Walikota Bandung, Ridwan Kamil, berencana membangun sebuah kawasan bisnis baru bernama Bandung Teknopolis. Dengan ini, Pemkot Bandung ingin mereproduksi keberhasilan Silicon Valley. Sebuah ambisi yang tidak mudah.
Saya percaya, Kang Emil akan mampu memenuhi rancangan tersebut. Pak Walikota, bagaimanapun, adalah seorang arsitek senior. Membangun pusat teknologi informasi dan komunikasi yang dirancang sebagai kota modern dengan desain futuristik dan serba canggih, tentu bisa diwujudkannya. Tapi sayangnya, technopreneurship lebih banyak bukan tentang pembangunan fisik. Apabila menumbuhkan technopreneurship semudah membangun gedung-gedung baru, niscaya proyek ini akan sukses besar.
Bagaimana cara agar Bandung Teknopolis bisa mengikuti jejak kesuksesan Silicon Valley? Ini pertanyaan berjuta-juta saintis dan teknolog seluruh dunia. Sulit untuk merumuskan resep-resep yang manjur. Frederick Terman, sang “pelatih” Silicon Valley, pun mengalami kegagalan saat diminta menduplikasi Silicon Valley di New Jersey dan Texas. Dia baru berhasil mengulangi kesuksesan Silicon Valley di Korea Selatan. Itu pun karena didukung penuh oleh Presiden Korea Park Chung Hee yang memiliki gaya memimpin mirip Soeharto. Hee memberikan berbagai dukungan politik dan mengucurkan dana besar-besaran untuk segelintir pengusaha yang disebut Chaebol, mirip dengan konglomerat di Indonesia era Orde Baru.
Maka ada dua cara untuk membuat Bandung Teknopolis berhasil. Pertama, cara Silicon Valley organik seperti Manchester United era Alex Ferguson. Atau kedua, mengikuti jejak Korea Selatan yang mirip Manchester City era Sheikh Mansour. Kalau ditanya ke Kang Emil, kemungkinan besar dia akan memilih pola Silicon Valley. Walaupun Kang Emil terakhir kali melihat Liverpool juara 25 tahun yang lalu, dia pasti tidak mau tim kesayangannya mengikuti jejak Manchester City yang “menjual diri” ke seorang pria Arab demi sebuah trofi. Lagipula, di zaman reformasi ini, mana mungkin memperoleh fasilitas backing politik dan finansial ala Orde Baru.
Saat Alex Ferguson memutuskan pensiun, dia menunjuk David Moyes, yang sebelumnya melatih Everton, sebagai penggantinya. Dari situ, Moyes akhirnya berhasil untuk pertama kalinya membuat Everton mengungguli MU di klasemen akhir Liga Inggris. Moyes dipecat di tengah jalan, digantikan Ryan Giggs untuk sementara sebelum Louis van Gaal menduduki kursi manajer MU mulai awal musim ini.
Van Gaal memiliki reputasi tinggi karena pernah merengkuh banyak trofi saat melatih Ajax, Barcelona, Bayern Munich, dan Timnas Belanda. Dia memulai karier di MU dengan membelanjakan uang sebesar 104 juta poundsterling (dengan kurs saat ini kira-kira 2 triliun rupiah) untuk membeli pemain-pemain top. Jika dibelikan bus busway merk Scania, uang sebesar itu bisa dapat 350 buah—cukup untuk membungkam (setidaknya sementara) para aktwitvis socmed yang tiap hari nyinyir ke Ahok karena belum juga berhasil mengatasi macet. Hingga saat ini, van Gaal baru berhasil membawa MU bertengger satu tingkat di bawah Arsenal yang menduduki peringkat ketiga.
Kisah Manchester United menunjukkan bahwa membentuk tim yang kuat tidak cukup hanya dengan membangun stadion yang megah, mengisinya dengan pemain-pemain kelas atas, memanggil pelatih terkenal, dan mengguyur dana berlimpah. Ibarat membuat smartphone, tentunya konyol sekali jika hanya membeli berbagai komponen elektronik lalu memasukkan begitu saja ke dalam satu casing. Walaupun wadah tersebut dibalut dengan desain modern dan ditempatkan di dalam bungkus yang cantik, ia tetap tidak akan bisa berfungsi sebagai smartphone. Itu smartphone hanya bisa dipakai di acara hipnotis Uya Kuya, atau oleh anak-anak yang lagi main telepon-teleponan.
Dalam hal teknopolis, membangun technopreneurship tidak cukup hanya dengan menghadirkan komponen-komponen yang dibutuhkan ke dalam satu ruang—seberapapun megah dan canggih ruang tersebut.
Saat diwawancara Harvard Business Review, Fergie mengungkap 8 resep keberhasilannya menangani MU. Jika diperas, 8 resep tersebut diturunkan jadi 3: (1) menggali dan mengoptimalkan kemampuan teknik dan taktik pemain, (2) membangun pola relasi pemain yang saling melengkapi untuk strategi tertentu, dan (3) fleksibilitas strategi sebagai cara beradaptasi dengan taktik lawan. Kalau diperas lagi jadi satu saja, Fergie adalah seorang ayah yang sangat perhatian sekaligus kejam kepada anak-anaknya. Pendekatan ini berbeda dengan Arsenal yang biasanya cair dan tidak adaptif, sehingga Arsenal kalah mulu kalau lawan MU, kecuali kemarin menang 2-1 di Old Trafford. (Sebenarnya, menang lawan MU sekarang itu nggak bangga. Tapi kalau kalah bikin malu, lha wong musim kemarin peringkat 7)
Ketiga hal di atas juga bisa digunakan untuk memotret Silicon Valley. Saat Frederick Terman membangun Stanford Industrial Park yang bersebelahan dengan Stanford University, dia sebenarnya sedang membuka kantor biro jodoh. Dia menarik perusahaan-perusahaan besar untuk membuka kantor riset di situ dengan gula-gula berupa kedekatan dengan sumber pengetahuan di Stanford University. Lalu, dibawanya pekerja-pekerja perusahaan elektronik agar mau bergumul dengan para akademisi dan mahasiswa melalui aktivitas-aktivitas penelitian di research center.
Dari sana para akademisi, mahasiswa, dan para pekerja industri bisa saling bertatap muka, dan belajar satu sama lain. Orang akademik berupaya agar gaul dengan situasi dan tuntutan dunia praktis, sementara para pekerja industri bisa tetap peka dengan mengintip teknologi-teknologi mutakhir. Terman juga menyusun semacam kurikulum belajar, beberapa kuliah khusus untuk membentuk keahlian tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pola belajar di sana mirip dengan lingkaran-lingkaran mentoring teman-teman Tarbiyah. Bisa dikatakan, Terman membangun sebuah jejaring pengetahuan baru untuk memperkaya pengetahuan yang telah dimiliki para penghuni pusat riset.
Perjodohan itu ternyata berhasil. Akademisi dan pihak industri kemudian berkolaborasi membentuk sebuah tim yang memiliki kemampuan teknologis tinggi sekaligus gaul dengan situasi pasar, terutama untuk kebutuhan telekomunikasi dan peralatan militer. Perkawinan ini akhirnya melahirkan bermacam perusahaan yang menghasilkan berbagai produk teknologi yang kita kenal saat ini, mulai Hewlett-Packard (HP), Intel, Apple, Microsoft, hingga Yahoo, Google, dan Facebook.
Dari kisah Frederik Terman di Silicon Valley dan Alex Ferguson di MU, kita bisa melihat bahwa peran bangunan kurang begitu krusial. Apple, yang awalnya cukup berkantor di garasi, membutuhkan gedung baru karena jumlah pegawai meningkat tajam. Dan MU memerlukan Old Trafford yang berkapasitas 75.731 orang karena harus memfasilitasi orang-orang yang ingin menonton pertandingan berkualitas tinggi. Gedung dan stadion adalah arena untuk mengelola dan memperbesar skala aktivitas yang telah ada sebelumnya. Ceritanya tidak bisa dibalik. Apple Spaceship Campus tidak perlu dibikin kalau pegawainya cuma Steve Jobs dan Steve Wozniak. Dan orang pun akan mencibir jika MU menjuluki Old Trafford sebagai Theatre of Dreams, tetapi permainannya hanya level tarkam (antar kampung).
Oleh karena itu, terkait Bandung Teknopolis, ada pertanyaan sederhana: Jika gedung-gedung megah dan canggih itu adalah solusi, apa masalah yang ingin dipecahkan? Semoga Kang Emil memiliki jawaban ala Alex Ferguson, bukan Sheikh Mansour.