MOJOK.CO – Jangan pernah sepelekan edukasi seks untuk anak-anak. Jangan sampai tanpa kita sadari mereka menjadi predator, pelaku pelecehan seksual.
Pernahkah terpikir bahwa anak-anak bisa menjadi pelaku pelecehan seksual? Kalau anak-anak sebagai korban, sudah banyak kasusnya. Namun, kalau anak-anak sebagai pelaku pencabulan? Awas, jangan remehkan karena benar-benar ada kejadiannya, dan bahkan jauh lebih mengerikan dampaknya.
Siapa yang akan menyangka bocah usia 8 tahun dengan wajah lugu bisa menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap teman sepermainannya? Justru karena tidak ada yang menyangka hal ini bisa terjadi, orang tua harus lebih mawas diri.
Saya mengangkat tema ini karena anak saya sendiri pernah nyaris menjadi korban pelecehan seksual teman mainnya yang berusia 7 dan 9 tahun. Anak saya, pada saat kejadian masih berusia 5 tahun, jenis kelamin laki-laki, dia biasa dipanggil Fathan.
Saya bangga pada Fathan karena saat itu dia berani menolak, berani berkata “tidak” pada apa yang dia anggap salah. Beruntung, saya telah mengajari Fathan tentang aurat, bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat dan disentuh orang lain, serta bagian mana yang tidak boleh dilihat apalagi disentuh. Fathan juga sudah tahu apa itu rasa malu, sehingga dia tidak nyaman jika mandi atau buang air dengan pintu toilet terbuka.
Rupanya, saat dia bersama teman sepermainannya, Feri dan Bobi (bukan nama sebenarnya), kedua anak tersebut membawa Fathan ke tempat sepi di dekat jemuran rumah mereka. Di sana, anak saya nyaris menjadi korban pelecehan seksual oleh teman-teman mainnya.
Saat itu, Feri, yang usianya lebih tua (9 tahun) membuka celananya sendiri, kemudian menyuruh Fathan memegang kemaluannya. Bobi (7 tahun), disuruh mencontohkan dan memeragakan di hadapan Fathan, dan parahnya… Bobi bersedia melakukannya.
Bukan hanya disuruh memegang, Fathan juga diminta untuk mengulum kemaluan Feri, bahkan untuk hal ini pun turut diperagakan oleh Bobi. Tampaknya mereka berdua sering melakukan permainan yang oleh Fathan disebut “emut-emut” tersebut.
Saya berusaha tidak syok saat mendengar pengakuan Fathan yang polos saat itu, tapi tetap saja bulu kuduk bergidik ngeri. Bagaimana tidak, mendengar penuturan langsung dari anak saya, bahwa dia hampir jadi korban pelecehan seksual itu bikin dada ini terasa sangat sakit.
“Mi, aku nggak mau disuruh kayak gitu. Aku milih nggak temenan lagi sama Feri dan Bobi!”
Saya langsung memeluk Fathan dan memuji keberaniannya, serta menegaskan bahwa apa yang dia lakukan adalah tindakan yang benar. Namun, di dalam dada ini, jantung berpacu seperti derap langkah kuda pacuan.
Sebisa mungkin saya menenangkan diri dan mencoba berpikir jernih atas aduan Fathan tersebut. Tidak mungkin dia berbohong atau mengarang. Namun, apa sebenarnya yang terjadi sehingga Feri dan Bobi yang masih berusia belia bisa melakukan permainan cabul seperti itu?
Beberapa hari kemudian, saat kondisi mental saya lebih siap, saya menanyakan ulang kronologi kejadian selengkapnya pada Fathan dan sengaja merekamnya supaya menjadi barang bukti yang bisa saya bawa untuk mengadukan persoalan penting ini kepada orang tua Feri dan Bobi.
Mendeteksi korban pelecehan seksual lainnya
Saya termasuk beruntung karena tidak terjadi suatu hal buruk pada anak saya, selain ingatan menjijikkan yang dilakukan oleh kedua teman sepermainannya. Akan tetapi, rupanya ada beberapa anak perempuan yang benar-benar menjadi korban pelecehan seksual.
Salah satunya anak berusia 3 tahun, sebutlah namanya Nana. Orang tua Nana heran mengapa anak perempuan mereka yang sudah lulus toilet training tiba-tiba kembali mengompol. Ketika sedang istinja pun seperti meringis kesakitan.
Sebagai emak-emak yang terbiasa gercep, sebenarnya saya sudah langsung menceritakan apa yang dialami Fathan pada ibunya Nana agar beliau waspada tidak membiarkan Nana bermain dengan Feri dan Bobi tanpa pengawasan.
Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Di hari keempat mengompol, Nana barulah bisa memberikan clue pada sang ibu bahwa Bobi pernah menusuk-nusukkan jari ke bagian vitalnya. Sontak ibunya Nana menelepon saya sambil menangis histeris, turut memarut luka pada diri saya, rasanya tak ingin percaya anaknya menjadi korban pelecehan seksual, namun begitulah nyatanya.
Nana kemudian dibawa ke bidan untuk diperiksa. Dan ternyata benar, ada luka di bagian vitalnya, meskipun masih harus bersyukur karena tidak dalam, dan tidak merobek selaput daranya.
Saya hanya mengingatkan pada ibu Nana bahwa anak-anak seperti Fathan dan Nana belum mengerti bahwa yang mereka alami adalah pelecehan seksual atau perbuatan cabul yang mengerikan, sehingga mereka tidak merasakan trauma sebagaimana kita yang telah paham. Maka, jangan sampai respons berlebihan kita sebagai orang tua justru mencetak trauma dalam ingatan anak-anak ini.
Mencari akar permasalahan
Selanjutnya, kami sama-sama menghubungi orang tua Feri dan Bobi. Kami menyampaikan semua bukti dan rekaman kesaksian, lalu membuat pengadilan tertutup dan rahasia bagi Feri dan Bobi.
Ini tentu saja dilakukan untuk melindungi psikologis Feri dan Bobi yang juga masih anak-anak. Asas praduga tak bersalah tetap harus dijaga karena boleh jadi kedua anak ini melakukan tindakan cabul tersebut tanpa mereka mengerti artinya.
Anak-anak ini bungkam mengenai dari mana mereka mendapat inspirasi untuk melakukan pelecehan seksual. Akan tetapi, jawaban samar-samar terkuak ketika di kamar Feri ditemukan komik-komik Jepang milik kakaknya yang telah berusia remaja. Di dalam komik itu terdapat berbagai adegan pornografi.
Pada akhirnya, di pengadilan tertutup tersebut, kami memberitahukan pada Feri dan Bobi bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindak kejahatan dan tidak bisa dibenarkan. Mereka meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi.
Yang kembali membuat bergidik, orang tua Feri dan Bobi baru menyadari bahwa anak perempuan mereka sendiri yang masih balita pernah juga meringis kesakitan pada bagian vitalnya setiap kali sedang dimandikan atau dipakaikan sabun. Ada kemungkinan anak mereka sendiri juga menjadi korban pelecehan seksual atas perilaku kedua kakaknya tanpa orang tuanya sadari.
Edukasi seks pada anak
Anak-anak jago meniru apa yang mereka lihat, baca, dengar, saksikan, namun belum tentu memahami apa sebenarnya yang sedang mereka tiru. Mereka belum memiliki filter mengenai baik dan buruk jika orang tua tidak mengajarkannya.
Maka, anak-anak perlu diberi pendidikan seks yang tepat, setidaknya dari hal sederhana. Misalnya, pengetahuan tentang mana anggota tubuh yang boleh dilihat orang lain, mana yang tidak boleh dilihat, mana yang boleh disentuh, mana yang tidak boleh disentuh, dan juga anggota tubuh orang lain yang tidak boleh dilihat dan disentuh.
Setelah kejadian ini, saya menjadi lebih sensitif memperhatikan anak-anak saat bermain karena saya memiliki tiga anak laki-laki. Ketika mereka sudah menjurus pada perilaku seksual seperti melucuti celana saudaranya, menepuk-nepuk bagian bokong saudaranya, atau memegang-megang bagian vital saudaranya, meskipun mengaku hanya bercanda, langsung saya tindak tegas sekaligus mengingatkan untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu.
Jangan pernah sepelekan edukasi seks untuk anak-anak kita. Jangan sampai tanpa kita sadari anak-anak malah menjadi predator seksual karena tidak memiliki pemahaman yang benar mengenai alat reproduksi mereka sendiri.
BACA JUGA Kekerasan Seksual di Pesantren Melukai Nilai Sam’an Wa Tho’atan dan Wujud Penistaan Agama dan kisah-kisah miris lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Shinta Dewi Indriani
Editor: Yamadipati Seno