MOJOK.CO – Setiap manusia punya cobaan dalam hidup masing-masing, dan bagi orang saleh, salah satu cobaan terberat baginya adalah perasaan dekat dengan Tuhan.
Alkisah, ada seorang lelaki bernama Yaakov yang tinggal di tepian sungai. Ia pemeluk agama yang saleh. Suatu hari, sungai meluap hingga ke tepian. Semakin lama, air yang meluap semakin banyak. Akibatnya, hampir separuh kampung tempat tinggal Yaakov digenangi air.
Rumah Yaakov pun hampir tenggelam. Terpaksa ia naik ke tingkat atas rumahnya. Saat berdiri di sana, seseorang yang naik perahu datang dan menyuruh Yaakov naik ke perahunya. “Tidak! Tuhan akan menolongku,” kata Yaakov tanpa basa-basi. Maka orang itu pun pergi.
Semakin lama, air terus bertambah tinggi sehingga Yaakov harus naik ke genteng rumahnya. Perahu lain datang dan lelaki yang mengendarainya menawari Yaakov ikut dengannya. “Tidak! Tuhan akan menolongku!” Yaakov kembali menolak. Lelaki itupun berlalu.
Air semakin tinggi hingga akhirnya benar-benar menggenangi atap. Yaakov berusaha mencari pijakan yang lebih tinggi. Ia kemudian memanjat cerobong asapnya. Saat itulah kemudian datang helikopter yang segera menurunkan tangga. Pilot helikopter menyuruh Yaakov memanjat tangga dan naik ke helikopter. Tapi sekali lagi Yaakov tetap dengan sikapnya, menolak tawaran penyelamatan.
“Apakah yau yakin?” Tanya pilot.
“Ya, sangat yakin,” jawab Yaakov dengan ekspresi dingin yang tak berubah, “Aku yakin Tuhan akan menolongku.”
Akhirnya, air bertambah tinggi dan menenggelamkan Yaakov. Ia pun tewas.
Setelah mati, Yaakov pun bertanya kepada malaikat yang sudah menunggunya, “Mengapa Tuhan tidak menolongku?”
“Dia sudah mengirimkan dua perahu dan satu helikopter. Kurang apa lagi?” Malaikat balik bertanya.
Entah bagaimana kelanjutan anekdot di atas, apakah Yaakov mau menerima penjelasan sang malaikat dan menyesali keputusannya atau ia justru mendebatnya. Saya juga tidak tahu apakah sesungguhnya Yakoov itu orang saleh atau naif. Atau barangkali, ia adalah orang saleh yang naif.
Kita sering mendengar cerita-cerita seperti itu dari para darwis yang menerapkan laku tawakal secara ekstrem dan akhirnya menjalani kehidupan secara pasif. Annemarie Schimmel pernah menukil cerita tentang seorang darwis yang tercebur sungai Tigris. Ketika seseorang ingin menolongnya sang Darwis menolak. Katanya, sejak zaman azali Tuhan telah menentukan apakah ia akan selamat atau mati tenggelam saat jatuh ke sungai Tigris.
Barangkali memang salah satu jenis godaan orang saleh adalah perasaan sangat dekat dengan Tuhan. Perasaan semacam itu kadang-kadang bisa menipu dan membuat orang jadi aneh. Orang bisa menjadi punya perasaan paling benar, paling tahu apa yang dikehendaki Tuhan, bahkan pada titik yang paling kurangajar, punya perasaan bahwa Tuhan seharusnya bertindak sesuai dengan kemauannya.
Sikap-sikap seperti ini, tidak hanya membuat kehidupan beragama kehilangan nuansa kegirangannya, tapi juga berbahaya. Di antaranya karena sikap itu memicu munculnya kecenderungan bersikap otoriter dalam menafsirkan agama. Otoritarianisme tidak saja berupaya membatasi ekspresi keagamaan, tapi juga menutup teks agama dari kemungkinan tafsir lain. Otoritarianisme menganggap bahwa dirinya adalah wakil yang paling sah dari Islam atau bahkan Tuhan sendiri.
Dalam otoritarianisme, orang akan dengan mudah bilang, “dalam Islam” atau “menurut Alquran” sambil meyakini bahwa pendapat yang lain bukan Islam atau tidak sesuai dengan Al-Qur’an. Padahal kita tahu Islam begitu luas dan al-Quran memiliki dimensi yang kaya.
Sejarah menyimpan banyak contoh tentang ini. Baru-baru ini, di salah satu grup WhatsApp saya, ada seseorang yang membagikan postingan yang menyebut bahwa Pak Quraish Shihab sesat. Gara-garanya, Pak Quraish tidak memiliki pandangan yang sama dengannya tentang jilbab. Beliau bahkan membiarkan putrinya tampil di depan umum tanpa jilbab menutupi kepalanya.
Dalam penyesatan tersebut, keragaman tafsir dan pendapat tentang jilbab lenyap. Mereka yang berbeda pendapat langsung menjadi sesat. Padahal dalam dunia Islam, pendapat soal jilbab bukan main banyaknya. Namun, sikap otoriter mana mau tahu soal itu. Kebenaran hanya satu, yaitu seperti yang dia pegangi karena hanya itu yang menurutnya direstui oleh Tuhan. Maka, diskusi dianggap hanya buang-buang waktu dan energi.
Di sinilah otoritarianisme lalu melahirkan banyak kontradiksi. Islam yang katanya terbuka tapi menutup diri rapat-rapat dari keragaman. Islam yang katanya menjunjung tinggi perbedaan menjadi demikian anti terhadap perbedaan pandangan. Surga pun hanya menjadi miliknya. Ia tidak mau rame-rame masuk ke sana.
Saya membayangkan, ketika Yaakov akhirnya dimasukkan surga, ia mungkin akan bertingkah seperti kisah jenaka tentang seorang lelaki meninggal dan berjalan menuju surga.
Sebelum tiba di gerbang surga, langkahnya dicegat oleh malaikat penjaga. Kepada lelaki itu dijelaskan bahwa gerbang surga tidak bisa dibuka begitu saja. Orang yang melewatinya harus lulus tes terlebih dahulu.
“Tes apa?” tanya lelaki itu kaget.
“Kau harus mengeja sepatah kata,” jawab malaikat.
“Oke, kata apa yang harus dieja?”
“Cinta,” ujar malaikat.
Maka dengan mudah lelaki itu mengeja c-i-n-t-a.
“Bagus, kau boleh masuk,” kata malaikat.
Dengan berlenggang kangkung, lelaki itu pun berjalan memasuki surga. Namun sejurus kemudian, sebelum ia melenggang masuk, ia memberikan pesan kepada malaikat penjaga, agar jika ada lagi yang akan masuk surga supaya dites dengan mengeja kata yang lain. Ia mengusulkan nama yang mungkin selama ini menjadi idolanya: Arnold Schwarzenegger.
Modyar!
BACA JUGA Menjadikan Perbedaan dalam Beragama sebagai Inspirasi ala Romo Bagus dan tulisan Muhammad Zaid Su’di lainnya.