Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Alpukat dan “Bahaya” Berbahasa Ala Mojok

Jajang Husni Hidayat oleh Jajang Husni Hidayat
27 Oktober 2015
A A
bahasa-daerah-mojok

bahasa-daerah-mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Orang yang terbiasa dengan transliterasi bunyi kalimat Arab akan tertipu habis-habisan dengan gaya bahasa Mojok. Alpukat jadi alpukah.

Saya sempat tercengang saat menghadapi fakta bahwa “alpukat”, kata yang sehari-hari saya (dan insya Allah orang awam lain) pahami sebagai pohon yang menghasilkan buah berkulit hijau itu, ternyata tidak ada dalam kamus.

Kata yang mirip alpukat dan ada di dalam kamus adalah “alpukah”. Saya sempat mengira bahwa alpukah adalah alpukat, atau setidaknya masih saudaraan sama alpukat karena perbedaan keduanya hanya di huruf akhirnya saja.

Akan tetapi, saat membaca artinya, ia ternyata tidak mewakili tanaman, buah-buahan apalagi sayuran. Saya tercengang dengan kebodohan saya, dan takjub dengan kecanggihan kamus itu.

Tetapi kemudian saya senyam-senyum saat memikirkan sebuah kalimat yang, amat saya yakini, belum pernah ditulis di mana pun, “Dia gagal karena seumur hidupnya tidak mempunyai alpukah.”

Orang yang terbiasa dengan transliterasi bunyi kalimat Arab akan tertipu habis-habisan. Ia akan beranggapan bahwa alpukah pada kalimat tersebut adalah alpukat yang ta’ marbutoh-nya dibaca sukun sebab diwakafkan, sebagaimana “jannatun” yang di KBBI ditulis janah (sorga).

Kalau ia lugu sekaligus malas, ia akan menerima begitu saja bahwa untuk berhasil ia harus memiliki alpukat. Padahal alpukah, seturut KBBI, adalah kemauan untuk berbuat; daya upaya; inisiatif. 

Berbahasa, terutama bagi para penganjur syari’at bahasa, tak ubahnya memasuki ruangan yang memiliki dua kamar. Kamar pertama; berbahasa dengan menggunakan ragam baku. Kamar kedua, berbahasa dengan memakai ragam tidak baku. Pemisah keduanya jelas, yakni kamus.

Implikasi dari jelasnya sekat ini pun tidak remang-remang. Bahwa penggunaan ragam baku menunjukan kualitas intelektual, pendidikan, dan prestise seseorang. Sebaliknya, pemakaian ragam tidak baku adalah indikasi tunaintelektual.

Lantas apa arti “baku”?

Masih seturut KBBI, baku (yang relevan dengan permasalahan ini) mempunyai arti; 1. Pokok; utama. KKBI memberi contoh; nasi adalah makanan pokok/utama bagi rakyat Indonesia.

2. Tolok ukur yang berlaku untuk kualitas atau kuantitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. Contoh; Baku emas berarti penilaian berdasarkan nilai harga emas.

Kata alpukat tidak ada dalam kamus. Oleh karena itu, alpukat adalah kata yang tidak baku. Melihat arti baku dalam KBBI di atas, perkara ini menghasilkan dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, alpukat bukan kata pokok, utama, dan bagus bagi orang Indonesia. Artinya, bagi orang Indonesia, kata alpukat ini adalah kata kelas bawah, berkasta rendah, dan jelata.

Iklan

Kemungkinan kedua, alpukat adalah kata yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan orang Indonesia. Itu berarti alpukat adalah sejenis lema asing bagi orang Indonesia yang jika Anda datang ke kafe kemudian memesan jus alpukat, si pelayan akan kebingungan dan bertanya kepada Anda apa definisi alpukat.

Yang baku, yang bagus, dan yang benar untuk simbol buah berkulit hijau, dagingnya tebal lunak berwarna kuning kehijau-hijauan dan rasanya lezat itu adalah AVOKAD. Buah avokad, begitu seharusnya Anda bilang karena demikianlah menurut KBBI.

Kenapa avokad, karena kata itu diserap dari bahasa Inggris; avocado, dan yang mendekati bahasa aslinya setelah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia adalah avokad. Canggih benar!

Apakah avokad ini tanaman asli Inggris atau negara yang berbahasa Inggris? Bukan. Buah ini berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah (seperti Guatemala, Honduras, Kosta Rika, dsb).

Apakah buah ini dibawa ke Indonesia oleh orang Inggris? Juga bukan. Buah ini diperkenalkan ke Indonesia oleh orang Belanda pada abad ke 19. Terus hubungane karo Inggris opo, Ndul ?! Yo, embuuuh.

Tapi kita boleh berasumsi bahwa kata avokad bisa jadi dipetik dari langit, tepatnya langit Inggris, lalu dengan pertimbangan yang hanya bisa dipahami oleh para kampiun bahasa, diletakkanlah kata itu ke KBBI.

Oleh karena itu, jangan pernah berkhayal bahwa kamus adalah kumpulan kata dan penjelasan maknanya, yang disusun dengan bersumber pada penuturnya. Jangan pula memimpikan kamus yang sekedar memuat kata menurut abjad tanpa menjadi hakim.

Terimalah apa adanya, bahwa kamus berfungsi untuk menentukan nilai sebuah kata. Bahwa cengkeh, sebagaimana alpukat, adalah kata yang tidak baik dan tidak benar. Begitu juga kata hembus, hisap, himpit, hadang, kempes, dan tentu saja ostrali, itu semua tidak baik dan tidak benar.

Sejuta orang bisa mengucapkan kata-kata itu setiap hari, sejuta orang bisa juga menuliskannya setiap menit, tapi sekali tidak baik, tetap tidak baik, sekali salah, tetap salah, dan karena itu amit-amit jabang bayi kalau kata-kata kotor itu dimasukkan ke KBBI. Populer belum tentu baik dan benar, bukan?

Lalu siapa yang menentukan suatu kata bernilai baik dan benar? Siapa yang menentukan kata embus yang jarang digunakan dimasukan ke KBBI, sementara “hembus” yang lebih populer tidak dimasukan? Atau jelas-jelas yang dipakai itu “hadang”, kenapa yang dimasukan ke KBBI “adang”, siapa yang menentukan?

Yang menentukan itu jelaslah bukan orang kebanyakan yang setiap hari membanting pikiran untuk memikirkan cara bayar kontrakan tiap bulan. Orang-orang bodoh ini jelas tidak punya waktu untuk memikirkan bahasa.

Jadi, masalah kata yang baik dan benar itu cukuplah ditangani secuil cerdik pandai yang sepenuh hidupnya diabdikan untuk bahasa. Demokrasi sudah punya bilik sendiri. Biarlah dalam urusan bahasa ini diberlakukan sistem aristokrasi. 

Kaum aristokrat bahasa itu tentulah bukan para penulis mojok.co yang sudah melampaui syariat bahasa Mojok. Bukan pula serupa wartawan dan tuan redaktur koran Lampu Merah yang menulis judul berita…

“Ketika Alay Putus Cinta. 3x Bunuh Diri, Nggak Mati-Mati: Nabrakin Diri ke Mobil, Ditarik Orang; Mau Loncat Dari Jembatan, Ketauan; Loncat Ke Sungai, Eh Dalemnya 1 Meter. PADAHAL PACARNYA COWOK JUGA.”

Keduanya terlalu revolusioner dan karena itu berpotensi merusak bahasa Indonesia.

Adapun para aristokrat itu, melihat besarnya tanggung jawab yang dibebankan pada mereka, sudah barang tentu adalah para malaikat—ini menurut lamunan saya, ya, namanya juga melamun.

Satu hal yang pasti, jika dulu kita sering mendapat pesan agar “berbahasalah dengan baik dan benar”, kini hal tersebut justru terancam punah dengan lahirnya sebuah kredo baru yang diam-diam, baik secara sadar atau tidak, telah disepakati umat manusia seluruh alam semesta, termasuk Anda sendiri. Apa itu?

“Berbahasalah dengan jenaka sesuai kaidah ketatabahasaan Mojok.”

BACA JUGA Kartu Penulis Mojok atau tulisan ESAI lainnya.

Terakhir diperbarui pada 9 Maret 2021 oleh

Tags: alpukatbahasaMojok
Jajang Husni Hidayat

Jajang Husni Hidayat

Artikel Terkait

universitas brawijaya mojok.co malang
Kampus

Universitas Brawijaya, Universitas Malang tapi Rasa Jakarta

20 Februari 2025
kaum ngapak
Ragam

Orang Ngapak Melawan Rasisnya Warga Jakarta: ‘Bukan Dielek Ndeso, Aneh, Keras, Apalagi Bahasa Alien’

17 Januari 2025
Purwokerto Tidak Istimewa, tapi Nyaman Melebihi Jogja MOJOK.CO
Esai

Pandji Benar. Purwokerto Memang Tidak Istimewa, Tapi Lebih Nyaman Ketimbang Jogja

21 Juni 2024
Jejak Angkringan Dari Masa ke Masa, Jadi Andalan Warga Jogja, Solo, hingga Klaten
Video

Jejak Angkringan Dari Masa ke Masa, Jadi Andalan Warga Jogja, Solo, hingga Klaten

16 April 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.