MOJOK.CO – Banyak orang menganggap Jembatan Suramadu sebagai salah satu sumber masalah bagi warga Madura dan Pulau Jawa. Benarkah begitu?
Beberapa waktu yang lalu, akun Instagram @ini_surabaya mengutip sebuah berita tentang Jembatan Suramadu. Sebuah berita yang membuat saya berpikir keras.
Jadi, akun Instagram @ini_surabaya mengutip berita dari Radar Surabaya. Judul beritanya seperti ini:
“Warga Plat L Resah Desak Suramadu Dirobohkan, Ini Respon Pemkot Surabaya”
Bagi saya, unggahan ini seolah menjadi sebuah pengingat dari masa lalu. Ketika itu, almaghfurlah KH. Kholil AG, kakak dari almaghfurlah Ra Lilur, berdiri di garda terdepan melalui Basra. Beliau “mengkritisi” pembangunan Jembatan Suramadu.
Ada sebuah kutipan dari beliau yang melegenda. Bunyinya begini: “Membangun Madura, bukan membangun di Madura.”
Kutipan tersebut mengingatkan saya akan hal serupa di tahun 1995. Tentang sebuah kejadian di Tanah Mandar, tanah Imam Lapeo, salah satu murid Syaikhona Kholil, di mana salah satu “ibunda” D. Zawawi Imron, Bunda Cammana, hidup dalam salawat Nabi tiada henti.
Ketika itu, Cak Nun muda mengingatkan 2 suku di Mandar tentang sebuah rencana pembangunan jembatan di Sungai Mandar. Cak Nun berkata, “Jembatan itu akan memudahkan kalian mengakses kehidupan ke Kota Majene hingga Makassar. Tapi, jembatan itu juga akan memudahkan para penjajah masuk ke Tinambung. Kalian perlu berpikir akan mengambil sikap bagaimana agar jembatan itu bermanfaat bagi hidup kalian, tidak menghantarkan bahaya dan celaka bagi bangsa Mandar yang luar biasa ini.”
Antara Jembatan Suramadu dan Jembatan Mandar menggambarkan suatu hal dengan telak. Bahwa kita memang belajar tentang sejarah, tapi tidak mengambil pelajaran dari sejarah. Kita hanya mengambil kesalahan yang sama.
Menemukan kembali akar masalah Madura dan Jembatan Suramadu
Ada sebuah kenyataan di sini. Kita bisa melihatnya dari unggahan akun Instagram @ini_surabaya. Bahwa ada insiden, yang mengkonfirmasi stereotipe negatif terhadap suku Madura dan Jembatan Suramadu. Misalnya di kasus pencurian, kekerasan, hingga konflik sosial.
Padahal, pengalaman tersebut tidak bisa menjadi acuan untuk menggeneralisir keseluruhan identitas budaya Madura. Kita harus memahami setiap insiden dalam konteks yang lebih luas. Misalnya dengan mempertimbangkan kondisi struktural, sejarah, dan dinamika sosial di belakangnya. Yang terkini, Wakil Gubernur Jawa Timur, menerima audiensi beberapa anak muda yang prihatin dengan masalah ini.
Upaya mengatasi permasalahan horizontal ini tidak akan pernah tuntas tanpa mengidentifikasi akar masalah. Misalnya seperti urbanisasi, kurangnya kesempatan ekonomi, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), atau minimnya investasi infrastruktur lokal.
Nah, dengan mengidentifikasi akar masalah, upaya pemberdayaan dan pembangunan inklusif di Madura akan bersifat aplikatif dan terukur. Ini menajadi tema yang “panas” di panggung kontestasi kepala daerah Jawa Timur.
Keprihatinan yang terjadi di dalam internal Madura
Kita sama-sama mengenal masyarakat Madura sebagai manusia yang tangguh dan mandiri. Kuntowijoyo menjelaskan ciri tersebut dengan baik. Dia menuliskannya lewat sebuah disertasi yang berjudul “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940”
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa kondisi ekosistem tegal yang keras telah membentuk pola adaptasi yang unik. Akibatnya, tercipta karakter mandiri dan resilient (Kuntowijoyo, 2010).
Namun, ada keterbatasan yang berpotensi menghambat potensi tersebut. Khususnya ada 2, yaitu keterbatasan sumber daya dan kurangnya investasi pada sektor pendidikan serta pelatihan keterampilan di Madura.
Akibatnya, banyak penduduk Madura memilih migrasi ke kota besar seperti Surabaya. Ini secara tidak langsung menguatkan narasi negatif tentang “ketidakmampuan” untuk berkembang di daerah asal.
Latief Wiyata menyampaikan sebuah pendapat yang menarik. Dia menuliskannya lewat sebuah kajian yang berjudul, “Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura”.
Dia mengungkap bahwa sebetulnya, carok adalah cerminan nilai harga diri dan kehormatan dalam budaya Madura (Latief Wiyata, 2015). Masalahnya, banyak orang memandang carok hanya sebatas simbol kekerasan.
Hal ini menunjukkan bahwa akar permasalahan bukan pada sifat budaya, melainkan pada sistem pendukung pembangunan yang belum optimal. Tantangan utama yang dihadapi adalah memanfaatkan potensi budaya dan Sumber Daya Manusia secara maksimal.
Tidak bisa mengabaikan peran media
Peran media juga tidak bisa diabaikan. Platform seperti Twitter dan TikTok sering kali menonjolkan konten-konten sensasional yang memperkuat stereotip negatif. Sebuah studi bertajuk “TikTok, Identitas Sosial dan Stereotip Negatif Etnik Madura di Kalangan Gen-Z” menunjukkan bahwa algoritma media sosial cenderung mempopulerkan narasi yang memecah belah (SOSIOGLOBAL, 2024). Unggahan Instagram di awal tulisan ini contohnya.
Kalau menelisik lebih dalam, teori-teori sosial seperti teori Konflik, Identitas Sosial, Labelling, atau Sentral-Periferal akan sangat berguna mengungkap yang tersembunyi di bawah pucuk gunung es dari stereotip negatif ini.
Pendekatan aplikatif terukur menuju pemberdayaan dan pembangunan inklusif
Pemberdayaan dan pembangunan inklusif di Madura harus aplikatif dan terukur. Tujuannya supaya dampaknya terasa langsung oleh masyarakat. Salah satu langkah awal adalah pengembangan Sumber Daya Manusia menjadi lebih kompetitif.
Upaya ini bisa mencakup pelatihan vokasional dan program pendidikan keterampilan. Kita bisa merancangnya sesuai kebutuhan pasar kerja lokal. Termasuk di bidang agrikultur, akuakultur, produk ekspresi budaya, maupun teknologi informasi.
Upaya pengembangan SDM ini wajib dan mutlak harus paralel dan berbarengan dengan penciptaan ekosistem lapangan kerjanya. Hal ini berarti terciptanya peluang kerja baru dan mengurangi arus urbanisasi.
Jembatan Suramadu, sebagai gerbang konektivitas antara Madura dan Jawa, idealnya tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur transportasi semata. Ia juga bisa menjadi simbol dan pemicu pembangunan ekonomi.
Pemerintah, sependek pengetahuan saya, telah memiliki rencana dan kerangka kerja untuk hal ini. Namun, belum terlihat ada kemajuan yang berarti dalam terbatasnya waktu yang kian mendesak.
Mari mendorong kemajuan Madura
Selaras dengan perkembangan zaman, penguatan kecerdasan dan kapasitas digital serta literasi teknologi juga memegang peranan penting. Khususnya dalam usaha mendorong kemajuan di Madura.
Penguatan sektor teknologi digital ini akan membantu masyarakat mengembangkan keterampilan. Khusus demi kapabel berpartisipasi dalam ekonomi berbasis teknologi.
Nah, di sisi lain, kemampuan ini akan lebih mampu menyambungkan masyarakat di Madura dengan diaspora yang memiliki bidang keahlian di luar pulau garam ini. Sebagai sebuah pulau yang rentan akibat dampak dari perubahan iklim, Madura semestinya bisa menjadi laboratorium bagi pembangunan kota pesisir yang Tangguh (resilient shoreline citie).
Demi mencapai tujuan itu, harus ada kolaborasi. Khususnya pemerintah, sektor swasta, kalangan akademisi, institusi keagamaan, dan unsur kebudayaan. Semuanya demi memastikan keberlanjutan dan efektivitas berbagai upaya.
Forum dialog yang mempertemukan para pemangku kepentingan, mulai dari pejabat pemerintahan daerah hingga pelaku industri serta peneliti, dapat menjadi wadah penentuan perencanaan strategis sekaligus evaluasi program. Dukungan pendanaan dan kebijakan insentif pajak untuk investor maupun UMKM di Madura juga akan membantu memacu pertumbuhan ekonomi lokal dan menciptakan iklim usaha yang konstruktif.
Ini akan bagus untuk konsep dan citra Jembatan Suramadu. Ia akan menjadi “jembatan” pendekatan yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, pemanfaatan infrastruktur, peningkatan kecerdasan dan penguasaan teknologi digita.
Bisa juga menjadi “jalan” kolaborasi lintas sektor. Misalnya untuk mengatasi persoalan utama, seperti keterbatasan SDM, infrastruktur yang belum optimal, dan minimnya dukungan ekonomi lokal.
Apabila langkah-langkah ini terlaksana dengan baik, kelak, kita bisa menekan arus migrasi penduduk Madura ke luar pulau lewat Jembatan Suramadu. Sehingga, potensi daerah benar-benar mampu berkembang secara mandiri dan produktif.
Maka, ke depannya, ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan akan tercipta. Setiap individu dapat memaksimalkan potensi dan berkontribusi bagi kemajuan bersama.
Jembatan Suramadu adalah mahakarya anak bangsa
Jangan salah. Meskipun banyak yang mempertanyakan manfaat pembangunan Jembatan Suramadu, ia adalah sebuah mahakarya anak bangsa. Jembatan ini adalah salah satu pencapaian insinyur-insinyur Teknik Sipil kita yang pelaksanaannya dikomandoi oleh almarhum Hermanto Dardak, ayah dari wakil gubernur Jawa Timur saat ini.
Ia adalah jembatan bentang panjang berpenopang kabel (long-span cable-stayed bridge) terpanjang pertama di Indonesia. Sudah selayaknya pencapaian ini menghadirkan nilai kebermanfaatan yang berkah.
Jembatan Suramadu memang sudah roboh! Baik denotatif maupun konotatif. Eksplisit maupun implisit.
Jamaknya jembatan, ia dibangun dengan melintang (roboh), bukan meninggi atau berdiri. Namun, ia juga “roboh”, ketika keberadaannya tidak sepenuhnya menghadirkan distribusi kesejahteraan yang berkeadilan, apalagi sebaliknya. Kehadirannya seolah mengafirmasi stereotip negatif yang marak belakangan ini.
Penulis: M. Hasanudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Membantah Klaim Jembatan Suramadu sebagai Biang Kerok Berbagai Masalah di Surabaya dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.