Saudaraku, pernahkah kamu merasa menjelaskan identitas keagamaan menjadi sama repotnya seperti menjelaskan orientasi seksual yang tidak berterima di masa kini?
Untuk kamu ketahui, saya cukup sering direpotkan dengan pertanyaan bernada “Kamu Islam apa?”.
Kali pertama saya disodori pertanyaan begituan secara intens adalah ketika saya ngaji pluralitas agama di Amerika. Sengaja saya katakan Pluralitas Agama, meskipun secara tertulis programnya bernama Pluralisme Agama.
Pertama, selain karena perbedaan persepsi di sana dan di sini, saya bosan selalu disangka muslimah korban cuci otak Amerika kader sekularis-pluralis-liberalis. Kedua, saya sudah tidak lagi berbangga dengan identitas US Alumni untuk program itu.
Saya yang culun ini memang sempat merasa hebat bisa mempelajari toleransi dan pluralitas keagamaan langsung di Amerika. Padahal kalau mau keliling Nusantara, begitu banyak situs kebhinekaan yang bisa dipelajari. “Ngaji toleransi kok di Amrik,” kata kawan-kawan meledek.
Saudaraku, hampir seminggu ini saya hidup bersama puluhan santri pilihan se-Jogja Solo dalam rangka workshop menulis. Saya ikut sebagai panitia kegiatan setelah mendapat tawaran dari Kyai Anick HT. Tema workshop tersebut adalah Islam dan Kekerasan, dengan menonjolkan peran #SantriAdalahKoentji untuk menebarkan Islam rahmatan lil alamin melalui tulisan.
“Gue banget nih!” pikir saya seketika usai membaca TOR. Maka dengan berbekal semangat belajar dan mencari jodoh, saya pun berangkat ke Solo. Dan karena 99,99% peserta dan panitia berlatar belakang Nahdliyin, saya merasa akan aman dari pertanyaan “Kamu Islam apa?”.
Tetapi, sialnya, justru ketika menjadi 0,01% yang bukan Nahdliyin itulah pertanyaan annoying di atas terus muncul.
Sebagai satu-satunya panitia sekaligus peserta yang bukan santri (kecuali Pesantren Kilat bisa menjadikan saya santri), selalu ada dahi-dahi yang mengernyit ketika saya menyebut “Alumni UNS” dalam perkenalan, tanpa identitas ponpes tertentu.
Untungnya kita sama-sama membaca Mojok, sehingga kecanggungan itu bisa dipersatukan dengan membicarakan Mbak Kalis Mardiasih, yang menjadikan identitas “Alumni UNS saja” tidak terlalu salah untuk menjadi bagian kegiatan ini (meskipun Mbak Kalis belum menjadi alumni sih—mari kita mendoakannya).
Tetapi tentu saja Mbak Kalis tidak serta merta menyatukan kita begitu saja, sebab dalam waktu yang lain, pembahasan jilbab a’la Mbak Kalis justru menjadikan kita kembali berjarak.
Saudaraku, sungguh sebenarnya saya merasa terganggu ketika kalian membahas “para wahabi yang sibuk mengurusi jilbab panjang atau busana syar’i hanya untuk jualan baju”. Saya memang berjilbab lebar dan jualan gamis, tetapi apakah itu lantas menjadikan saya bagian dari Wahabi—yang dalam bahasan kalian diasosiasikan dengan Islam yang tidak rahmatan lil alamin?
Apakah pernah saya ribut-ribut soal para santriwati yang ukuran jilbabnya tidak selebar saya? Atau para santri yang celananya tidak di atas mata kaki? Atau pada penggunaan rok versus celana? Pernahkah saya menjadi menyebalkan dengan obrolan tampilan visual yang begitu-begitu saja?
Justru saya sedih, ketika pada pagi hari saya hendak senam menggunakan celana training berlapis rok, ada yang mempertanyakan kenapa saya berpenampilan demikian. “Pakai celana saja lah, kan mau olahraga,” katamu karena kita hanya akan melakukan Senam Pinguin yang geje itu. Tapi dia tentu tak pernah tahu betapa saya sudah terbiasa menggunakan rok sekalipun untuk memanjat pohon rambutan di samping rumah.
Saya juga sedih ketika para santri dan santriwati boleh saling mengatupkan tangan ketika bersalam-salaman sambil bersholawat, namun ketika tiba pada giliran saya kamu berujar, “Kan kamu bukan santri, jadi boleh salaman.” Sementara jika saya memilih tidak bersalaman, saya justru dibandingkan dengan anak Kyai yang mau bersalaman.
Cobalah kalian mengerti, ada manusia-manusia yang begitu mudah baper hanya karena disalami atau ditatap begitu dalam. Daripada saya baper dan menyusahkan hidup kalian, biarlah saya tidak bersalaman. Toh kita masih bisa Senam Pinguin bersama kan?
“Dari nama WhatsApp-nya, kukira dia mbak-mbak hijaber gaul modis, ternyata modis syar’i,” katamu kecewa. Mungkin dalam hati kalian mengira saya Wahabi karena jilbab lebar dan gamis longgar, sebelum saya mulai jualan memperkenalkan nilai-nilai perdamaian yang saya tuangkan dalam desain gamis.
Uh, betapa tabayyun bukanlah hanya untuk portal berita hoax.
Saya jadi takut, jangan-jangan kalau saya hadir sebagai muslimah bercadar, kalian juga akan langsung menjaga jarak dengan saya?
Ketika biasanya kalian para santri menjadi minoritas di antara girlband hijab, kalian tentu risih ketika mereka mempertanyakan tampilan kalian yang dilabeli “tidak syar’i, pemahaman kurang”, dsb. Padahal bisa jadi jumlah kitab yang kalian baca jauh lebih banyak dari mereka.
Tetapi, memang begitulah mentalitas mayoritas: sesuatu yang berbeda dari narasi mereka juga sudah pasti “perlu disesuaikan”.
Jujur saja, Saudaraku, dalam hal mentalitas mayoritas tadi, kalian sama menyebalkannya dengan para girlband hijab itu.
Oh ya, dari tadi saya terus menyebut kalian Saudaraku, padahal belum tentu saya diterima sebagai Saudara kalian, sebab saya kan bukan santri, juga bukan Nahdliyin.
Sungguh saya tak tahu, salahkah saya yang merasa begitu takdzim pada kepemimpinan Sang Kyai dengan juga mengagumi Sang Pencerah? Salahkah saya yang bergetar hatinya ketika mendengar sholawat Gus Dur dan juga menikmati puisi-puisi Rumi? Salahkah saya yang menyukai pemikiran Gus Mus sekaligus mengagumi keluasan pandang Salim A. Fillah? Begitu berdosakah saya yang sejak kecil ber-qasidah dengan lagu-lagu Haddad Alwi–yang katanya Syiah–lalu ketika besar menjalin pertemanan rumpi syahdu dengan Ukhti Fatimah Zahrah yang berbangga sebagai Ahmadi?
Saudaraku, tidak bisakah kita tetap bersaudara, sekalipun saya hanya menyebut identitas saya sebagai Islam saja, bukan Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam PKS Tarbiyah, Islam HTI, Islam Sufi, Islam Sunni, Islam Syiah, atau Islam Ahmadi?