang Papua.
Saya bahkan pernah mengalami ini ketika masih di kota Jayapura. Dan saya punya orang-orang, teman-teman, adik-adik sekarang di luar Papua yang juga menceritakan hal sama.
***
Tolong, pahami juga kebiasaan orang Papua kalau sudah sampai sini. Orang yang baru datang dari luar Papua harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan orang Papua di kampung hingga di kota-kota. Jangan dibalik-balik.
Bukan orang asing yang menuntut orang pribumi harus menyesuaikan diri dengan dinamika hidup dan gaya dari luar. Apa pun urusannya, yang berhubungan dengan orang Papua harus mengutamakan cara orang Papua membangun komunikasi, relasi, dan menyelesaikan sebuah persoalan.
Itu pesan untuk aparat keamanan maupun militer juga. Kelompok ini paling sering jadi pelaku tindak kekerasan dan kejahatan terhadap kami, cuma mereka tak bakal mau mengakuinya.
Kalau hendak menjaga nama baik Indonesia di hati orang Papua, perlakukan orang Papua selayaknya manusia. Bukan seperti binatang murahan. Jangan salahkan kami kalau makin banyak orang Papua sudah tidak percaya lagi sama Indonesia.
Apalagi kasus seperti Steven Yadohaman itu hanya sebiji dari ribuan kasus yang terjadi di lingkungan kami. Steven itu cukup beruntung karena kebetulan direkam kamera dan disebarluaskan saja. Apalagi peradilan hukum Indonesia di timur sini, itu su jadi barang langka.
Setidaknya, kalau pemerintah Indonesia masih hendak merebut sedikit kepercayaan dari orang Papua, simpel saja, coba copot kedua pelaku tindak kekerasan dan penghinaan kepada Steven Yadoman dari kesatuannya.
Seperti hakim di Amerika Serikat yang berani menjatuhkan hukuman bagi seorang polisi yang menewaskan George Floyd, 22 tahun lamanya. Bahkan, di Amerika sana, meski si polisi sudah divonis penjara pun, gelombang protes untuk George saat itu tetap membahana ke mana-mana.
Coba bayangin yang terjadi dengan kami, orang-orang Papua, yang bahkan tak pernah menerima keadilan bertahun-tahun lamanya. Dan begitu kalau protes dikit, selalu dianggap separatis hina yang, seolah-olah, selama ini telah merugikan negara.
Tanpa mau peduli siapa yang sebenarnya telah merugikan Papua selama puluhan tahun lamanya.
BACA JUGA Bahaya Sabunisasi di Papua dan esai tentang Tanah Papua lainnya.