MOJOK.CO – Selain gaya sex untuk menghasilkan keturunan unggul, Serat Susila Sanggama juga punya tuntunan memuaskan pasangan berdasarkan warna kulit.
Orang Jawa memang ahlinya ilmu titen. Manusia-manusia anggota peradaban yang telah berlangsung ribuan tahun ini memiliki kepekaan yang tinggi. Khususnya terhadap berbagai simbol, gejala, perubahan-perubahan di alam semesta, dan pengamatan yang jeli terhadap gerak-gerik atau ciri fisik manusia.
Observasi berulang-ulang yang dilakukan dan diwariskan lintas generasi itu menghasilkan pengetahuan. Sebuah pengetahuan yang barangkali dinilai tidak saintifik menurut kacamata ilmu modern hari ini.
Namun, pada kenyataannya, hasil dari temuan pengamatan tersebut telah digunakan oleh peradaban ini dalam jangka waktu yang sangat lama. Terutama untuk melangsungkan kehidupannya. Misalnya, dalam konteks kebutuhan pokok manusia, yakni persenggamaan. Kebudayaan ini telah menghasilkan beberapa pengetahuan yang menjadi tuntunan untuk melakukan laku seksual sebagai salah satu ritual dalam kepercayaan Jawa.
Ikhtiar untuk menyajikan pengetahuan kuno
Dalam artikel sebelumnya, yang berkaitan dengan tata krama bersenggama ala Jawa yang termuat dalam Serat Susila Sanggama, telah diuraikan mengenai kapan waktu yang ideal untuk bercinta, serta gaya-gaya bercinta sebagai praktik peribadatan Jawa.Â
Kali ini, penelitian tim Jawacana dalam proyek BACAJAWA yang mempunyai misi untuk menyajikan pengetahuan-pengetahuan leluhur yang tersembunyi dalam manuskrip-manuskrip kuno sastra Jawa, menelisik tentang cara memuaskan pasangan dalam bersenggama, sesuai ciri fisik perempuan, khususnya warna kulit.
Perlu kehati-hatian dari tim peneliti dalam mengungkapkan tema seperti ini. Karena tema mengenai ciri-ciri tubuh perempuan, khususnya warna kulit, sangat rentan untuk dikaitkan sebagai upaya diskriminasi terhadap perempuan. Sebab, memang menyerempet isu-isu yang cenderung sensitif dalam topik feminisme.Â
Akan tetapi, perlu juga kami garisbawahi sebelumnya, sekaligus mengharapkan kebesaran hati para pembaca sekalian, bahwa apa yang dilakukan oleh tim Jawacana ini murni merupakan ikhtiar untuk menyajikan pengetahuan kuno Jawa dalam kerja pembacaan manuskrip dan penerjemahan. Batasan metode kerja tim Jawacana hanya sebatas menyajikan terjemahan dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia, tanpa melakukan analisis ataupun tafsir terhadap isi teks.
Mari membaca dengan kejernihan pikiran
Pembicaraan yang menyangkut tema feminisme, khususnya warna kulit, memang perlu kejernihan berpikir. Apalagi, Serat Susila Sanggama sarat dengan kandungan teks yang berisi mengenai femininitas perempuan Jawa.Â
Dalam kajian sastra, sebuah karya sastra bertema relasi laki-laki dan perempuan, yang ditulis oleh laki-laki, memang mempunyai kecenderungan terselipnya ideologi patriarki di dalamnya. Rezim maskulin pengarang laki-laki bersifat laten dan senantiasa mereproduksi penggambaran dan pemahaman akan perempuan dalam wacana sehari-hari, sehingga membentuk kerangka yang sangat kuat akan citra perempuan.Â
Akan tetapi, secara teoritis dengan menggunakan pendekatan gender Raewyn Connel (2005), dikatakan bahwa ketika membicarakan mengenai femininitas (konstruksi sosial perempuan) dalam suatu kultur, tidak akan bisa dilepaskan dari konstruksi sosial laki-laki dalam kultur tersebut. Femininitas Jawa mempunyai relasi yang sangat erat dengan maskulinitas Jawa.Â
Oleh karena itu, konsep relasi gender diperlukan untuk memahami hubungan keduanya, untuk menjalin benang merah keterkaitan antara konsepsi wacana perempuan dan laki-laki Jawa. Hanya, terkadang masyarakat membaca dari satu sisi saja sesuai kepentingannya.Â
Misalnya, mempunyai kepentingan atau motif pembelaan terhadap perempuan, maka bagian femininitasnya akan lebih mendapatkan fokus. Secara sederhananya, kami ingin menekankan bahwa dalam setiap anggapan bahwa sebuah kultur yang menyudutkan perempuan dalam konstruksi sosialnya, sebenarnya di sisi yang lain terdapat pula konstruksi maskulinitas yang menyudutkan laki-laki.
Warna kulit dalam konteks seksualitas
Dalam ranah ini, karena Serat Susila Sanggama dituliskan oleh laki-laki, maka konstruksi sosial perempuan lebih kentara. Terutama dalam kategori pembahasan mengenai ciri fisik perempuan seperti warna kulit dalam konteks seksualitas.
Dalam tradisi bahasa dan sastra Jawa, ciri fisik, apalagi soal warna kulit, sering diistilahkan katuranggan, (yang erat dengan arti turangga, ‘kuda’). Istilah ini masih digunakan untuk menilai ciri fisik hewan. Dalam bahasa yang lebih halus, ciri fisik (terutama untuk manusia) juga disebut candra pasemon.Â
Kami menerjemahkan 8 ciri fisik perempuan, berdasarkan raut muka atau bentuk wajah, dan warna kulit, serta bagaimana memuaskannya saat bersenggama.Â
- Bongoh, artinya memiliki kilau aura bersinar yang dapat mendatangkan kepuasan. Perempuan dengan raut wajah bongoh dapat membangkitkan birahi karena perbuatan baiknya. Wanita dengan warna kulit cěměng manis atau hitam manis. Apabila melakukan sanggama dengan wanita berciri ini, titik rangsangan terdapat pada bibir dan pusar.
- Sengoh. Perempuan yang memiliki sorot wajah yang berseri, pesonanya menggugah perasaan. Perempuan ini bahkan saat sedang susah hati karena jatuh cinta, dapat membangkitkan birahi. Cirinya, punya warna kulit cěměng manis atau hitam manis, dan dalam tokoh pewayangan digambarkan seperti tokoh Sěmbadra, istri Arjuna. Oleh karena itu, dapat disebut juga dengan nyěmbadra. Titik rangsangan terdapat pada bibir dan pusar.
- Dlongeh, berarti gelagat rupa dan lirikan matanya memperlihatkan ketulusan, kesederhanaan, dan menyenangkan. Perempuan ini memiliki warna kulit jěne němu giring atau langsěp atau kuning langsat, dan dalam tokoh pewayangan digambarkan seperti tokoh Srikandhi, istri Arjuna. Oleh karena itu, dapat disebut juga dengan nyrikandhi. Ketahuilah bahwa titik rangsangan terdapat pada pusar sampai leher.
Baca halaman selanjutnya: Pengetahuan memuaskan istri menggunakan patokan warna kulit.