MOJOK.CO – Kontroversi Anies Baswedan soal reklamasi berlanjut. Tanpa alasan yang jelas Pak Gubenur malah melarikan masalah ini pada istilah “pantai” dan “pulau”.
Sebagai Gubernur DKI nan santun, Anies Baswedan tahu persis betapa utang merupakan hal yang harus dibayar. Jika konsisten membela rakyat Kepulauan Seribu sebagaimana janji kampanyenya dulu, janganlah cuma menata kata. Lautkan saja kembali pulau reklamasi sebagaimana asalnya.
Kontroversi Gubernur DKI Jakarta soal pulau reklamasi terus berlanjut. Paling anyar kemarin Anies Baswedan bilang bahwa Reklamasi Jakarta itu dari penyebutan nama saja sudah salah.
Menurutnya, pulau adalah daratan yang terbentuk proses alami, sedangkan daratan yang dibuat manusia itu namanya pantai.
Anies Baswedan tidak sekadar memberi definisi baru, melainkan juga memberi contoh. Misalnya Pantai Indah Kapuk, disebutnya sebagai wilayah reklamasi. Begitu pula kawasan Mutiara dan Ancol, disebut pantai.
Pendapat ini sungguh mengherankan, seorang gubernur yang paling berpendidikan dibandingkan gubernur sebelum-sebelumnya karena pernah jadi Menteri Pendidikan, kok tidak bisa membedakan; mana bahasa promosi (iklan) dan mana Bahasa Indonesia (yang baik dan benar).
Padahal jika dilihat lewat Google Maps saja, jelas sekali bahwa kawasan hunian mewah Pantai Indah Kapuk itu terletak di gugusan pulau, meski itu pulau buatan. Tak perlu menjadi Ivan Lanin untuk bisa membaca definisinya. Lihat saja di KBBI.
Di situ diterangkan bahwa pulau adalah: tanah (daratan) yang dikelilingi air (di laut, di sungai, atau di danau). Sedangkan pantai, menurut KBBI adalah: perbatasan daratan dengan laut atau massa air lainnya.
Saya pun jadi bertanya-tanya. Kan tidak mungkin saat di SD dulu Pak Anies Baswedan dapat nilai jelek untuk mata pelajaran Geografi. Mana mungkin pula sosok secerdas beliau tak bisa membedakan antara pulau dan pantai.
Satu hal yang pasti, janjinya untuk menyetop proyek reklamasi di Teluk Jakarta telah mampu meyakinkan nelayanan di Kepulauan Seribu.
Dari janji ini pula, pada saat Pilgub DKI April 2017, Anies Baswedan berhasil melengserkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari kursi Gubernur DKI. Bahkan, tidak hanya harus kalah dari Pilgub DKI Jakarta, Ahok pun harus dijebloskan ke penjara.
Semua juga pasti masih ingat bagaimana Anies Baswedan (bersama tandemnya; Sandiaga Uno) sejak tahun 2016 sudah getol blusukan ke Kepualauan Seribu.
Berulangkali pula Anies menjanjikan, atas keberpihakannya pada nelayan. Bila terpilih jadi Gubernur DKI siap menyetop Reklamasi Teluk Jakarta. Tak peduli niat itu sangat tidak masuk akal karena bakal bertentangan dengan Keppres No. 52 tahun 1995.
Hal ini bisa terjadi semata-mata karena Anies Baswedan punya prinsip yang luar biasa menarik: maju kotanya bahagia warganya.
Jargon yang secara sekilas terlihat mengritik kecenderungan program Ahok, gubernur sebelumnya yang dianggap “pemilih Anies” hanya bergerak untuk memajukan kota Jakarta tanpa membahagiakan FPI warganya.
Sebenarnya, Reklamasi Teluk Jakarta dirintis sejak Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992). Setelah Keppres No. 52/1995 diteken Pak Harto. Gubernur DKI Jakarta selanjutnya kemudian mengamankan kebijakan pemerintah pusat tersebut.
Selaku pelaksana program pusat, Gubernur DKI dari Suryadi Sudirdja, Sutiyoso, Fauzi Bowo, sampai Joko Widodo, Ahok BTP, dan Djarot Saeful Hidayat; terus menyempurnakan kebijakan pemerintah pusat tersebut.
Akan tetapi, ketika Gubernur DKI beralih ke Anies Baswedan, nyata benar bedanya. Bahwa Anies kelihatan akan menentang Keppres tersebut demi melindungi warga Jakarta yang tinggal di Kepulauan Seribu.
Niat ini sampai-sampai bikin Anies Baswedan diingatkan oleh mantan Gubernur DKI Suryadi Sudirja bahwa Gubernur DKI Jakarta harus tunduk pada pemerintah pusat. Namun dengan gagah berani, semua itu hanya dipreekkk-kan saja oleh Anies.
Terbukti Anies Baswedan pada awal-awal menjabat benar-benar menyetop Reklamasi Teluk Jakarta. Bangunan yang kadung berdiri, disegelnya. Ini jelas upaya pelunasan janji yang luar biasa. Tak heran kalau Menko Maritim, Luhut Panjaitan, sampai “mengancam” Anies, “Jika Jakarta tenggelam, Gubernur Anies harus tanggung jawab!”
Sayangnya, galak di awal ini tidak dilanjutkan di kemudian hari. Ternyata Anies terjebak pepatah lama telunjuk lurus kelingking berkait.
Bagaimana tidak? Diam-diam Anies menerbitkan 932 IMB untuk rumah mewah dan perkantoran di di Pulau C dan D.
Ketika disorot berbagai pihak termasuk DPRD, Anies berkelit bahwa itu sudah sesuai dengan Pergub No. 206/2016 tentang Rencana Tata Kota, yang diterbitkan Gubernur Ahok BTP.
Mendengar itu, gantian Ahok yang menyambar, “Kalau dengan Pergub bisa dikeluarkan IMB-nya, sudah dari dulu aku terbitkan IMB-nya.”
Akhirnya Ahok pun tidak kuat lagi untuk menahan diri. Merasa jadi pesakitan atas keputusan Anies, Ahok balik melawan—meski cuma pakai sindiran. Poinnya, Ahok menyindir Anies sebagai gubernur yang pintar ngomong. Dengan modal Pergub saja berani terbitkan IMB, tanpa menunggu Perda Reklamasi disetujui DPRD.
Panasnya situasi demikian bikin Anies jadi bulan-bulanan berbagai pihak. Tapi, sebagai gubernur yang—kata Ahok—pintar ngomong, Anies malah melarikan masalah ini ke perdebatan istilah “pulau” dan “pantai” untuk tanah daratan Teluk Jakarta yang merupakan hasil reklamasi itu.
Padahal bagi nelayan Kepulauan Seribu, mau pantai reklamasi kek, mau pulau reklamasi kek, mau itu didefinisikan Ivan Lanin kek, mau itu didefinisikan Anies kek, mereka maunya reklamasi di Teluk Jakarta ya dihentikan total. Titik. Ini soal mata pencaharian mereka. Hidup-mati mereka.
Nelayan Kepulauan Seribu tentu saja berhak menuntut Gubernur Anies agar konsisten dengan janjinya saat kampanye dulu. Jika mau bantu 25.000 nelayan Kepulauan Seribu, jangan tanggung-tanggung dong.
Jangan hanya distop saja pembangunannya, tapi bongkar total juga seluruh bangunan hasil reklamasi itu. Masalahnya, Anies Baswedan jadi Gubernur DKI paling banter hanya dua periode, atau malah paling-paling hanya satu periode. Padahal diyakini, Gubernur DKI penerusnya pasti juga akan melanjutkan reklamasi di Teluk Jakarta. Lha wong ini udah jadi Keppres.
Jadi, Pak Anies, mau berharap sama siapa lagi mereka para nelayan itu, Pak?
Makanya, agar nelayan Teluk Jakarta mudah dan dekat mencari ikan, lautkan saja kembali pulau hasil reklamasi tersebut. Bongkar seluruh bangunan, jalan-jalan dan jembatan, puing-puingnya ditawarkan pada orang Jakarta yang kepengin ngurug tanah atau rencana bangunannya.
Begitu pula pasirnya, setelah dikeruk bisa dijual pada toko material. Lumayan kan untuk menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah) DKI Jakarta?
Saya yakin, jika berhasil diwujudkan, maka keputusan ini bakal jadi tabungan politik yang cukup berharga bagi Anies Baswedan untuk masa depan. Paling tidak ketika dirinya mau nyapres di 2024 mendatang. Berdiri melawan kemungkinan nama-nama lain seperti Ridwan Kamil atau bahkan—bisa saja—Prabowo Subianto sendiri.
Jelas sudah, sebanyak 25.000 nelayan atau 19.000 pemilih di Kepulauan Seribu niscaya akan mendukung dan memberikan suara untuknya.
Kecuali kalau memang Anies Baswedan menganggap jumlah suara di Kepulauan Seribu itu tak terlalu signifikan untuk jumlah suara sekelas calon presiden. Kalau sudah begitu ya Pak Gubernur sah-sah saja mengabaikan usulan ini.