[MOJOK.CO] “Dikit-dikit body shaming. Body shaming kok dikit-dikit.”
Sejak akil balig, entah sudah berapa kali aku melakukan apa yang oleh netizen zaman kiwari sebagai body shaming. Dalam bahasa Jawa di masa kecilku istilah yang mendekati arti body shaming namun tidak sama persis adalah parapan—menyebut penampilan fisik seseorang dengan maksud mengolok-olok, misal sebutan Susi gembrot, Paijo prongos, “raimu mesum”, dan kata-kata lain sejenis itu.
Ini biasanya dilakukan dalam situasi olok-olok ke teman-teman yang sudah akrab. Ungkapan yang secara literal buruk kayak gini jarang menjadi persoalan di kalangan kanca kenthel karena ada rasa keakraban dan menggunakan “rasa” yang sama, tanpa ada niat merendahkan dan memang tidak ada yang tersinggung.
Tetapi, parapan bisa jadi masalah atau menjadi perbuatan dosa di hadapan Tuhan.
Body shaming kukenal beberapa tahun lalu saat mengikuti seminar bullying di suatu kota. Ringkasnya berarti ucapan atau komentar yang mencela bentuk fisik seseorang. Parapan bisa menjadi hinaan apabila menyebabkan timbulnya marah karena sakit hati. Misal, aku pernah marapi orang yang tidak kusukai dengan merujuk pada kejelekan fisik disertai perasaan mengejek dan niat menghina, dan ini menjadi masalah buatku. Ia marah dan membalas dengan lebih kasar, dan bahkan hendak menghajar secara fisik.
Setiap perbuatan ada balasannya. Aku mendapat balasan serupa dari orang yang cuma kenalan dan membuatku marah itu. Namun, aku tidak mengambil pelajaran. Hingga suatu hari ada orang yang kusayangi menerima perlakuan serupa, yang membuatnya terluka perasaannya. Aku ikut terluka, dan sejak itu aku kurangi perbuatan semacam itu.
Di medsos, godaan melakukan body shaming lebih besar. Ada segolongan orang yang ketika junjungannya atau kelompoknya menghina kelompok lain, mereka tertawa dan mendukung. Namun, mereka marah-marah ketika kelompoknya sendiri atau junjungannya dihina. Mereka juga membalas dengan hinaan yang sama parahnya. Akibatnya, kedua kelompok saling tuduh sebagai penghina.
Sama-sama merasa dihina, tetapi tak pernah mengaku telah menghina. Jika yang dihina marah, penghina dengan enteng membalas, “Jadi orang nggak usah baper. Kalo baper jangan main medsos.” Seakan hanya mereka yang boleh menghina, kelompok lain tidak boleh. Seakan hanya kelompok mereka yang boleh merasa sakit hati, kelompok lain tidak boleh.
Perlahan aku menjauhi dua golongan itu walau tak jua sukses 100% memisahkan diri dari mereka. Namun, satu hal yang pasti, aku tahu bahwa ada rasa, perasaan, yang harus dihargai. Jika dua pihak tak mau tenggang rasa, ya begitu jadinya.
Sampai akhirnya beberapa tahun lalu, salah seorang guru ngajiku yang selalu bersikap sederhana menyuruhku membaca syariat yang berurusan dengan adab dan akhlak. Beliau tahu aku masih suka mengurusi hal-hal yang tak kupahami benar dengan cara-cara yang sok tahu dan sok idih. Sejak saat itu aku berusaha keras menahan diri, walau tak 100% sukses, dari mengumpat, mengejek, menghina, di medsos. Ada gunanya juga medsos: platform ini bisa menjadi petunjuk seberapa keras kepalanya nafsu ingin tampak paling wuidih tanpa peduli pada perasaan orang lain.
Suatu saat, setelah diperintah mengaji bab akhlak, aku bertemu dengan dua riwayat yang sesuai dengan makna body shaming, bukan lagi parapan. Sejak itu aku paham mengapa guruku melarang keras mempermalukan orang di depan umum atau menyakiti perasaan orang lain dengan mengolok-oloknya di depan umum, entah itu dengan body shaming atau dengan umpatan dan caci maki.
Riwayatnya begini.
Pertama, suatu hari beberapa sahabat Nabi membahas masalah pasukan. Lalu, terjadi perdebatan antara Abu Dzar al-Ghifffari dan Bilal. Debat itu panas sehingga Abu Dzar marah dan mengungkapkan kalimat yang merendahkan Bilal sebagai orang kulit hitam, bahkan menyinggung ibundanya secara fisik. Bilal tersinggung dan mengadu kepada Rasulullah. Abu Dzar yang mengetahui kabar ini segera menemui Rasulullah, memberi salam.
Namun, Rasulullah diriwayatkan tidak membalas salam itu dan langsung menegur Abu Dzar, yang dalam redaksinya kira-kira berarti begini, “Wahai Abu Dzar, engkau telah merendahkannya dengan menghina ibunya.” Menurut ahli tafsir, tindakan Nabi yang tidak menjawab salam itu menunjukkan kemarahan beliau. Semua ulama sepakat bahwa Nabi dikenal amat tidak suka jika orang menghina fisik orang lain.
Hal serupa juga tampak dalam kisah kedua.
Aisyah pernah membicarakan fisik orang lain dengan sedikit merendahkan. Rasulullah menegurnya dengan bersabda yang maknanya kurang lebih, “Engkau telah mengucapkan kalimat yang jika kau masukkan ke samudera, niscaya keruhlah seluruh airnya” (Sunan Abu Daud Kitab Al-Adab No. 4875).
Salah satu guru ngajiku berkata, “Samudera adalah hati. Kini kau tahu mengapa banyak orang tampak rajin ibadah namun perilakunya sering menyakiti hati orang lain dan dia bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun dan bahkan tidak mau minta maaf sama sekali, malah menyalahkan orang yang telah dia sakiti?
“Jika kau ingin memberi nasihat, mengajak, namun caramu demikian kasar dan tidak menghargai martabat kemanusiaan, tidak menggunakan empati atas rasa manusia, maka yang kau peroleh hanyalah bertambahnya permusuhan terhadap agamamu, entah dari dalam agama maupun dari luar agamamu. Engkau berperan dalam memecah belah, sebab karena engkau biasa tak peduli pada hati liyan, maka engkau lupa bahwa tidak semua orang akan sepakat dengan cara-cara dan kata-kata kasarmu. Dan jika engkau tetap merasa tak bersalah sedikit pun, jangan menyalahkan siapa pun jika orang akhirnya dengan sinis mengatakan: agama kok hanya menjadi sumber perpecahan dan dalih untuk saling menghina manusia.”
Sejak itu aku harus berhati-hati dalam perkara ini. Dalam konteks kekancan kenthel itu aku terkadang masih menyebut fisik orang untuk bercanda walau sekarang sudah amat aku kurangi sebab selalu ada potensi bahwa bisa jadi kanca kenthel kita bisa marah ketika mood-nya sedang tidak bagus—habis dicampakkan pacar, misalnya.
Kalau terhadap kanca kenthel sendiri kita juga mesti lihat-lihat, apalagi kepada orang lain yang cuma kenal nama. Yang aku tahu dari yang diajarkan kepadaku, manusia itu punya rasa dan perasaan yang harus dijaga dan dihormati. Tidak perlu mumet memikir mengapa begitu. Lihat saja kasus orang bunuh diri karena perasaannya tertekan lantaran di-bully fisiknya.
Akhlak sebagian besar berurusan dengan aspek batin. Karena itulah ada yang namanya adab dalam relasi antarmanusia. Dan jika kita yakin pada ucapan Kanjeng Nabi bahwa “aku diutus untuk menyempurnakan akhlak,” maka ucapan Nabi ini kurasa sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi sosial.
Dan jika seseorang paham ilmu agama, mestinya dia lebih hati-hati dalam perkara body shaming ini. Orang yang mengerti agama dan diminta menjadi ustadz mestinya tahu ayat ini:
“Wahai orang beriman janganlah kalian mengolok-olok kaum lainnya… dan janganlah saling mencela dan janganlah memanggil dengan sebutan-sebutan yang buruk yang memuat ejekan.” (Q.S. Al-Hujurat: 11)
Jika telanjur menyakiti hati tanpa haqq, maka disebut berdosa. Masalahnya adalah dosa yang berkaitan dengan sesama manusia itu tidak diampuni Tuhan sebelum pelakunya meminta maaf kepada yang disakiti. Minta maaf kepada manusia lebih sulit karena dua sebab: kadang orang ada gengsi minta maaf karena telanjur merasa alim dan baik, dan kedua bisa jadi orang lain itu enggan memaafkan.
Wallahualam.