MOJOK.CO – Kenangan akan Bandung adalah kenangan paling memabukkan. Khususnya magis dari sebuah lokalisasi besar bernama Saritem.
Saya bukan orang yang benar-benar lurus dalam memperlakukan perempuan. Ada kalanya ego, emosi, serta ketidaksiapan menghadapi keadaan sesekali saya alami ketika berada di atas ranjang. Saya pernah ngambek lalu malas berhubungan badan hanya karena perilaku perempuan yang tidak sesuai dengan harapan saya.
Atau pernah juga saat kondisi sudah tidak menggunakan pakaian. Hanya tinggal beberapa milimeter alat kelamin akan bertemu, saya mengurungkan niat untuk berhubungan seks. Hanya karena sang perempuan kurang begitu mesra dan ketus.
Body count saya sudah menyentuh angka 100. Wilayah pengalaman saya terbentang dari Palu, Bandung, Jogja, hingga Surabaya. Sekitar 70 hingga 80% di antaranya adalah WP, PSK, atau apa saja sebutannya. Saya selalu menaruh ekspektasi cukup tinggi setiap akan bertemu WP atau PSK di awal saya menjelajahi dunia prostitusi. Namun, makin kemari, setelah sedikit banyak tahu tentang kisah mereka, saya tidak terlalu menaruh ekspektasi tinggi.
Lalu, dari mana angka 100 itu? Khusus untuk Mojok, saya mencoba menghitungnya dengan mengingat tempat seperti kota, rumah, kos, atau hotel. Mengingat nama mereka tentu akan sangat sulit.
Apakah saya bangga dengan itu? Kadang saya merasa begitu. Karena pengalaman “mahal” seperti ini mungkin tidak bisa dirasakan semua orang. Dan, seandainya ini baru menyentuh angka belasan atau puluhan, tidak akan saya tuliskan di sini. Saya mulai dari Bandung.
Bandung dan Magis Saritem
Semua rasa tidak puas yang saya alami nyaris tidak pernah saya alami selama menjelajahi Kota Bandung. Mulai dari pinggir jalan stasiun, MiChat di sekitar Cikutra atau Paskal hingga tempat yang paling sering saya datangi: Saritem.
Saya berkenalan dengan banyak wanita di Bandung, tentu konteksnya pelacuran, ya. Ada beberapa yang membekas, membekas banget, sampai bekasnya kebangetan. Tentu ada juga yang tidak sesuai dengan harapan. Tapi kalau di Bandung, seperti kata saya tadi, semuanya nyaris sempurna.
Namanya Gilda, tentu bukan nama sebenarnya. Saya bertemu dengannya di suatu malam 2014. Saya mampir ke Bandung sepulangnya dari Jakarta untuk menyelesaikan kerja media sosial dengan kontrak pendek. Mumpung sedang ada di Jakarta dan dekat dengan Bandung, sayang sekali rasanya kalau harus langsung pulang ke Jogja. Bandung yang punya magisnya sendiri menggoda saya untuk mampir.
Saya membatalkan tiket pesawat kelas bisnis Jakarta-Jogja yang sudah dipesan oleh koordinator tim proyek kami. Yah, semata-mata karena ingin mampir lebih dulu ke Bandung. Di hari kepulangan, tiga orang rekan saya terheran-heran melihat saya yang begitu semangatnya pulang ke Jogja tapi via Bandung. Raut wajah curiga muncul di wajah mereka sembari salah satunya berkata, “Ini pasti urusan memek Jawa Barat.”
Bandung dan kenangan masa kecil
Sewaktu kecil, saya sering liburan ke Bandung. Berkunjung ke keluarga besar ibu saya di Jalan Dipatiukur, ke sebuah rumah yang hari ini sudah menjadi kampus Unikom. Banyak kenangan masa kecil selama di sana. Termasuk yang paling memorable adalah ayah saya menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Santo Borromeus dan disemayamkan di rumah Dipatiukur.
Sebelum pindah dari Palu, saya sudah menjadikan Bandung sebagai tempat pertama di mana saya akan melanjutkan masa SMA. Terlalu banyak kenangan sentimentil di kota ini yang saya rasakan dari usia saya delapan tahun.
Selain nyaris menjadi siswa SMA Nasional Bandung, masa kecil saya dipenuhi ingatan ketika main ding-dong di Palaguna, keliling naik Damri dari Jatinangor-Pasar Baru, jajan teh botol di dalam cooling box, beli Cakwe di Simpang Dago atau beli jajanan di Yogya Departement Store, Taman Lalu Lintas, Gelael Juanda, beli truk kayu di Bonbin atau Kosambi, naik 4848 ke Jakarta hingga hobi makan kalkun Amigo tidak bisa hilang dari ingatan saya sampai hari ini.
Pak Didi, guide terbaik di Bandung
Gilda berpapasan dengan saya di sebuah gang sempit di antara rumah-rumah yang berada di lokalisasi Saritem. Saya ditemani Pak Didi, seorang guide yang menyediakan jasa keliling Saritem bagi “calon pelanggan” di sana. Saya kenal Pak Didi sudah sejak 2011. Sampai sekarang, setiap ke Bandung dan Saritem, Pak Didi selalu setia menemani. Dia membawa saya ke tempat-tempat berisi wanita-wanita cantik pilihannya di dalam lokalisasi.
Malam itu, setibanya dari Jakarta kantuk menyergap saya. Rasa kantuk yang jujur saja bercampur sange sampai ujung kepala. Kondisi ini membuat saya tidak bisa fokus “memilih” di Saritem.
Hampir setengah jam saya berputar-putar area Saritem bersama Pak Didi. Dia sampai bingung menawarkan wanita seperti apa lagi kepada saya. Rasa putus asa dan kaki yang mulai pegal membuat saya memilih kembali ke salah satu rumah “singgah” yang biasa disebut Bok-Bok. Rumah ini menyediakan kamar untuk disewa apabila kita tidak ingin bercinta di rumah tempat PSK itu mangkal.
Saya, Pak Didi, dan seorang teman lagi, Doni, duduk di bagian belakang rumah Bok-Bok ditemani dua botol bir putih. Ada ruangan yang dimanfaatkan untuk ruang tamu bagian belakang berisi sofa panjang dan meja kecil. Di sebelah ruangan itu ada dua kamar yang dengan sangat jelas bisa kita melihat kalau ada PSK dan tamunya yang keluar masuk.
Malam itu relatif sepi karena baru pukul tujuh malam. Tidak ada tamu lain, hanya ada kami bertiga dan seorang laki-laki remaja penjaga rumah. Tugasnya melayani tamu.
Kembali saya mengajak lagi Pak Didi keluar setelah beberapa menit istirahat. Saya masih penasaran, apakah sama sekali tidak ada yang cocok dengan selera saya? Saya meninggalkan Doni sendiri yang mengobrol dengan penjaga rumah.
Sudah 10 menit saya berjalan berdua dengan Pak Didi. Putus asa kembali menghampiri, membuat saya memilih untuk kembali ke Bok-Bok. Saya meminta Pak Didi menemani Doni untuk mencari wanita idamannya malam itu.
Terpesona pada pandangan pertama
Baru saja hendak masuk ruangan belakang Bok-Bok, tiba-tiba kami berpapasan dengan seorang wanita menggunakan celana pendek jeans berwarna biru cerah. Rambut panjangnya terurai hingga pinggang. Dia hanya menggunakan kaos putih berbahan tipis dengan sablonan wajah orang di bagian dada.
Dia menoleh ke arah saya dan Pak Didi yang berjalan ke arahnya. Wajahnya mirip Asmirandah dengan sedikit sentuhan mimik muka judes Zaskia Gotik. Matanya melihat tajam ke arah saya lalu tersenyum, lembut, mengirimkan sebuah sinyal pendek agar saya memilihnya malam itu.
Bahunya sedikit bersentuhan dengan lengan saya karena sempitnya gang itu. Seketika saya menoleh ke belakang, melihat Gilda yang berlalu menjauh. Sementara itu, wajah Pak Didi sedikit tersenyum ketika saya meliriknya, seperti yakin saya sudah menemukan wanita idaman malam itu.
“Yang tadi?”
“Boleh. Berapa tarifnya, Pak?”
“Kayaknya 250-300, tapi ini kan belum jam 10, gaskeun atuh.”
“Boleh deh, tapi kayaknya jalan nemuin tamu?”
“Enggak, itu mau balik ke rumahnya, deket sini kok. Saya panggil nyak.”
Pak Didi pergi meninggalkan saya dan Doni untuk memanggil Gilda. Oiya, ruang tamu belakang ini juga disediakan untuk tamu yang malas keliling dan memilih meminta guide agar wanita pilihannya datang ke ruangan itu. Ruangan ini dikenal dengan istilah showing.
“Emang geulis tadi?” Tanya Doni.
“Lumayan, dan sepertinya baik. Feeling.”
“Yaudah, gas lah, cuma semalam ini di Bandung.”
Tidak berapa lama, Pak Didi masuk, disusul Gilda yang berjalan di belakangnya. Gilda terlihat malu-malu.
“Nih, orangnya, kenalan dulu, geulis nyak?” Kata Pak Didi melihat saya dan Doni yang sedikit melongo.
Gilda dan rambut pirangnya
Kami kaget, ada wanita seperti itu di Saritem, dan ini belum pernah saya temui sebelumnya di lokalisasi-lokalisasi besar kecuali Dolly di Surabaya. Tapi tetap saja, Jawa Barat menang banyak kalau soal karakter wajah dan kulit. Laki-laki mana saja akan mudah menaruh rasa suka dengan perempuan Jawa Barat.
“Gilda.” dia menyalami saya dan Doni.
“Yaudah, a Doni, ayok keliling lagi,” ucap Pak Didi yang sudah menebak saya akan langsung menuju kamar malam itu.
“Mau langsung?” Bisik saya kepada Gilda yang sudah duduk di samping saya, mata kami tidak lepas saling memandang.
“Kamar tengah aja ya? Mumpung masih sepi.” Balasnya
“Ayok.”
Kami berjalan menuju kamar di bagian tengah. Gilda meminta salah satu penjaga Bok-Bok untuk menyiapkan minuman, rokok, handuk, dan sabun di kamar yang dia sebut. Begitu masuk ke kamar, saya agak kaget, ruangannya cukup luas. Beda dengan beberapa kamar yang pernah saya singgahi di Bok-Bok.
Separuh dindingnya ada kaca besar yang tentu mampu memberikan sensasi lebih “mengerikan” ketika sedang bercinta. Gilda sudah duduk di atas kasur dan masih terus melihat saya.
“A, duduk atuh, ngapain berdiri,” katanya lalu tersenyum.
“Nama kamu beneran Gilda?”
“Udah, panggil gitu aja. Kenapa?”
“Cocok. Cocok aja, enak disebutnya.”
“Iih. naon sih.” Dia mendorong pelan pinggang saya, memberi gestur agak malu-malu.
Petugas Bok-Bok sudah berdiri di depan pintu kamar yang masih terbuka, membawakan kami sepasang handuk dan sabun batangan kecil seperti yang disediakan di hotel-hotel. Gilda lalu menghampirinya, membawa dua Teh Kotak dan satu bungkus Marlboro Black Menthol untuk Gilda.
Saya memperhatikan betul geraknya sejak berdiri dari tempat tidur, mendatangi petugas Bok-Bok, mengambil barang-barang yang diberikan, meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur, hingga kembali lagi ke arah pintu untuk menutup dan mengucinya, sampai dia membalikkan badannya, berdiri di pintu memandang saya membuat malam itu terasa sangat lambat. Saya berkata dalam hati. “Asu. Awas jatuh cinta!”
Hawa Bandung yang sempurna
“Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang adam, begitu pula dirimu, tercipta tuk menemani aku.”
Mendadak lirik lagu Dewa 19 berputar-putar di kepala saya. Goblok sekali, ini kok jadi semi kasmaran begini. Mungkin efek kultur syok lokalisasi. Bisa jadi masalah ini kalau sampai saya suka kepada Gilda.
Dia melepaskan flat shoes hitam yang digunakannya, berjalan pelan ke arah saya dan kami belum berhenti saling memandang. Tiba-tiba dia duduk menyamping di pangkuan saya. Tangan kanan saya membelai rambutnya untuk memastikan bahwa rambut panjangnya bukan hasil ekstensi. Rambutnya diwarnai sedikit cokelat-kemerahan ketika kena sinar lampu. Sementara itu, tangan kiri saya dengan sengaja memegang pahanya. Kulitnya seperti kain satin, wangi parfumnya berbeda, tidak lembut tapi tidak juga mengganggu indera penciuman.
Saya sekali lagi memandang wajahnya beberapa saat. Dia masih sangat muda, cantik dengan riasan yang tidak tebal, dan semoga benar dugaan saya usianya sudah menginjak 20 an tahun. Kami masih saling bertatapan, hingga setelah beberapa saat dia berkata.
“Kita mau liat-liatan terus begini?”
“Ya enggak dong.”
“Terus mau ngapain? Entar keburu jam 10 atuh.”
“Ya udah, sampe jam 10 aja sekalian.”
“Hahh? emang kuat?”
“Ya kan nggak harus berkali-kali.”
“Hayuuk….” balasnya sambil tersenyum seraya menganggukan pelan kepalanya.
Jantung saya berdegup kencang. Napas saya berhembus pelan tidak beraturan, membayangkan kami terkurung berdua di kamar dengan lampu remang-remang yang dikelilingi kaca-kaca besar di tiga sisinya selama beberapa jam.
Entah apa yang akan terjadi, jangan-jangan kami akan saling suka. Atau, ada yang tidak sesuai harapan saya sehingga merusak mood ketika bercinta. Bisa jadi sensasi yang saya rasakan bersama Lisa akan terulang di sini, di Bandung, di Saritem? Saya masih belum berhenti memikirkan skenario yang paling baik untuk menikmati malam bersama Gilda.
Bandung kota kembang
Sebelum saya mengenal konotasi negatif dari slogan “Bandung Kota Kembang”, sebelum ada Pak Didi dan Gilda, hampir setiap liburan sekolah ketika SMA, Kota Bandung selalu menjadi pilihan pertama. Transportasi bus malam menjadi andalan kalau ke Bandung dari Jogja atau sebaliknya. Nama PO Kramat Djati menjadi salah satu perusahan bus yang punya kenangan panjang.
Sejak kecil, saya dan keluarga menjadi pelanggan setia P.O tersebut. Khususnya setiap saya dan ibu saya bergantian mengunjungi kedua kakak saya di Bandung dan Jogja.
Setelah masa itu, semenjak tinggal di Jogja, liburan sekolah saat SMA dan kuliah di semester awal menjadi yang paling saya nantikan. Saya bisa naik Kramat Djati, tiba subuh di Cicaheum, lalu naik angkot ditemani cuaca dingin. Sarapan bubur ayam di Dago dan menuju rumah tante saya di Dipatiukur atas. Setelah itu menghabiskan hari-hari liburan di sana berkeliling naik Damri, angkot, ke Sawit di daerah Purwakarta, atau apa saja yang bisa mengobati rasa rindu masa kecil saya.
Saya pertama kali berkenalan dengan Saritem pada 2003 ketika menemani dua orang teman. Satu tahun kemudian, saya kembali ke sana bersama teman-teman dari komunitas motor.
Komunitas motor saya sering menginap di sebuah mess di sebelah Bandung Indah Plaza (BIP). Mess tersebut milik salah satu instansi pemerintah kalau tidak salah, yang entah kapan sudah berubah bentuk menjadi bank atau kafe saat saya melihatnya di Google.
“Eh, berapa? Sampai lupa nanya, ngeliatin kamu terus.”
“300, A.”
“Oke.”
Di Saritem Bandung, kalau kita datang sebelum pukul 10, tamu akan dilayani sebanyak dua kali dalam waktu satu jam. Untuk wanita seperti Gilda, menurut saya, itu terlalu murah. Cuma namanya laki-laki, senang-senang saja menemukan emas di tengah-tengah lautan perunggu.
“Bilas dulu, A.” Kata-katanya memotong pikiran tak karuan di dalam kepala.
“Ngerokok bentar, ya. Nggak harus langsung, kan?”
“Sayang waktunya atuh, nanti keburu sejam, cuma sekali doang.”
Gilda dan imajinasi liar
Saya kaget. Ada ya PSK punya pikiran baik. Harusnya dia malah senang kalau waktunya habis dan hanya melayani satu kali saja.
“Gapapa, kubayar sampe jam 10 aja kamu mau?”
“Ih, si Aa serius? Tadi Gilda cuma bercanda atuh.”
“Yaudah, kalau nggak mau juga nggak papa. “
“Mau aja, tapi belum makan ih, tadi niatnya balik dulu terus makan.”
“Udah pesen makanan?”
“Dibeliin teteh tadi, ada di rumah.”
“Mau bawa sini? Makan dulu aja.”
“Nggak papa, nanti aja, main dulu aja A.”
Mendengar kata “main” keluar dari mulut seorang gadis yang berusia sekitar 20 hingga 23 tahun, tinggi semampai, berkulit halus, rambut panjang tanpa ekstensi, parfum yang baunya berbeda, bola mata, hidung, jari lentik hingga suara kekanak-kanakannya yang masuk dengan lembut ke gendang telinga membuat darah yang mengalir di tubuh saya terasa panas.
Gilda lalu mengambil handuk, menuju bilik bilas yang dibatasi tembok sebatas dada dan kaca yang transparan yang hanya setinggi kepala orang dewasa. Dia menunduk, lalu kemudian jongkok, terdengar suara semprotan dari shower dan gemericik air yang terjatuh di lantai.
Celana pendek dan celana dalamnya sudah dilepas sebelumnya, dilipatnya rapi dan diletakkan di meja kecil yang sudah penuh berisi teh dan rokok. Dia keluar dari bilik bilas, rambutnya dicepol, duduk di sebelah saya menggunakan handuk yang menutupi area kewanitaannya.
Saya melongo. Tidak bisa membayangkan bagaimana saat kami sudah tidak berpakaian nanti. Saya tersenyum, kebingungan bercampur salah tingkah yang sesekali saya alami ketika berurusan dengan wanita tiba-tiba muncul. Saya sudah bersiap ke bilik bilas. Handuk sudah ada di pangkuan saya sedari tadi, tapi enggan rasanya berpaling memperhatikan Gilda yang sibuk menyiapkan tisu untuk kami pakai.
Saritem dan kenangan akan Bandung
Kemaluan saya pertama kali menancapkan sejarah di Saritem tahun 2006. Saya ingat betul bagaimana empat orang teman menarik kedua kaki dan tangan saya. Mereka lantas menyeret saya di trotoar depan BIP untuk masuk ke mobil dan berangkat menuju Saritem. Kami dalam keadaan mabuk. Saya dipaksa duduk di tengah diapit dua orang, sudah seperti penculikan.
Sesampainya di Saritem pun saya masih dikawal. mereka menjaga supaya tidak kabur dan kembali ke parkiran mobil. Kami masuk ke dalam lokalisasi dan saya terus-menerus digoda untuk mencari PSK. Saya terus menolak, tapi menyetujui untuk masuk ke dalam area lokalisasi menemani mereka tapi berkata tidak akan menyewa PSK.
Kami sudah berkeliling cukup lama. Saat itu kami berenam, belum ada satu dari kami yang gugur, terkena jerat dan tumbang masuk ke dalam kamar bersama PSK. Saya berjalan paling belakang, mengikuti rombongan kami yang dipandu seorang guide. Tiba-tiba, saya melihat sosok wanita yang menjadi kriteria saya dalam imajinasi seks standar seorang laki-laki.
Saya berbelok sendiri meninggalkan rombongan, tanpa babibu langsung menghampiri wanita tadi. Saya mengajaknya masuk ke kamar ketika harga sudah cocok. Satu jam kemudian saya disambut berbagai makian jenis binatang hingga kelamin. Mereka menggelengkan kepala. Tadi saya dipaksa ikut ke Saritem dan berkata tidak akan “main”, tapi sesampainya di sana malah saya yang lebih dulu masuk kamar.
Kaca besar di kamar bok-bok
Gilda sudah duduk di atas kasur membelakangi kaca yang ada di tiga sisi tempat tidur berukuran sedang. Dia menghadap saya yang baru keluar dari bilik bilas dengan wajah yang “sok tenang” padahal perasaan saya sudah naik turun tidak karuan ingin segera berada di atas tubuh Gilda.
“Lampunya mau dimatiin, A?”
“Boleh.”
“Yaudah matiin atuh.”
Tangannya meraih handuk yang melingkar di pinggang saya, sesaat sebelum saya duduk di atas kasur. Kaget. Buat saya itu sudah lumayan agresif. Tangannya tiba-tiba menyentuh kemaluan saya, sembari berkata
“Nggak dingin emang kena air? Lagi dingin banget ih sekarang.”
“Lumayan. Kisut. Eh, mengkerut. Kamu nggak tahu kisut ya?”
“Tahu kok, nyusut gitu kan maksudnya?”
“Iya, kek cabe kering… haha….”
Sebuah candaan yang tidak berguna sama sekali karena sebenarnya sange di kepala sudah semakin memuncak. Tangan saya dan Gilda sudah sibuk melakukan apa saja. Saya menuruti hawa nafsu yang semakin menjadi-jadi, sementara Gilda menuruti SOP pekerjaannya untuk memanjakan tamu di Bandung.
Bibir kami pun sudah tidak karuan bergeser kesana-kemari saat wajah kami saling menempel. Gilda yang terlihat kalem sejak awal kami bertemu kini mulai menunjukkan fase bercumbu dengan beberapa tingkatan kecepatan. Dia menyesuaikan dengan semakin panasnya aliran darah yang mengalir di tubuhnya. Tidak ada lagi Gilda yang terkesan anak usia 20 tahunan minim pengalaman.
Iblis di kaca kamar
Sesekali tangannya memegang telinga dan rambut saya, seperti memberi tanda bahwa ceret di atas kompor berisi air semakin panas. Dia lalu mendidih dan siap dituang ke dalam sebuah gelas. Sesekali kami berhenti untuk saling menatap. Sesekali pula saya melirik kaca di belakang Gilda. Seperti ada wajah orang lain yang tersenyum licik, merasa puas karena keinginannya bisa tercapai.
Satu per satu pakaian yang tersisa di badan kami sudah tanggal. Cahaya lampu remang dari bilik bilas dan pantulan lampu luar yang masuk lewat ventilasi di atas pintu sudah lebih dari cukup untuk menerangi kami.
Mata saya bergerak naik dan turun memperhatikan sekujur tubuh Gilda. Memperhatikan sudut-sudut ruangan, tempat sampah, sarung bantal berwarna cerah yang sepertinya tidak bernoda, tidak ada serangga seperti kecoa, langit-langit yang tidak bolong, pintu yang sudah benar-benar terkunci lalu kembali ke Gilda.
Saya tidak mau malam itu terganggu dan merusak mood saya untuk berhubungan badan. Sesekali, seks itu bukan hanya soal urusan kelamin yang saling menempel. Ada kenikmatan dan keindahan lain yang bisa didapat selain itu. Seks bukan sekadar urusan menikmati kelamin yang saling bergesekan dan dilakukan di atas kasur mewah sebuah hotel bintang 5 di Bandung.
Gilda merebahkan tubuhnya. Saya menyusul merebahkan badan di sebelahnya, bukan di atas tubuh Gilda.
“Kamu dipanggilnya Aa atau Abang aja nih?”
“Kok tiba-tiba nanya gitu?”
“Gapapa. Nggak cocok aja mukanya dipanggil Aa.”
“Kenapa emang? Tapi terserah kamu aja.”
“Bang aja ya? Kalau cuma panggil nama nggak enak ah. Lebih tua, kan?”
Saya tertawa pelan sambil membelai pipi dan rambut Gilda.
“Sempet-sempetnya kamu nanya ginian pas udah nggak pakai baju ya?”
“Ya gapapa kan?”
Sulitnya menggambarkan magis Gilda
Tubuh kami kembali bersentuhan. Cuaca dingin Bandung bercampur AC di kamar mulai terasa. Kondisi yang membuat suhu badan kami berdua terasa saling menghangatkan satu sama lain. Lagi-lagi, kami menghabiskan waktu cukup lama untuk sekadar bercumbu hebat lalu menyentuh area-area sensitif berulang kali. Seperti tidak sedang berada di sebuah lokalisasi dan berurusan dengan seorang PSK.
“Abang pake obat?”
“Hah?”
“Emang segini aslinya?”
“Hahhh? Oh, ini? Emang bawaan lahir.” Saya tersenyum.
“Jangan terlalu cepettt ya.”
“Iya, sori, nggak nyadar. Terlalu semangat”
“Sesuai badannya ih.”
Tidak ada missionary di jam pertama kami malam itu. Berulang kali Gilda menyarakan kami menghadap kaca dan saling memandang satu sama lain melalui kaca itu. Atau, sesekali dia ingin berada di pangkuan seorang laki-laki sambil menarik rambut, menyilangkan kaki ke utara-selatan, duduk seperti sedang menaiki motor dengan tuas tambahan di joknya yang bisa digerakkan maju-mundur sampai tergeletak jatuh menyamping dan sama-sama menghadap kaca.
Menuliskan pengalaman seks bersama Gilda saat itu jauh lebih susah daripada membuat sebuah esai politik atau hasil riset lapangan berminggu-minggu. Ini pengalaman pertama saya berada di lokalisasi dan menemukan seorang wanita yang berbeda dengan PSK lainnya.
Ini sudah seperti menemukan kisah asmara spesial. Tolak ukur dan output-nya sudah sesuai dengan apa yang ada di dalam pikiran. Khususnya setiap berangkat menghampiri PSK atau WP liar di hotel murah sampai mahal, hingga kos eksklusif di mana saja setiap aplikasi seperti BeeTalk atau MiChat bisa menjembatani hasrat seksual saya.
Kepada magis Gilda, gairah ini saya persembahkan.
BERSAMBUNG….
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA PSK Mirip Lulu Tobing yang Tak Bisa Kulupakan dan pengalaman tak terlupakan lainnya di rubrik ESAI.