MOJOK.CO – Saya dipertemukan utas di Twitter yang menyebut kalau biaya membesarkan seorang anak mencapai 3 miliar. Hah?
Malam itu, setelah membetulkan letak selimut dan mengecup masing-masing kening kedua anak saya, pertanyaan yang baru-baru ini muncul kembali menyeruak ke ruang kesadaran, tepat ketika saya memandangi wajah-wajah damai yang tengah terlelap itu: seberapa bermaknanya mereka sehingga memampukan saya mengeluarkan uang bermiliar-miliar demi menghidupi keduanya?
Semua ini gara-gara sebuah utas di Twitter dari akun yang kebetulan saya ikuti dan kemudian menjadi viral. Utas tersebut mengatakan bahwa dibutuhkan biaya sebesar 3 miliar untuk membesarkan seorang anak—itu berarti saya, yang memiliki 2 orang anak, mesti menyiapkan sekitar 6 miliar untuk menghidupi mereka hingga dewasa.
Saya tak mengikuti perdebatan biaya membesarkan anak yang mengiringi utas tersebut setelahnya. Badan saya tiba-tiba meriang ketika menyadari bahwa saya harus mempersiapkan amat sangat banyak uang dalam jangka waktu relatif singkat.
Bagi keluarga yang sibuk berjingkat di atas tali rapuh yang memisahkan kelas menengah dengan kelas bawah, uang 6 miliar untuk membesarkan dua anak adalah sesuatu yang berada di luar imajinasi saya. Seperti sistem ekonomi makro bagi bocah TK.
Maka saya tidak bisa tidak memaafkan diri saya sendiri ketika memunculkan pertanyaan materialistik-transaksional semacam itu. Dan saya pun memahami alasan keberadaan utas tersebut dan sikap si pemilik akun yang mengaku enggan memiliki anak.
Kenyataannya, memiliki anak di era sekarang memang dilematis, kalau tak ingin menyebut irrelevan. Dan kita bisa mulai dengan mengajukan pertanyaan ini: kenapa seseorang harus punya anak? Apa fungsi praktis anak bagi suatu keluarga?
Tak semua orang mengetahui bahwa kegunaan seorang anak, dalam relasinya dengan keluarga dan lingkungan sosial, senantiasa mengalami perubahan. Bagi seorang petani di era agrikultur, anak mengemban banyak fungsi yang tak bisa digantikan dengan apa pun: sebagai alat produksi, asuransi jiwa, sekaligus dana pensiun di hari tua.
Kita tahu bahwa bercocok tanam adalah pekerjaan maha berat; seorang petani mesti bangun mendahului matahari untuk mengolah tanah dan merawat tanaman sepanjang hari.
Ia harus mencangkul, mengambil air, menanam sesuatu, menyiangi rumput, menghalau hama, dan menjaga tanaman dari penjarah. Dan saat musim panen, ia akan menuai, memindahkan hasil panen, menebas tanaman yang sudah tak berguna, kembali mengolah tanah, dan mengamankan lumbung dari perampok.
Bercocok tanam di era agrikultur, kecuali si petani punya kemampuan dewata, adalah kegiatan yang tak mungkin dilakukan seorang diri.
Di situlah fungsi seorang anak sebagai alat produksi. Saat masih kecil, si anak diminta menggembala ternak keluarga sementara orang tuanya sibuk bercocok tanam.
Ketika ia beranjak dewasa, ia diharuskan membantu orang tuanya mengolah lahan. Berhubung saat itu belum ada traktor dan mesin giling, pekerjaan bercocok tanam akan semakin ringan bila si petani punya banyak anak.
Pada momen itulah para pujangga mencelupkan pena bulu ke dalam tinta dan menuliskan peribahasa legendaris “banyak anak, banyak rezeki”.
Karena saat itu juga belum ada BPJS dan asuransi jiwa, keberadaan seorang anak sangat penting bagi keberlangsungan eksistensi orang tuanya, baik di dunia maupun di alam selanjutnya.
Siapa yang akan merawat Pak Tani yang tergolek lemah akibat rematik? Anak. Siapa yang menanggung biaya hidup Bu Tani yang sudah sepuh? Anak. Siapa pula yang menyelenggarakan prosesi kematian Pak Tani dan Bu Tani sekaligus menggelar ritual tertentu demi kedamaian arwah keduanya? Anak.
Jika anak lelaki bertindak sebagai alat produksi sekaligus jaring pengaman sosial bagi orang tuanya, maka anak perempuan lazimnya berperan sebagai semacam deposito.
Adalah lazim bagi masyarakat agrikultur untuk merawat anak perempuan sebaik-baiknya dengan harapan seorang lelaki kelak menebusnya dengan harga tinggi. Jejak tradisi ini masih bisa kita temui di beberapa suku di Indonesia.
Memiliki anak di era agrikultur, singkatnya, adalah sesuatu yang tak hanya lumrah, melainkan juga normatif. Anda akan dianggap malang bila tak kunjung memiliki momongan.
Zaman berubah, dan masyarakat meninggalkan era agrikultur untuk menyongsong gegap-gempita era industri. Zaman baru tentu saja membawa tatanan baru, dan dampak perubahan itu lebih masif daripada yang disadari sebagian besar orang.
Era industri membanjiri sawah dengan mesin dan segala pupuk. Ini membuat petani paling malas pada era Soeharto mampu menghasilkan panen yang lebih melimpah dengan modal yang lebih sedikit daripada rekannya yang paling rajin di era Hayam Wuruk. Anak-anak kini tak perlu dilibatkan terlalu banyak dalam proses produksi.
Industrialisasi juga mendorong urbanisasi masif penduduk ke kota-kota, menghasilkan masyarakat urban terdidik yang segera menanggalkan etos komunal untuk memeluk individualisme dengan mesra.
Masyarakat urban percaya pada kredo baru bernama hak asasi yang membuat mereka mempertanyakan ulang relasi anak-orang tua yang dinilai terlalu transaksional.
Dan tibalah kita di era sekarang, era di mana relasi anak-orang tua ala era agrikultur tak hanya terkesan transaksional, melainkan juga tak masuk akal—setidaknya begitu bagi masyarakat yang hidup di negara dunia pertama.
Fungsi praktis seorang anak telah diambil alih oleh negara dan pasar, dan keduanya menggantikan peran anak dengan sangat efektif.
Alih-alih mengandalkan tenaga anak, orang tua bisa memanfaatkan beragam mesin untuk membantu pekerjaannya. Saat orang tua sakit, mereka tinggal menelepon ambulans untuk membawanya ke klinik.
Bagaimana dengan biayanya? Oh tenang, sudah ada asuransi kesehatan.
Tabungan pensiun menjadi jaring pengaman di hari tua. Panti wreda menyediakan staf perawat yang tak pernah menggerutu di depan pasiennya. Dan soal prosesi pemakaman, orang tua tinggal menyewa jasa agen pemulasaran sejak jauh-jauh hari.
Benar bahwa masih ada orang tua yang memperlakukan anaknya berdasarkan norma era agrikultur, bahkan di daerah kosmopolitan sekalipun. Namun, orang tua semacam itu adalah pengecualian, dan tindakannya tak lantas mengubah kenyataan bahwa norma relasi anak-orang tua telah berubah.
Ini akan terdengar menyakitkan, tetapi fungsi praktis anak di era posmodern memang hanya sebatas klangenan. Orang tua memutuskan untuk punya anak karena alasan-alasan romantis dan bukan praktis.
Seorang pengantin baru milenial yang tengah diamuk cinta akan saling berpegangan tangan dan berkata, “Kayaknya seru, deh, kalau kita punya anak.”
Tidak ada pasangan yang bercita-cita ingin punya anak demi membantu membersihkan rumah atau membantu pekerjaan mereka menyunting naskah.
Ketiadaan fungsi praktis dan ongkos mahal untuk membesarkannya melatari keengganan banyak orang memiliki momongan. Di negara-negara dunia pertama, pemerintah sampai merayu warganya agar sudi beranak.
Sementara di Indonesia, sebagian masyarakat urban mulai mengikuti norma tersebut. Tidak dipungkiri, untuk sesuatu yang berfungsi hanya sebagai klangenan, biaya 3 miliar adalah sesuatu yang tak masuk akal.
Namun, perubahan norma tersebut tak lantas membuat pasangan yang ingin punya anak menjadi tampak konyol.
Sebagaimana keputusan seseorang untuk memelihara kucing anggora atau ikan cupang, keputusan untuk punya anak adalah sah dan boleh. Orang yang punya anak tak menjadi lebih buruk dibandingkan mereka yang menganut paham child free, dan begitu pula sebaliknya.
Dan yang tersisa adalah pertanyaan saya. Seberapa bermaknanya kedua bocah tersebut? Sudikah saya mengeluarkan 6 miliar untuk membesarkan kedua anak saya tanpa mengharap kompensasi apa pun?
Saat melihat mereka mendengkur seperti sekarang, dan tiap kali saya mendapati mereka tertawa dan memeluk saya, saya yakin bahwa mereka melampaui konsepsi saya atas makna.
Dan jangankan 6 miliar; saya tak akan berpikir dua kali andai biaya membesarkan mereka mengharuskan saya menjual alam semesta.
BACA JUGA Anak Saya Suka Membaca, dan Itu Membuat Saya Waswas atau tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.