Manajemen tiket yang buruk sekali
Salah satu pelayanan yang perlu diperhatikan adalah ketersesuaian tiket seperti yang dialami oleh Alitt. Penonton yang harus jauh-jauh jalan kaki karena JIS nggak punya tempat parkir, antre masuk lebih dari 15 menit sementara dari gerbang mereka sudah mendengar riuh nyanyian dari dalam area tentu sudah punya mood yang berbeda. Ditambah saat masuk malah masih menemui masalah.
Seharusnya ini masuk ke dalam poin-poin yang dipikirkan oleh crowd Management. Sebuah masalah yang harusnya sudah dipikirkan jauh hari dengan segala kemungkinan. Semurah apapun tiket dan biaya mendatangkan artisnya, persoalan seperti itu tetap tidak boleh terjadi.
Kalau soal jadwal konser molor, untuk kasus JIS dan ketenaran Dewa 19, saya sudah maklum apa yang mungkin terjadi di belakang panggung. Terlebih banyak pejabat dan nama-nama besar yang datang. Ingat, ini bukan konser Metallica atau Rancid yang personil band-nya mungkin tidak peduli dengan politikus, nama besar, atau pejabat yang mungkin ingin berfoto sebelum konser mulai.
Lalu, apa yang mungkin terjadi saat konser Dewa 19 di JIS?
Seperti yang saya katakan di atas, selain kesiapan JIS, kemungkinan lobi politik penyelenggara dengan banyak pihak di pemerintah, perhitungan kurang cermat di beberapa lini selain persoalan crowd management, ada juga persoalan JIS yang tidak atau belum cocok dijadikan tempat konser karena suara yang masih menggema di beberapa bagian, plus penjualan tiket Dewa 19, yang untuk kelas konser seperti ini sudah bisa disebut amburadul.
Apakah Redline salah dengan flow massa yang keluar stadion? Bagi saya tidak. Kalau mau tega-tegaan, di luar area stadion itu sudah bukan tanggung jawab mereka. Gantian pihak keamanan yang bertugas mengatur itu semua.
Sebatas koordinasi dengan Redline mungkin iya, tapi tentu penyelenggara juga masih sibuk beres-beres di dalam tanpa harus memikirkan itu. Tanggung jawab dan keputusan sepenuhnya ada di koordinator keamanan yang bekerja sama dengan pihak lain, bisa pengelola tempat, vendor, atau siapa saja.
Pengakuan penonton
Saya bertanya melalui pesan WhatsApp kepada dua orang teman yang menonton Dewa 19 di JIS. Keduanya perempuan. Kita sebut saja namanya Dita dan Eliza.
Dita bersama teman-temannya menonton di kelas Silver. Sementara itu, Eliza, menonton bersama lima orang temannya, menyaksikan konser dari kelas Festival.
Jawaban Dita melalui pesan WhatsApp cukup singkat:
“Aku cuma nonton sebentar, sejam kayaknya. Panas banget di dalam dan mager banyak banget orang. Nggak kebayang kalau selesai konser bakal seperti apa.”
Sementara Eliza, mengirimkan voice note berdurasi enam menit. Dia menyaksikan konser Dewa 19 itu sampai selesai hingga mencicipi sensasi naik ojek bonceng tiga dari JIS. Kalau dibuat utas, mungkin kekesalannya bisa jadi 15-20 cuitan.
Berikut jawaban Eliza:
“Konser selesai sekitar jam setengah 12, walaupun di festival B yang notabene lebih dulu keluar tapi tetep aja rame banget. Aku butuh 1 jam keluar dari stadion sampai ketemu jalan raya. Sementara butuh 1 jam lagi untuk sampai ke parkiran mobilku.”
“Aku keluar stadion itu masih harus ngelewatin jembatan yang rame banget menuju jalan raya, kayak aksesnya cuma di situ. Nggak ada jalan lain.”
“Dari ojek online sampai ojek pangkalan pun nggak dapet, aku butuh jalan sepanjang 2 kilo dari JIS untuk nyari transport ke parkiran karena buka aplikasi aja nggak ada ojek yang nyantol. Sementara orang-orang yang ada di sekitar situ ruame banget, muka-muka hopeless mau jalan buru-buru nggak bisa karena ramai, belum lagi masih berusaha ngadem setelah kepanasan saat konser, keluar stadion sampai ke jalan raya.”
“Aku akhirnya dapat ojek online, tapi nggak pake aplikasi, kena tarif 90 ribu bonceng tiga. Yaudahlah, yang penting bisa segera keluar dari keramaian.”
Kesimpulan saya
Dari jawaban Dita dan Eliza, saya semakin yakin kalau JIS memang belum siap. Mau membela diri sekuat apapun, fakta yang muncul di Twitter sampai Minggu malam mematahkan banyak pihak yang membanggakan JIS (untuk saat ini). Mungkin perlu waktu satu hingga dua tahun melakukan pembenahan hingga layak untuk menggelar konser besar untuk Dewa 19.
Untuk Redline Kreasindo, “I feel you, bro.” Tapi, apa tidak lebih baik kejadian seperti ini bisa diantisipasi jauh hari? Usia Redline Kreasindo juga bukan baru dua atau tiga tahun, kan? Apalagi ada di Jakarta, gudang orang-orang event yang tentu jauh lebih hebat daripada event organizer di daerah.
Ingat, sudah jelang 2024, bakal banyak konser-konser dari partai dan event lain yang mungkin akan menggunakan jasa kalian. Semoga rapor merah kalian kali ini tidak terus menerus diungkit.
Terakhir, saya sempat memuji kalian saat menggelar konser Dewa 19 di Solo. Menurut saya, karya kalian masih sedikit lebih baik dibanding pengalaman saya saat menonton band yang sama di Candi Prambanan yang diselenggarakan Otello Asia. Dari sesama orang yang pernah jadi penyelenggara, saya mau bilang, jangan turunkan kualitas, wahai Redline Kreasindo!
BACA JUGA Anies Baswedan, Jangan Anggap Enteng Ambruknya Pagar Tribun Utara JIS dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno