MOJOK.CO – Pendukung Presiden Jokowi garis bucin seolah lupa, gerakan tolak UU Cipta Kerja muncul secara genuine. Walau yang ikut-ikutan sih ada juga.
Beberapa pendukung Jokowi (yang bucin garis keras tentunya) dalam beberapa hari terakhir ini mempercayai bahwa aksi massa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah bagian dari plot menjatuhkan presiden junjungan mereka.
Terutama ketika kelompok yang sejak awal memang sudah tidak suka dengan Jokowi ikut-ikutan latah gelar demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Saya sebut saja langsung beberapa di antara mereka. Dari kelompok 212, FPI, sampai KAMI.
Nah, karena kelompok ini ujug-ujug ikut demonstrasi, pendukung Jokowi tiba-tiba mengecap semua pihak yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja jadi satu kelompok yang sama. Kelompok yang bertujuan ingin menjatuhkan Presiden Jokowi.
Sebuah pandangan sembrono yang terlalu menggenalisir.
Pendukung Jokowi garis keras seolah lupa, gerakan menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja itu pada mulanya muncul secara genuine. Ia lahir dan bergerak dari keresahan masyarakat bawah dulu.
Bahkan, saya cukup yakin justru banyak pemilih Jokowi pada periode kedua yang ikut menyuarakan keberatannya. Baik di jalanan maupun di media sosial.
Iya, iya, saya ngaku. Saya salah satunya. Puas kamu? Puas?
Jika stigma generalisasi penolak Omnibus Law UU Cipta Kerja ini dilakukan dua tahun lalu (atau enam tahun lalu) bisa saja opini tersebut bisa cukup dipercaya masyarakat.
Akan tetapi jika dilakukan sekarang, hasilnya bakal beda. Seperti generalisir yang kelewat dipaksakan, tak realistis, bahkan bikin perut mual.
Yang pertama, tentu saja gerakan menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja ini memang menjadi kanal luapan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan Pemerintahan Jokowi sendiri yang lambat laun mulai tak berpihak ke masyarakat bawah.
Bahkan ide UU ini saja sudah bermasalah. Model perundangan seperti Omnibus Law ini hanya dikenal dengan negara-negara yang menganut sistem Common Law seperti Amerika Serikat dan Filipina. Sedangkan Indonesia adalah negara yang menganut sistem Civil Law.
Ini belum dengan pembahasan yang dilakukan secara maraton dalam waktu tujuh bulan di hotel mewah yang minim melibatkan partisipasi publik. Langkah-langkah pemerintah dan wakil rakyat dalam pembahasan UU yang serba ditutup ini memang mengundang banyak tanya.
Ini belum memasukkan kontroversi saat pengesahan, yang dimajukan mendadak pada 5 Oktober 2020, artinya maju tiga hari dari jadwal yang ditetapkan, dan drama tiga versi draf pasca-pengesahan.
Bahkan bukan hanya sekedar membenahi typo dan merapikan margin kanan-kiri. Meminjam bahasa Direktur YLBHI Asfinawati, ada perubahan signifikan makna pada sejumlah pasal. Perubahan yang terjadi bahkan setelah disahkan.
Edan! Ini undang-undang atau draf skripsi mahasiswa memangnya?
Poin utamanya, lewat UU ini negara sudah memberikan karpet merah kepada para investor untuk mengeruk kekayaan alam tanpa perlu repot-repot memikirkan dampak lingkungan.
Sebagai penambah daya tarik, Pemerintah juga seolah berkata: “Nih, kami punya tenaga kerja murah dan tak banyak rewel. Kalau rewel, kuberi Anda pegangan UU ini ea~.”
Namun, yang paling membuat masyarakat geram, terutama para Jokower seperti saya, adalah respons Pemerintah terhadap suara protes rakyatnya. Alih-alih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat, Jokowi malah langsung berpidato tegas melalui kanal YouTube Setneg.
Jokowi menegaskan bahwa dirinya firm terhadap UU yang dulu kerap dipelesetkan sebagai UU Cilaka itu. Bahkan, Jokowi balik menuding bahwa aksi massa yang marak itu bisa terjadi karena masyarakat termakan hoaks.
Hoaks? Halo Pak Jokowi, halo? Halo?
Pak, apa Bapak ndak tahu kalau semua analisis pakar dan masyarakat terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja itu sumbernya dari draf yang didonlot dari situs Pemerintah sendiri? Artinya, kalau memang draf itu ada banyak versinya, lantas sebenarnya siapa yang bikin hoaks di sini?
Celakanya lagi, ini diperparah dengan terjadinya sejumlah penangkapan warga karena menyebarkan meme tentang keburukan dan kekurangan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Nah, ini hal yang makin memicu masyarakat marah.
Bagaimana bisa, draf yang disahkan wakil rakyat saja belum jelas yang mana, tapi bisa menyatakan seseorang menyebar hoaks?
Hal ini setidaknya, membuat sebagian Jokower garis paling keras pun (yang tidak bucin) ramai-ramai berpaling.
Akhmad Sahal, misalnya, berkicau di akun Twitternya soal kekecewaan ini. Kandidat doktor di Universitas Pennsylvania itu pun merasa Presiden Jokowi sedang kehilangan ke-Jokowi-annya.
(((Jokowi sudah kehilangan ke-Jokowi-annya)))
Makin banyak pendukung Jokowi, termasuk saya, yg merasa Jokowi luntur keJokowiannya. Jokowi sedang mengalami proses deJokowiisasi… https://t.co/sYUEndIGkm
— akhmad sahal (@sahaL_AS) October 9, 2020
Apa boleh bikin, keputusan dan respons Jokowi terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja ini memang membuat pendukungnya berada di persimpangan jalan. Ada yang memutuskan tetap mendukung dan ada yang akhirnya memilih speak up untuk mengkritik.
Meski begitu, tidak pernah terlintas sekalipun di kalangan massa aksi kemarin ada tuntutan turunkan atau makzulkan Presiden Jokowi. Bukan semata-mata karena sudah kadung memilih Jokowi, tapi karena alasannya lebih sederhana lagi: NGGAK ADA UNTUNGNYA.
Memang untungnya apa menurunkan atau memakzulkan Presiden saat ini? Toh, Jokowi juga sudah berada pada periode kedua. Jika diturunkan, situasinya malah makin gamang, karena KH. Ma’ruf Amin bakal naik tahta secara otomatis.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, masih banyak hal yang perlu dibuktikan KH. Ma’ruf Amin untuk bisa dipercaya publik. Video berjudul “tidak ngapa-ngapain selama lima tahun” di YouTube sebagai parodi dari video “dua jam tidak ngapa-ngapain”, secara tidak langsung menggambarkan ketidakpercayaan itu.
Bahkan misalnya pemilu mau dipercepat sekalipun, dengan kondisi yang ada sekarang, siapapun yang nanti menggantikan Presiden juga tidak akan lepas dari kelompok oligarki yang sedang bercokol mengelilingi Jokowi. Artinya, tidak bakal ada perubahan signifikan juga.
Satu-satunya yang diharapkan itu sederhana; Jokowi bertindak seperti presiden yang dijanjikannya ketika kampanye. Berpihak pada masyarakat lebih rentan. Itu.
Misalnya dengan membuat perppu membatalkan UU Ciptaker, membereskan penegakan hukum terhadap korupsi (cabut UU KPK yang absurd itu misalnya), dan selanjutnya membuat kebijakan-kebijakan yang pro kepada penguatan industri dalam negeri dengan penguatan sektor ekonomi kerakyatan. Tak perlu ada terobosan ndakik-ndakik ala oligarki lagi.
Saya jamin, jika Jokowi melakukan hal-hal sederhana itu, bakal banyak pendukungnya yang kembali membelanya.
Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka Jokowi nantinya akan melucuti wahyu keprabon (legitimasi etis dan spiritual)-nya sendiri. Dan yang tersisa hanyalah dukungan semu yang diciptakan lewat ilusi cuitan-cuitan buzzeRp.
Pilihan sekarang ada pada Jokowi sendiri. Sebagai seseorang yang telah mencapai puncak, dengan akhir seperti apa dia ingin dikenang. Disayang oligarki atau dicap pengkhianat oleh pendukungnya sendiri.
BACA JUGA Masih Mau Jadi Bucin Pemerintahan Pak Jokowi? dan tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.