MOJOK.CO – Saya bisa memahami kenapa baliho Puan Maharani tetap nongol ada di mana-mana bahkan sampai di desa terdampak letusan Semeru.
Beberapa tahun lalu, seorang teman—yang menjadi relawan seorang caleg—mengajak saya bekerja dalam bidang yang tak pernah saya duga-duga sebelumnya: menempelkan alat peraga untuk kampanye politik.
Tawarannya sangat menarik. Dibayar sekian ratus ribu untuk memasang 450 biji banner, 50 buah umbul-umbul, dan 5 baliho berukuran jumbo yang harus terpasang di sepanjang Jalan Kecamatan.
Tarif itu belum termasuk biaya bensin, rokok dan makan malam, kuota internet, peralatan seperti tali-temali dan bambu. Tentu, itu upah yang lumayan menggiurkan bagi mahasiswa kere seperti kami saat itu.
Maka berangkatlah saya bersama seorang teman, berdua di gelap malam, di tengah suasana yang begitu sunyi, ditingkahi oleh deru kendaraan di jalan raya. Namun, belum separuh tugas politik itu rampung, badan mulai terasa loyo dan mata agak mengantuk.
Ternyata memasang ratusan banner dalam semalam itu luar biasa menguras fisik. Apalagi kalau cuma dikerjakan dua orang. Saya lalu jadi mengingat lagi bayaran yang kami terima. Rasa-rasanya honor yang kami terima jadi terkesan murahan.
Menyadari itu, hasrat nakal dalam diri kami pun mulai timbul.
Karena sejak awal hanya diminta menyetorkan foto di grup WhatsApp sebagai pertanggungjawaban, maka kami mengambil foto masing-masing satu atribut kampanye, dengan pose dan angle yang berbeda-beda, seolah-olah kami telah menempelkan semuanya.
Sisa banner, baliho, dan umbul-umbul kami bawa ke kampus dan sebagian berguna untuk menjadi alas tidur teman-teman mahasiswa di UKM.
Pertanyaannya, bagaimana nasib caleg yang atribut kampanyenya kami telantarkan itu tadi? Sayang sekali, ia kalah lumayan telak.
Hanya saja, fakta menariknya, di Kecamatan tempat kami mengemban tugas tak sampai tuntas itu, perolehan suaranya justru sedikit unggul ketimbang kandidat yang lain. Beruntunglah, dengan begitu saya merasa tidak terlalu banyak merasa bersalah sama si caleg.
Sejak saat itu saya menarik kesimpulan, dengan atau tanpa alat peraga kampanye yang menciptakan sampah visual, para politikus memiliki potensi yang sama untuk memenangkan pertarungan politik. Baliho memang berpengaruh—saya tidak bisa naif—tapi tak cukup signifikan.
Bahkan seorang Arteria Dahlan, politikus PDIP yang namanya sampai pada telinga saya karena meminta disebut “Yang Terhormat” oleh pimpinan KPK yang dulu itu, juga memiliki pandangan bahwa baliho itu nggak ngefek-ngefek banget untuk elektabilitas.
Beberapa bulan lalu, di siaran Kompas TV, Bung Arteria Dahlan mengatakan, “Memang bisa pakai baliho popularitas naik? Nggak! Saya ini orang politik, pakai baliho itu nggak mungkin elektabilitas naik, teori dari mana, ahli komunikasi politik dari mana?”
Konteksnya saat itu adalah, pembawa acara—yang saya lupa namanya—menyinggung masifnya baliho Puan Maharani di penjuru negeri, tetapi ternyata elektabilitas Puan malah merosot ke bawah.
Si pembawa acara berbicara bukan tanpa dasar. Ia berkaca pada temuan beberapa lembaga survei, dari Charta Politika hingga Indikator Politik. Bahwa jargon kepak sayap kebhinekaan justru jadi cengcengan bagi masyarakat bawah.
Nah, alih-alih mulai berbenah setelah mendapatkan banyak kritik, PDIP di daerah-daerah justru semakin giat dalam menyebar sampah visual baliho-baliho Puan Maharani. Saking giatnya, bahkan sampai menyasar desa-desa terdampak letusan Gunung Semeru.
Bedanya, kali ini jargon-jargon kepak sayap sudah direvisi dengan kalimat yang lebih mendayu-dayu, “Tangismu, tangisku. Ceriamu, ceriaku. Saatnya bangkit menatap masa depan.”
Rakyat lagi kena bencana malah disodori foto politisi yang terlihat tidak ikut bantuin langsung ke rakyat. Jangankan bantu, kelihatan kerja aja nggak. Kok ya tega amat itu partai atau relawan di daerah malah pasang muka baliho Puan Maharani.
Lagi bencana, pandemi, dana bansos kemarin-kemarin sukses dimaling, lah kok pede-pedenya pasang banyak wajah politisi yang lebih banyak nggak ngapa-ngapainnya ketimbang ngapainnya.
Dan ketika strategi yang sama diterapkan pada momen bencana yang berbeda kayak bencana letusan Semeru kemarin itu, ya hasilnya jelas juga akan sama; rakyat marah sekaligus geli. (Btw, beberapa baliho Puan sudah dicabutin sama Satpol PP di daerah bencana).
Akan tetapi, rakyat marah atau geli itu sebenarnya merupakan efek samping dengan maksud dan tujuan pemasangan baliho Puan Maharani di tempat bencana letusan Gunung Semeru ini. Sebab tujuan utamanya bukan itu. Bukan, sama sekali bukan buat elektabilitas.
Patokan program ini sukses bukan hanya soal sosok yang wajahnya nampang di balihonya, tapi justru dari abang-abang yang pasang balihonya.
Lho? Lho? Kok gitu?
Gini.
Saya membayangkan gini. Kalau saya jadi tukang pasang baliho Puan Maharani di Semeru itu, wah saya pasti bangga sih. Dan saya bisa merasakan, betapa bangganya abang-abang tukang pasang baliho Puan di daerah itu.
Apalagi melihat hasil “kerja kerasnya” ternyata dibicarain di mana-mana, bahkan masuk berita nasional. Blio yang pasang baliho itu bahkan tak perlu setoran di WhatsApp Group untuk laporan bahwa pekerjaannya sudah selesai, tapi “laporan” itu bahkan sudah nongol dari masyarakat sendiri.
Walau bagaimanapun juga, dalam perspektif tukang baliho, penyebaran informasi yang masif soal baliho Puan Maharani di desa terdampak Semeru itu justru bakal jadi prestasi besar buatnya. Masuk ke catatan rekor prestasinya sebagai tukang pasang baliho.
Lah iya dong, tukang baliho itu kan dibayar untuk menyebarkan informasi. Informasi bahwa ada caleg yang begini-begini. Artinya, ketika informasi itu sudah menyebar begitu luas—bahkan terlalu luas, maka tugas si tukang baliho bisa dikatakan sudah sangat-sangat sukses.
Bodo amat sama etika atau norma kesopanan. Itu hal-hal yang tak relevan kalau sudah di dunia tukang pasang baliho profesional. Sama halnya dengan masa bodohnya elektabilitas Mbak Puan merosot—justru karena balihonya yang ada di mana-mana.
Soalnya dalam politik, pondasi pertama agar mau dipilih itu bukan soal kinerja dulu, tapi seberapa sukses Anda mencuri perhatian dulu. Sopan atau mendapat citra baik adalah satu hal, tapi mencuri perhatian adalah hal lain.
Makanya itu, cukup bisa dipahami kalau ada pejabat yang tak malu-malu cari perhatian ke publik pakai cara apapun. Sebab, jadi pejabat itu memang tak perlu disukai rakyatnya, karena yang utama bagi “profesi” macam ini cuma satu: menang.
Dan “tukang baliho” pun akan semakin senang kalau calon atau parpol yang ia pasang wajahnya di mana-mana itu beneran menang. Ya iya dong, karena proyek selama lima tahun ke depan tentu bakalan aman. Kalaupun akhirnya kalah ya nggak apa-apa, orderan dari calon yang lain juga bakalan ada.
Tenang, politisi sintetis di Indonesia itu ada banyak kok, nggak bakal tulang baliho di Indonesia kehabisan stok. Nggak bakal.
BACA JUGA 3 Hal yang harus Kita Syukuri dari Baliho Puan dan tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.
Penulis : Muhammad Nanda Fauzan
Editor: Ahmad Khadafi