Istilah pribumi dalam pidato pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI langsung menjadi sorotan publik. Sudah banyak paparan soal kata itu, tapi yang kurang adalah konteks politik kenapa ketika kata tersebut diucapkan, sampai menjadi topik panas.
Viralnya kata pribumi selain memang kekeliruan diksi yang fatal, juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik kiwari negeri ini. Hal itu pula yang terjadi, jika mau melihat dengan jernih, pada Ahok dalam persoalan penyebutan salah satu ayat Al-Quran. Tanpa konteks politik pilkada DKI, ucapan Ahok bisa jadi hanyalah buih biasa saja yang cepat meletup lalu tenang kembali.
Dengan demikian, manakala pendukung Anies meminta publik melihat istilah pribumi dalam konteks ucapan utuh, wajar itu langsung dijawab dengan lantang oleh pendukung Ahok: mestinya ucapan Ahok juga dilihat dalam konteks yang tepat. Apalagi tahun lalu Anies sempat menyatakan bahwa pemimpin harus memperhatikan kata-katanya.
Sesungguhnya hal yang tidak bisa ditolak dari panasnya perdebatan soal istilah pribumi selain kekeliruan diksi ialah belum redanya perseteruan antara barisan pendukung Anies dan barisan pendukung Ahok. Jika diperluas, sampai pada barisan pendukung Prabowo dan barisan pendukung Jokowi.
Faktor itulah yang berpotensi terus tegang di masa mendatang. Maka, tolong dicatat baik-baik: seruan agar situasi reda dan adem hanyalah seruan yang diteriakkan di dalam air. Ketegangan ini akan terjadi terus, mungkin sampai pilpres 2019. Apa pun yang dilakukan oleh elite politik, apalagi Anies, berpotensi menjadi bensin bagi pertikaian politik semacam ini.
Masalah menjadi makin panas karena di luar dugaan, sambutan publik atas pelantikan Anies-Sandi juga luar biasa. Hal ini mungkin tidak pernah dibayangkan oleh pendukung kubu yang berseberangan. Tiga peristiwa terjadi dalam satu rentetan: karangan bunga untuk Anies membeludak, pelantikannya menyita perhatian, dan kekeliruannya dalam memilih kata menjadi topik panas.
Saya kira wajar jika sambutan publik yang gempita di luar dugaan kubu yang berseberangan dengannya. Dan sambutan semacam ini tentu saja membawa ancaman, atau setidaknya kekhawatiran: Anies menghidupkan dua kartu politik penting di negeri ini, yakni kartu politiknya sendiri dan kartu Prabowo Subianto.
Sebagai inkamben, dengan modal kinerja yang cukup bagus, ditambah dukungan dari berbagai partai politik, seakan pilpres 2019 boleh dibilang sudah separuh selesai: Jokowi akan menyusul SBY memerintah negeri ini selama dua periode.
Tapi, politik kadang memberikan kejutan-kejutan kecil dan besar. Belum lama ini ada istilah “Jokowi Effect” atas kemenangan tripel Jokowi dalam waktu singkat: pilwali Solo yang kedua, pilgub DKI, dan pilpres RI. Pengamat politik mungkin berpikir hal seperti ini hanya mungkin diraih oleh Jokowi. Tapi, melihat antusiasme publik di pelantikan Anies-Sandi, hal ini bisa saja terulang kembali. Terlebih jika dalam waktu singkat Anies bisa mengelola performa politiknya di depan publik Indonesia.
Namun, bukankah Anies memang piawai dalam soal ini? Bukankah dia sudah membuktikan jauh-jauh hari bahwa ia mampu melakukan branding politik yang ciamik? Semua yang disentuhnya bisa tampak layak beli. Dari mulai program Indonesia Mengajar, TurunTangan, menjadi salah satu jubir kampanye Jokowi-JK, lalu menjabat mendikbud, dan kemudian memenangi pertarungan politik pilgub DKI. Bahkan ketika Anies tidak menjadi mendikbud pun, mungkin dialah satu-satunya yang langsung mendapatkan sorotan publik sehingga berbagai media massa antre mewawancarainya dan publik memonitor perkembangannya.
Dalam konteks semacam itulah menjadi wajar jika pihak pendukung Jokowi waswas. Anies mungkin dalam pilpres 2019 tidak akan menjadi capres, tapi tidak tertutup kemungkinan dia akan menjadi cawapres Prabowo. Dua kartu yang kembali hidup dan kemudian bersatu; seperti dua kartu Joker di tangan seorang penjudi: kartu apa pun yang diambil berpotensi ditutup dengan kemenangan.
Berlebihankah analisis ini? Bisa jadi, iya. Hanya saja, yang tidak bisa ditolak adalah sambutan publik, hidupnya lagi kartu politik Anies dan Prabowo, juga kekhawatiran dari kubu pendukung Jokowi. Siapa yang bisa membantah ketiga hal itu? Apalagi beberapa survei belakangan ini tak begitu bagus buat Jokowi.
Balik lagi ke risiko situasi politik ke depan: hal yang sungguh jelas adalah kebisingan politik bukannya reda, malah akan bertambah. Anies harus lebih siap, apa pun yang akan dilakukannya berpotensi dijadikan bahan serangan. Ini sudah bukan soal dia menang pilgub DKI, melainkan dia yang sudah menjadi “ancaman” baru dalam rivalitas politik dengan Jokowi.
Memang ada sih potensi lain. Bisa saja justru Anies maju menjadi capres sendiri, atau justru menjadi cawapres bagi Jokowi. Tapi, apakah Prabowo akan seapes itu? Ya nggak tahuuu … awuwuwuuu!
Dari semua kemungkinan dan perhitungan di atas, kuncinya tergantung pada kepiawaian Anies. Apakah dia menganggap bahwa mesin politik yang dulu dipakai di laga Jakarta masih relevan dipakai untuk 2019? Ataukah mau diperluas lagi? Pilihan itulah yang akan menentukan dalam satu tahun ini, apakah Anies mampu menggosok performa politiknya lebih kinclong atau tidak.
Kedua ialah kinerja Anies dalam hal tata kelola Jakarta. Kalau dia sanggup membuat terobosan cepat, pemenuhan janji kilat, dan keberanian mengambil keputusan yang agak nekat—dalam hal reklamasi, misalnya, Anies akan menerima panen performa politik yang lebih hebat.
Jadi, jika Anies ditanya peluangnya ikut meramaikan bursa pilpres-wapres 2019 lalu menjawab bahwa urusannya sekarang ini adalah menunaikan janji-janji politiknya, anggaplah itu mirip dengan 2013 ketika Jokowi ditanya kemungkinannya ikut berlaga di pilpres yang dijawabnya, “Nggak mikiiir, nggak mikiiiiiir!”
Eits, tapi jangan lupa, ada satu kartu lagi yang hidup, yang tidak disadari atas kemenangan Anies: kartu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kenapa bisa begitu? Ya coba pikir saja sendiri. Masak hal seperti itu saja bergantung pada analisis Kepala Suku?