MOJOK.CO – Esai, “Sesal Pedih Seorang Sarjana” tulisan A.R Baswedan ini pertama kali disajikan di depan peserta seminar sarjana hukum yang diselenggarakan Lembaga Pembina Hukum Nasional di Jakarta. Dipublikasikan Gema Islam edisi 1 April 1963, No. 29, Thn. 2, hlm. 6—7.
Tahun 1934, Abdurrahman Baswedan atau lebih dikenal dengan A.R Baswedan membuat heboh orang-orang keturunan Arab di Hindia Belanda. Dalam sebuah artikel di Harian Matahari yang terbit 1 Agustus di tahun itu ia menulis “Peranakan Arab dan Totoknya”. Sebuah tulisan yang mengajak orang-orang keturunan Arab untuk menganut ius soli, yang artinya di mana mereka lahir, di situlah tanah air mereka.
Ia berhasil mengumpulkan pemuda-pemuda keturunan Arab untuk mengucapkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang pada Oktober 1934 setelah mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI). Sosoknya dikenal sebagai jurnalis, nasionalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan juga sastrawan Indonesia. A.R Baswedan adalah kakek dari Anies Baswedan dan Novel Baswedan.
Sesal Pedih Seorang Sarjana
Oleh A.R. Baswedan
Belum lama, masyarakat Mesir, terutama kalangan sarjananya, telah menangisi wafatnya seorang mahaguru kenamaan, yang sejak masa mudanya terkenal dengan keberaniannya membentangkan pendapatnya dan karena akhlaknya yang tinggi!
Akhaknya, karakternya, yang tinggi dan kuat itulah terutama yang menyebabkan para sarjana Angkatan Lama dan para sarjana Angkatan Muda sangat menyeganinya dan amat mencintai!
Tatkala penulis pada tahun 1947 melawat ke Mesir, sebagai anggota Misi Diplomatik RI, untuk memperjuangkan pengakuan negara-negara Arab atas kedaulatan RI yang dipimpin oleh marhum Haji Agoes Salim, penulis beruntung mendapat kesempatan beramah-tamah dengan almarhum sarjana tadi, dalam satu pertemuan yang diselenggarakan oleh Himpunan Pemuda Islam (Sjubbanul-Muslimin) bagi misi kami. Sarjana itu adalah Ketua-Kehormatannya!
Memperhatikan gerak-geriknya, sikapnya, terutama mengikuti percakapan dan uraian-uraiannya tepat benar orang memberi julukan baginya: Ahli filsafat yang filosof”…!!!
Bertanya penulis pada seorang mahasiswa yang hadir dalam pertemuan tadi, kenapa sarjana itu diberi julukan demikian? Bukankah dengan sendirinya seorang ahli-filsafat itu adalah seorang fislof?
Maka jawab mahasiswa tadi dengan manggut-manggut seraya tersenyum: Tuan tahu, banyak ahli-filsafat mahaguru yang mungkin lebih luas dan lebih dalam ilmunya dalam filsafat, namun mereka itu bukan filosof dalam kehidupan dan sikap-hidupnya! Filsafat hanya hidup dalam kepalanya, tapi mati dalam hatinya! Seperti juga banyak ahli-hukum yang tidak mencerminkan ilmunya dalam kehidupan dan sikap-hidupnya! Dalam teori ulung, namun dalam kehidupan privenya dan kemasyarakatan megap-megap.
Ketika itu saya belum lagi mengetahui riwayat hidup maha guru filsafat tadi. Meskipun sajak lama sudah saya kenali buah karyanya sebagai sastrawan, dari buku dan karangan-karangannya yang termuat dalam majalah yang terbit di Cairo! Almarhum itu ialah Prof. Dr MANSUR FAHMY, mahaguru pada Universitas Cairo!
Namun, setelah dia wafat baru-baru ini, dan berceritalah kawan-kawan dan sahabatnya tentang dia, mengertilah saya, apa gerangan yang menyebabkan almarhum itu sejak mudanya terkenal! Dia terkenal karena selain keberaniannya membentangkan pendapatnya yang bertentangan dengan pendapat umum, menggegerkan masyarakat, juga terkenal dengan keberaniannya kembali surat surut secara kesatria mengubah pendapatnya dan mengakui kesalahannya, setelah disadarinya ia telah melakukan suatu kesalahan dibidang ilmiah, dan menemui kebenaran yang dicarinya dan menjadi tujuan dari tiap-tiap sarjana!
Memang dia berwatak demikian! Coba pembaca ikuti sendiri sekelumit dari salah satu karya-sastranya yang ditulisnya pada tahun 1925 dibawah ini, untuk saudara menarik kesimpulan sendiri tentang cara berpikir dan pribadinya; berjudul: Satu rona dari si munafik”!:
“… bermain senyum dibibirnya bersinar cahaya diwajahnya, namun dalam hati warna gelap dan dari lubuknya mengalir racun-racun seperti berpikir seperti terkeluar dari mulut ular…
Dia pandai melayani semua pihak dan membagi-bagi kesetiaannya! Lain dimulut lain di hati!
Si munafik memang menjalani hidup ini sepanjang umur dengan tak sadar, bahwa dia dengan sikap kemunafikannya itu sesungguhnya menghukum dirinya dengan hukuman-mati! Sebab, pribadinya yang sebenarnya, wataknya yang asli seringkali bersembunyi! Memuji padahal dalam hati menista! Mengumpat padahal mencintai!
Mungkin ada ahli ilmu jiwa dan ahli-ahli kemasyarakatan yang berkata: kehidupan bermasyarakat kadang-kadang memaksa orang dalam banyak peristiwa untuk menyesuaikan diri dan melepaskan beberapa segi dari kepribadiannya! Tapi orang lupa, bahwa manusia sebenarnya tidak boleh puas dengan mau menerima apa yang ada dan sedang berlalu! Melainkan wajib dia memandang kepada hidup ini bagaimana mestinya!
Sesungguhnya, hidup seseorang adalah kepribadiannya, perasaan-perasaannya, dan tingkat-tingkat kegiatannya. Hidup manusia adalah suatu tujuan sendiri! Mengapa gerangan orang memalui kemauannya yang sesuai dengan watak dan kepribadiannya lalu mengambil sikap yang bertentangan?”
Begitu dia menganalisis jiwa munafik pada masa mudanya, tatkala dalam masyarakat Mesir bertemu banyak pribadi-pribadi beredar dipasar-hidup dengan kepalsuan! Maka mencetuslah buah penanya tadi!
Kemudian terjadi suatu peristiwa dalam hidupnya sendiri, yang hidupnya sebagai sarjana, tatkala dia balik kembali dari perlawatannya ke Perancis, dimana dia telah menyelesaikan studinya di Universitas Sorbonne, Paris, dengan menggondol gelar doktor dalam filsafat, thesisnya tentang “Kedudukan Wanita dalam Islam”!
Kesimpulan thesisnya itu ternyata telah mendahului pulangnya ke Cairo, termuat dalam surat-surat kabar, dan gemparlah masyarakat Mesir, terutama kalangan ahli agama Islam yang menyerang thesisnya itu. Sebab Doktor Mansur Fahmy dengan thesisnya itu mau membuktikan betaap buruknya pandangan Islam terhadap wanita, bahkan sampai-sampai juga berisi cerita-cerita yang merupakan ejekan dan cemooh terhadap Nabi Muhammad s.a.w.! Maka dia mengajak berkiblat ke Barat.
Sebagai suatu pembahasan ilmiah dia tentu mengemukakan dalil-dalil dan sumber-sumber darimana ia menggali keterangan-keterangan untuk mengemukakan pendapat dan analisisnya! Dan sebagai sarjana yang masih muda dan sedang bangga dengan gelar ilmiahnya serta yakin akan “kebenaran” pembahasannya, ia pun melayani segala kritik dan terjunlah dia dalam polemik yang panas dengan banyak para pudjangga dan ulama Mesir!
Pergulatan pena dalam surat kabar akhirnya membawa dia berkenalan dari dekat dengan beberapa ulama, yang akhirnya membawa dia berhadapan muka dengan Sjechul-Al-Azhar, (Rektor) Sjech Hasunah Annawawi! Sjech ini terkenal dengan pembawanya yang memaksa orang menghormat dan menyeganinya, karena dadanya yang lebar dan penuh toleransi!
Selanjutnya cobalah pembaca ikuti apa yang pernah ditulis oleh Doktor M. Fahmy itu sendiri tentang pertemuannya dengan Sjech tersebut; (yang ditulisnya pada akhir hajatnya):
“Bertanya Sjech yang tenang itu pada saya: Kaukah yang menulis tentang kedudukan wanita dalam Islam sampai-sampai dituduh orang mengingkari agama?
Saya jawab: ya!, Maka bertanya selanjutnya Sjech itu pada saya: Pernahkah kau membaca kitab suci Al-Qur’an dan kitab-Hadis Albuchari? Kalau belum, bacalah!
“Begitulah lalu kupendam diriku dengan kitab-kitab tadi beri’tikaf dengan dia mengajinya! Aku baca dan baca. Maka terasa heran benar, bagaimana bodohku sampai tak mempelajari kitab-kitab itu, sebagai sumber agama dan sejarahnya! Yang penuh dengan hikmah, ajaran dan filsafat yang mengatasi segala hikmah, ajaran dan filsafat manusia yang manapun jua. Dan bahwa ilham Tuhan memang mencurah dari tiap-tiap hadis yang kubaca dalam Albuchari. Maka tak ada jalan lain bagiku daripada bersaksikan: bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulnya!
Demikian itulah pengakuan almarhum Prof. Dr Mansur Fahmy, setelah menggali sendiri dari sumber pokok Islam, dan bertemulah dia dengan kebenaran! Selanjutnya ia lalu tampil dengan penanya dalam ssk dan majalah-majalah, maupun dengan lesannya sebagai mahaguru, menulis dan memberi kuliah tentang kedudukan wanita dalam Islam, tentang keagungan hukum-hukum Islam, dengan pendirian dan pandangan yang 180o sebaliknya dari apa yang ia tuangkan dalam tesisnya semula dan dulu dibelanya mati-matian! Dia berubah menjadi seorang pembela kebenaran dan keagungan Islam sampai akhir hajatnya!
Dan apa kata seorang sahabatnya, yang menulis tentang peristiwa tersebut. Sesudah wafatnya almarhum Prof. M. Fahmy itu? Ia menulis antara lain:
“Memang almarhum telah melakukan sesuatu kesalahan besar sebagai sarjana, dalam karya ilmiahnya yang pertama! Tapi dia sebenarnya telah jadi korban promotornya, seorang orientalis mahagurunya, yang diantara para orientalisten memang terkenal dengan pembahasan-pembahasannya yang bertenden anti-Islam dan amat subjektif! Mahaguru inilah yang membimbingnya dalam membuat thesisnya. Dan dengan petunjuk-petunjuk menggali bahan-bahan thesisnya itu dari kitab-kitab yang penuh dengan keterangan-keterangan yang tidak sah dan kabur, terutama dibidang ilmu-hadis! Ia telah menerima segala cerita akbar itu dengan tidak membuat penyelidikan lebih jauh, melainkan diterimanya begitu saja, karena memang bertemu cerita akbar demikian dalam beberapa kitab! Kesalahannya yang lebih besar sebagai sarjana ialah bahwa dia tidak kembali kepada SUMBER ISLAM YANG UTAMA DAN ASLI, yaitu AL-QUR’AN dan Kitab Hadis yang sahih!
Maka setelah almarhum kembali kesumber utama tadi, menuruti nasehat Sjech Al-Azhar, dan yang demikian itu adalah justru tuntutan tanggungjawab seorang sarjana, bertemulah dia dengan kebenaran yang mantab pikiran dan hatinya! Kebenaran yang menjadi tujuan tiap-tiap sarjana, dan dengan demikian ia telah berbuatlah apa yang mestinya diperbuat oleh seorang sarjana, yang katanya mau berlaku secara ilmiah…”
Salah seorang pujangga Mesir yang kenamaan pada zaman mudanya almarhum itu adalah Muhammad Faried Wudjdi, pengarang Ensiclopedia-Islam (Dairatul-Maarif-Al-Islamijah). Dia ini sebelum thesisnya Dr M. Fahmy terbit, jauh sebelum, telah mengarang sebuah buku tentang WANITA ISLAM. Buku ini rupanya belum pernah dibaca oleh Prof. Fahmy sebelum thesisnya tadi. Maka setelah dia mengubah pendiriannya, dan pembela kedudukan wanita yang amat dimulyakan oleh Islam, terutama jika dibanding dengan zaman jahiliyah, bahkan dinegeri-negeri Barat sendiri, almarhum lalu mengutip dari buku Farid Wudjdi tadi, yang terhitung salah seorang yang ditentangnya dalam berpolemik sepulangnya dulu dari Paris!
Itulah peristiwa penting dalam riwayat hidup almarhum Dr Mansur Fahmy, yang kemudian sesudah dia kembali surut dari pandangannya yang salah, sehingga akhirnya dia merupakan salah satu kokoh Islam di Mesir dan menjadi Ketua-Kehormatan Himpunan Pemuda Islam (Sjubbanul-Musliman)!
Seorang sastrawan menulis tentang peristiwa tadi sesudah wafatnya almarhum sebagai berikut: “Almarhum pulang kerahmatullah tentunya dengan puas hati, karena dia telah memenuhi kebenaran dan hak, dan telah berani pula mengakui kesalahannya berpikir! Ia akan menghadap Tuhan dengan wajah berseri-seri dan Tuhan akan mencabutnya dengan penuh kasih sayang! Namun orang tidak tahu, betapa gerangan dia telah menderita batin sepanjang hidupnya, sesal pedih yang mengiris-iris hatinya dan tak pernah kunjung padam, setiap kali dia teringat akan kecerobohan ilmiahnya! Meskipun dengan kecerobohannya itu dia telah membuka lembaran hidupnya sebagai sarjana yang bergelar doktor dari Sarbonne yang termashur…”
Sesal pedih seorang sarjana…
Dan kata pepatah Indonesia: Sesal kemudian tidak berguna!
Penulis: A.R. Baswedan
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA KH Saifuddin Zuhri: Penyebaran Agama adalah Tugas Nasional Rubrik ESAI.