MOJOK.CO – Sejak tahun ‘30-an Sutan Sjahrir yang baru kembali dari Belanda dan membikin koran mingguan bersama Moh. Hatta bernama Daulat Ra’jat sudah memperingatkan realitas politik beda dengan politik secara ilmu; realitas politik itu beda dengan kehidupan di dunia kampus. Tanpa pengalaman berorganisasi yang kuat, si doktor, si master, si insinyur yang jenius bisa sangat culun dan jadi boneka mainan para politisi ulung yang sudah makan asam garam dalam pergerakan politik sejak muda usia.
Esai ini pertama kali dimuat di Daulat Ra’jat edisi 11 November 1931, Th. I, No. 6, hlm. 1—3 dengan judul “Kaoem Intellectueel dalam Doenia Politik Indonesia”.
Kaum Intelektual dalam Dunia Politik Indonesia
Oleh Sutan Sjahrir
“Seorang doktor atau master atau insiyur bisa nol besar dalam pergerakan rakyat.”
Pendidikan yang diberikan oleh suatu pemerintah negeri (staat) selamanya dimaksudkan mendidik untuk menetapkan, meneguhkan kepercayaan kepada staat tadi. Yang dididik, diberi didikan, supaya menaruh kepercayaan pemerintah itu, kebaikan, keteguhan dan ketetapan keadaan negeri. Sebaliknya ia dididik supaya membenci semua yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan keadaan sekarang.
Kita tentu mengerti ini, jika kita ingat, bahwa yang pemerintah sesuatu negeri selamanya kaum yang senang pada keadaan, didalam mana ia berkuasa itu. Di Italia anak-anak dididik buat menjadi fasis semua, di Sovyet Ruslan dididik supaya menjadi komunis, dan dilain negeri untuk meneruskan cara pemerintahannya negeri itu masing-masing, meneruskan keadaan masing-masing negeri itu.
Karena itu, yang dinamakan pendidikan liberal dimana golongan liberal atau neutral itu berkuasa, dan bermaksud meneruskan kekuasaannya kaum liberal atau kaum neutral itu, dan pendidikan itu sebenarnya tidak neutral. Tiap-tiap negeri menjadi mempunyai cara pendidikan menurut kepentingan yang memerintah. Di Italia menurut kepentingan kaum Fascist, di Sovyet-Rusland menurut kepentingan kaum komunis, di Indonesia menurut kepentingan kaum imperialis.
Di negeri kita kaum yang terpaling banyak mendapat pendidikan ialah kaum intelektual, yang karena kelebihan pendidikannya itu pergerakan rakyat lantas mempunyai pengharapan dari mereka, sedang sebaliknya karena pendidikannya itu pula ada tanda-tanda yang berlawanan dengan keperluan rakyat. Pendidikan yang ia terima sebenarnya belum lagi dapat memberi kesanggupan untuk penunjuk jalan kepada rakyat.
Kerap kali pendidikan yang ia terima mempertunjukkan ia seorang analfabeet (buta) didalam hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan dan pergerakan rakyat (perpertunjukkan ia seorang yang tidak tahu), dan kadang-kadang pendidikannya itu menjadi suatu halangan, suatu rem untuk mengetahui kepentingan itu.
Jika kita mempunyai pengharapan dari kaum yang terpelajar ini, kita harus jangan lupa, supaya pengharapan kita jangan salah atau mengelirukan kita. Bahaya ini amat besar karena kaum intelektual itu mempunyai pengaruh yang besar didalam pergerakan kita.
Seorang doktor atau master atau insinyur boleh jadi suatu nol besar didalam hal pergerakan rakyat. Jika ia tinggal diluar pergerakan tidak berapa menyusahkan. Akan tetapi jika ia menganggap diplomanya dalam pengetahuan obat, hukum, membikin jembatan dan lain-lain juga bisa memberi kekuasaan kepadanya (bevoegdheid) untuk memberi diagnose dan lain-lain, di dunia politik, ini ada berbahaya!
Soal intelektual kita ini sebenarnya ada lebih sulit pula karena kaum itu mempunyai suatu tempat yang berarti pula didalam susunan pergaulan hidup kita (sebagai maatschappelijk element). Untuk mengetahui seterang-terangnya soal kaum intelektual ini, maka kita harus mengenal tempat mereka didalam perekonomian dan kesosialan.
Tetapi didalam karangan ini saya hanya hendak mengusik soal ini dari belah pemandangan pendidikan dan pengetahuannya kaum intelektual kita itu. Dan saya menganggap ini tidak dapat lebih diterangkan berhubung dengan surat seorang intelektual tersebut dibawah ini sebagai contoh yang seterang-terangnya, bagaimana pendidikan seorang doktor Indonesia membawa buah yang memperterperanjatkan kita karena kebodohannya.
Kali ini soal Dr. Rivai yang bertentangan dengan rakyat dan kepentingannya. Dr. Rivai terkenal di medan umum Indonesia. Doctor Rivai pernah dipertunjukkan sebagai contoh kepada pemuda-pemuda Sumatera. Ia tiga kali menjadi anggota Volksraad, pernah menjadi redaktur “Bintang Timoer”: ia dianggap seorang yang pintar, yang terpelajar. Karena itu saya akan membicarakan karangannya didalam s.k. reaksioner “Vaderland” di Den Haag (30 Agustus 1931) untuk contoh bahwa kepintaran yang sedemikian dan pelajaran semacam itu tidak berfaedah dan bahwa ia disini bertentangan dengan rakyat dan kepentingannya.
Didalam caranya ia menuliskan karangannya ini kita telah dapat menetapkan pengaruh didikannya yang diterimanya. Sering kali kita membaca karangan-karangan yang serupa dengan ini didalam surat kabar reaksi dinegeri Belanda dan di Indonesia.
Bedanya dengan tulisan Dr. Rivai hanya demikian; didalam s.s.k. reaksi itu, karangan ini ditulis dengan maksud lain dari jang dibaca didalam s.k. itu. Orang yang menulis tahu benar, bahwa apa yang dituliskan bukan buah ilmu pengetahuannya (wetenschap), ia acap kali tahu bahwa ia membohong. Biarpun pendapatan ilmu membuktikan lain, ia sengaja tidak memakai pendapatan itu dan membohong untuk menciptakan maksudnya.
Perbuatan semacam ini dinamakan di Eropa; demagogie dalam makna yang busuk, yaitu mempasang rakyat dimuka kereta untuk mencapaikan kepentingannya sendiri. Buat mencapaikan maksud yang demikian surat Dr. Rivai itu dikuti oleh suat kabar “Vaderland” itu.
“Bestaat het Indonesisch Nationalisme?” atau “Adakah nasionalisme Indonesia itu?” demikianlah doctor itu memulai dengan pemeriksaannya.
“Ik ben vijf jaren dokter op Sumatra’s Estkust geweest en eenige jaren te Surabaya, Bandung dan Semarang. Ik ben drie maal lid van den Voksraad geweest en ontving in de laatste vijf jaren geregeld Inlandsche bladen, dic ik altijd met aandacht las. Als ik dan darbij verklaar, dat ik geregeld brieven uit alle deelen van den Archipel outving (ik ben tot voor korten tijd medewerker van de “Bintang Timoer” geweest0, dan mag ik mij zeker eenige bevoegdheid toekennen om de bevenstaaude vrang te beantwoorden”.
Artinya: “Saya bekerja sebagai dokter lima tahun di Sumatera Barat, beberapa tahun di Surabaya, Bandung dan Semarang. Saya tiga kali menjadi anggota Volksraad, saya menerima tetap surat-surat dari mana-mana di Indonesia (saya sampai belum lama diakhir ini menjadi pembantu “Bintang Timoer” dan karena itu saya menganggap saya ada sedikit berkuasa untuk menjawab pertanyaan di atas itu?”
Apakah yang dikemukakan oleh doctor ini cukup untuk memberi kekuasaan baginya, lebih pula kesanggupan untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakannya sendiri itu? Tidak sekali-kali.
Pengalaman sebagai dokter lima tahun di Sumatera Barat dan lain-lain tidak menyatakan bahwa dokter ini mempunyai pengetahuannya tentang nasionalisme. Apa yang dimaksudkannya, jika ia menanya: adalah nasionalisme Indonesia. Ya, jika ia menganggap pengalaman yang disebutnya diatas zondermeer cukup untuk membicarakan faham nasionalisme, satu paham yang tidak tetap dan mempunyai bermacam-macam teori, kita terpaksa menduga, bahwa ia tidak tahu apa nasionalisme itu, menjadi tidak tahu apa yang dibicarakannya. Dan mengerti macam-macam kegoblokan kaum kita yang “terpelajar” itu.
Doktor tersebut meneruskan suratnya:
“Wat wel bestaad is het Javaansche nationalism. Het karakteristike van het Javaansche nationalismeis dal het van de Indonesia van de Buitengewesten nicts wil weten. Di is herhaaldelijk gebleken”.
Artinya: “Yang ada ialah Nasionalisme jawa yang terutama tidak mau tahu orang yang dating dari seberang. Ini selalu mendapat kenyataan”.
Pendapatan kita tentang apa yang dikatakan oleh dokter ini tentang nasionalisme sudah kita berikan diatas. Kita disini akan membicarakan dan mempertunjukkan pengalaman dokter ini dalam percampurannya di Jawa dan Sumatera, yang menjadi alasan ia menuliskan kata-kata di atas.
Di sini kita dapat menerima bahwa yang dimaksudkannya ialah exclusief provincialism (provincialism sempit) dari beberapa orang kenalannya. Apakah berharga pengalaman demikian bari rakyat Indonesia?
Tidak sebagi yang dipikir oleh tuan doktor ini. Buat rakyat Indonesia pengalaman ini bukan barang asing lagi. Memang di dalam Volksraad, didalam golongan menak-menak dan sebagian dari kaum intelektual acap kali orang menjumpai exclusief provincialisme ini.
Kita pun tahu bahwa ini ada, dan kita mengerti kenapa exclusief provincialism ada. Ini memang sepadan dengan dunia feodal, didalam mana menak-menak dan satu kaum dengan ia mempertahankan kepentingannya sebagai kaum, yang masing-masing besar dan berkuasa didalam ressornya (provinsinya).
Buat rakyat Kromo dan Marhaen exclusief provincialism itu tidak pantas, dan karena itu juga di dalam pergerakan rakyat kromo dan marhaen, sebagai dalam PNI dan lain-lain demikian itu tidak ada. Kita sendiri tidak pernah berjumpa exclusief provincialism itu selama kita bercampur dan bekerja dengan saudara-saudara di Priangan. Soekarto datang dari Surabaya akan tetapi PNI di Pasundan yang terpaling popular dan lain-lain.
Dengarlah idenya doctor ini sebagai seorang pemimpin. Kita tidak akan kutipkan hal-hal yang dibicarakannya, yang dimaksudkan sebagai bukti dari penjawabannya, bahwa nasionalisme Indonesia tidak ada.
Cukup jika kita berikan, bahwa ia memberi contoh Haji Salim dan Moeis yang sepanjang pendapatnya diperangi oleh kaum Jawa, karena ia orang dari seberang. Kita dapat menyebut berpuluh-puluh nama yang lain, yang tidak diperangi oleh “kaum nasionalis Jawa” itu, tetapi demikian itu tidak berarti apa-apa.
Kita tahu dan mengerti bahwa doktor ini adalah seorang dari kaum exclusief provincialisten yang diatas sudah kita potretkan. Ini juga ternyata didalam caranya memberi bukti-bukti itu.
Tetapi sekarang lebih berfaedah didengar ideal doktor ini sebagai pemimpin: “Abdul Moeis was een volksleider van groote heteekenis. Hij was een schitterend redenaar, slagvaardig en gevat”. Artinya: “Abdoel Moeis adalah seorang pemimpin yang besar. Ia pintar berpidato, pintar berdebat”.
Dua hal tersebut bagi dokter ini cukup guna menamakan orang suatu pemimpin besar. Adakah doktor ini mengerti apakah pekerjaan dan penanggungan seorang pemimpin itu? Yang terutama perlu untuk pemimpin tidak sekali-kali pandai bicara atau berdebat (Gandhi, Lenin dan beratus pemimpin yang besar bukan orang yang terpaling berpidato atau berdebat).
Jangan membikin besar seorang pemimpin, ialah keteguhannya, kepercayaannya kepada maksud pergerakan yang dipimpinnya, pengabdiannya kepada pergerakan itu dengan tetap, tulus, dan keras kemauan. Penanggungan seorang pemimpin ialah mempertunjukkan jalan kepada beribu-ribu kemanusiaan lain.
Baca Juga: Esai Mohammad Hatta tentang Papua Berhak Menjadi Bangsa Merdeka
Apakah tuan doktor ini mengingat itu, waktu ia menulis kata-kata ini? Apakah tuan dokter sendiri ada merasa penanggungan, ketika ia menuliskan karangan demikian itu? Ini semua tidak diajarkan oleh pendidikan yang diterimanya.
Terus tuan doktor menanamkan Perhimpunan Indonesia dinegeri Belanda sebuah Javaansche nationalistische Vereeniging. Ia menulis:
“In het “Vaderland” van 19 Augustus yang lalu las ik, dat Mohammad Hatta (Sumatraan), die gedurende zijn studictijd veel tijd an werkzaamheden voor de Perhimpunan Indonesia, de Javaansche Nationalistische Vereeniging in Holland bested heft, in conflict is gekomen met de partij van zijn boezemvriend Mr. Sartono.”
Artinya: “Saya membaca didalam surat kabar “Vaderland” bahwa Mohammad Hatta (orang Sumatera) yang dahulu waktu ia belajar bekerja untuk Perhimpunan Indonesia (perhimpunan nasionalis Jawa) sekarang mengadakan perselisihan dengan sobat kerasnya dahulu, Mr. Sartono.
Berhubung dengan ini tuan doktor memberi penajaman yang sedemikian:
“Mohammad Hatta zal binnenkort naar Ned-Indie teruggaan. In zijn eigen land is er geen plaats, voor een politiek doet zooals op Java”.
Artinya: “Mohammad Hatta akan pulang ke Ned-Indie. Dinegerinya Sumatera Barat, tidak ada tempat untuk pemimpin politik, karena orang disini tidak berpolitik sebagai di Jawa”.
***
Penulis: Sutan Sjahrir
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Ketika Kartini Curhat Soal Miras Pada Sahabatnya di rubrik ESAI.