MOJOK – Selama bulan Ramadan, merokok habis buka puasa adalah kenikmatan tiada tara. Seharian tidak makan dan minum, lalu ketika azan magrib berkumandang segala jenis makanan mengisi perut sampai kenyang, semua nafsu terlampiaskan, dan kesemuanya itu akan ditutup dengan peripurna oleh rokok di tangan.
Hal itulah yang dirasakan juga oleh Fansuri (bukan nama sebenarnya), seorang santri di salah satu Pondok Pesantren di Jawa Tengah. Pada hari pertama puasa di pesantren, Fansuri jelas ingin merasakan kenikmatan tersebut. Menutup setiap santapan berbuka dengan kebulan rokok yang memenuhi rongga hidungnya. Wah, rasanya pasti inuk banget. Inuuuuk~
Di beberapa pesantren—terutama yang salafi—santri merokok memang sudah jadi pemandangan biasa. Apalagi jika menyebut pesantren-pesantren di Jawa Timur. Sangat sedikit pesantren yang melarang santrinya merokok. Kalaupun ada pesantren yang melarang, tetap saja biasanya manajemen pesantren punya kebijakan khusus soal rokok, seperti menerbitkan SIM = Surat Ijin Merokok yang ditandatangani oleh orang tua atau wali si santri yang bersangkutan. Dengan SIM tersebut, si santri jelas bebas keplas-keplus di lingkungan pesantren.
Meski begitu, tidak semua pesantren kemudian serta-merta punya peraturan yang sama soal kebebasan merokok para santrinya. Salah satunya adalah pesantren tempat di mana Fansuri mondok. Pesantren Fansuri punya peraturan ketat soal rokok. Meskipun pada praktiknya Fansuri tetap bisa saja keplas-keplus sembunyi-sembunyi, tapi jika ketahuan merokok, takzir (baca: hukuman) jelas akan menanti.
Hal inilah yang kemudian membuat Fansuri berpikir dua kali untuk membeli rokok jelang waktu berbuka pada hari pertamanya puasa. Kalau ketahuan bakalan runyam. Sudah tidak dapat nikmatnya merokok, ditakzir pula. Di sisi lain, Fansuri adalah santri yang berulangkali ketahuan merokok dan berulangkali pula kena takzir. Hal itu bikin setiap gerak-gerik Fansuri kalau keluar pondok akan selalu lebih diawasi. Setiap Fansuri keluar, setiap kali itu Fansuri akan dirazia oleh bagian keamanan pondok di gerbang. Ya maklum, residivis takziran pondok.
Masalahnya, saat itu, Fansuri sudah sakaw ingin merokok ketika berbuka nanti. Karena sudah ngebet sekali, Fansuri coba titip pada salah satu teman—yang mana Fansuri tahu anak ini tidak merokok—dan akan keluar pondok untuk beli lauk buat berbuka puasa. Sebut saja namanya Ali.
“Li, aku titip rokok ya?” tanya Fansuri
“Lah kok titip aku? Aku kan enggak ngerokok,” jawab Ali.
“Justru itu. Soalnya kalau aku beli rokok sendiri pasti aku kena razia bagian keamanan,” jelas Fansuri.
“Ta, tapi…”
“Udah tho, nanti gorenganmu pakai duitku ini wis. Oke? Dil?” paksa Fansuri.
Tentu saja Ali ingin menjawab “enggak”, tapi karena Fansuri memaksanya berulangkali, akhirnya Ali mengiyakan. Fansuri senang.
“Berapa batang?” Ali akhirnya menyerah.
“Satu batang aja. Djarum Super ya?” kata Fansuri.
Setelah Ali keluar pondok, Fansuri menyiapkan segala sajian buka puasa. Kebetulan Ali dan Fansuri tidak satu kamar, sehingga ketika azan magrib berkumandang, keduanya tidak berbarengan buka puasanya. Setelah selesai menikmati sajian berbuka, Fansuri segera mendatangi kamar Ali untuk menagih satu batang rokok yang sudah diidam-idamkannya sejak kumandang imsyak bergema ke seluruh sudut pondok.
“Li, titipanku mana?” tagih Fansuri tidak sabar.
“Ini.”
Fansuri pun menyalakan rokok di kamar Ali. Keplas-keplus begitu nikmat, sampai-sampai mata Fansuri merem-melek seolah-olah merasakan geli-geli gimana gitu. Hal yang begitu sempurna bagi Fansuri ini segera dirusak oleh Azka (lagi-lagi bukan nama sebenarnya) yang hadir di tengah-tengah mereka. Tanpa ba-bi-bu, Azka segera mendatangi Fansuri dan Ali karena heran.
“Lho? Kok kamu bisa dapat rokok, Fan? Dari mana?” tanya Azka.
“Rahasia dong,” jawab Fansuri seenaknya.
“Serius, Fan. Kok kamu bisa dapat rokok? Gerbang pondok tadi ada razia rokok lho. Hari ini satu pondok enggak ada rokok yang lolos. Semua santri yang biasanya ngerokok pada kecut semua ini enggak bisa ngerokok. Kok bisa-bisanya kamu ngerokok sendiri,” jelas Azka penasaran.
“Lha kalian goblok. Sudah tahu bagian keamanan sering razia masih aja beli rokok sendiri,” kata Fansuri.
“Lha emang kamu kok bisa lolos gimana ceritanya?” tanya Azka
“Kayak aku dong, titip sama anak yang enggak ngerokok, jadinya enggak bakal kena razia. Aman terkendali,” kata Fansuri.
“Lha? Ini tadi razianya enggak cuma buat santri yang biasa ketahuan rokok kok. Setiap santri yang keluar diperiksa satu per satu. Yang santri-santri enggak biasa ngerokok juga diperiksa,” kata Azka.
“Masa tho? Busyet. Untung Ali enggak kena ya tadi?” Fansuri kaget.
“Justru itu aku heran. Harusnya Ali juga kena dong. Lha wong diperiksanya ketat banget. Suruh lepasin sarung, buka peci, kalau bawa kitab—kitabnya juga diperiksa. Makanya itu aku heran, kok rokokmu bisa tetep lolos,” kata Azka.
Fansuri tentu saja juga jadi penasaran mendengar informasi dari Azka. Kalau semua santri satu pondok kena razia dan dia jadi satu-satunya yang bisa lolos, apa yang dilakukan Ali sampai-sampai rokok titipannya bisa selamat sampai tujuan?
Fansuri dan Azka pun curiga sambil menatap Ali tajam-tajam.
Ali awalnya diam saja. Sampai kemudian suara pengakuannya keluar. “Hehe, maap. Hagimana, aku takut banget je kalau ketahuan. Ya udah, tadi rokoknya aku masukin ke sempak. ”
Dan suara muntahan Fansuri pun langsung terdengar di antara mereka bertiga.