MOJOK.CO – Dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres bagi Jokowi secara otomatis mengaktivasi para cebong yang masih punya nalar kritis. Sayang, ketika kritik disampaikan atas pilihan tersebut, mendadak muncul hierarki cebong layaknya sistem kasta.
Belakangan, tiba-tiba saja di lini masa Facebook saya penuh dengan cebong-cebong yang marah. Hal ini terjadi setelah Jokowi memutuskan untuk memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden beberapa waktu lalu, kemudian saya menulis beberapa status Facebook, yang isinya mengritik pilihan tersebut.
Secara pribadi, memilih Ma’ruf Amin menurut saya kurang patut dilakukan oleh Jokowi. Jelas keberatan saya, Jokowi mulai memainkan politik identitas secara blakblakan, membawa-bawa agama ke kancah politik praktis. Sesuatu yang sebelumnya pernah dia kritik sendiri.
Tak lama kemudian muncul sejumlah respons dari para cebong. Respon jenis pertama, melabeli saya sebagai cebong galau, atau cebong abal-abal, tidak lagi patut disebut cebong sejati. Lama saya tercenung membayangkan hierarki di dunia per-cebong-an seperti itu. Bagaimanakah hierarkinya sampai tiba-tiba saya bisa naik pangkat jadi cebong abal-abal begitu?
Eh, sebentar, sebentar, ini naik pangkat atau turun pangkat ya? Ah, sepertinya turun pangkat lebih tepat. Para cebong selama ini menganggap saya sebagai cebong sejati atau cebong seleb medsos. Nah, ketika saya mengritik Jokowi, serta merta saya diturunkan pangkatnya, dikudeta, dilucuti, lalu mendadak dicap menjadi cebong abal-abal begitu saja.
Hal ini bikin saya bertanya-tanya; memangnya bagaimana mekanisme penerimaan seseorang untuk jadi cebong? Lalu bagaimana proses promosi, mutasi, dan degradasinya?
Dalam bayangkan saya, kalau kamu sering menulis pujian untuk Jokowi—apapun kebijakan yang dia keluarkan, maka kamu sudah didaftarkan sebagai cebong dalam Sistem Administrasi Kependudukan Cebong (Sisdukbong).
Oh, sistem ini bekerja canggih. Kamu tidak perlu mengisi formulir pendaftaran. Robot-robot virtual Sisdukbong 24 jam memantau ratusan juta akun media sosial, memetakan preferensi pemilik akun, dan otomatis membuat kategorinya.
Tidak hanya itu, sistem ini terhubung langsung dengan otak setiap cebong, sehingga mereka dengan cepat mendapat update soal siapa saja yang sudah jadi cebong, lalu cebong mana yang naik pangkat, sampai cebong yang mengalami degradasi.
Dengan bayangan itu saya kemudian paham, kenapa saya tiba-tiba mendapat predikat cebong abal-abal. Selama ini kalau saya memuji kinerja Jokowi, ditambah mengritik dan mengolok-olok Prabowo Subianto, maka robot-robot virtual Sisdukbong tadi bekerja membuat catatan amal saya. Dari akumulasi catatan amal tersebut sistem itu tanpa saya sadari ternyata memasukkan saya sudah sebagai kategori cebong seleb medsos sejati.
Nah, ternyata di luar dugaan mengritik pilihan Jokowi atas Ma’ruf merupakan sebuah minus point yang sangat besar, sampai-sampai saya tiba-tiba turun pangkat menjadi cebong abal-abal.
Setelah pangkat saya turun, para cebong mencoba meyakinkan saya untuk tidak golput. “Golput itu ndak punya pendirian, dan tidak bertanggung jawab.” “Golput itu merusak demokrasi.” “Kalau kamu golput, nanti Donald Trump yang akan jadi presiden. Eh, salah, Prabowo yang akan jadi presiden.”
Masih ada banyak lagi fatwa hasil ijtima’ para cebong yang saya terima soal golput. Intinya, para cebong tidak menginginkan cebong lain, baik yang berpangkat sejati maupun abal-abal untuk golput. Cebong yang sudah diturunkan pangkatnya menjadi cebong abal-abal—seperti saya khususnya, sangat potensial untuk menjadi golput. Karena itu, para cebong bekerja keras untuk menasihati, memberi tausiyah agar saya tidak tersesat menjadi cebong golput.
Saya kemudian mencoba memahami ini dari algoritma reward and punishment dalam Sisdukbong tadi. Kalau kamu adalah cebong sejati, tapi mulai menunjukkan gejala kurang setia, kamu segera akan mendapat hukuman turun pangkat menjadi cebong abal-abal. Tapi dalam algoritma itu juga tersedia “sub-loop” welas asih antar-cebong.
Maksudnya, seburuk-buruknya kamu sebagai cebong, mereka ingin tetap menjagamu agar selalu tetap jadi cebong. Karena itu mereka tidak gampang main “pecat”, mengeluarkan kamu dari persaudaraan para cebong. Kalau kamu diturunkan pangkat, atau dibully, itu semata-mata merupakan upaya para cebong untuk mengembalikan kamu ke cebong yang berenang lurus kembali. Bukan cebong yang suka bermanuver ke sana ke mari.
Algoritma Sisdukbong ini sepertinya juga dilengkapi dengan mekanisme pendeteksian para kampret. Ada beberapa cebong yang memberi peringatan bahwa sekarang banyak kampret yang menyamar sebagai cebong palsu, yang tujuannya adalah mengajak para cebong galau dan cebong abal-abal untuk golput.
Algoritma deteksi kampret ini juga sepertinya disusun dalam semangat welas asih para cebong. Mereka sungguh berbaik sangka, bahwa para kampret tidak sedemikian nista—menyamar jadi cebong untuk mengubah seorang cebong agar bermutasi jadi kampret. Kampret, dalam sistem deteksi ini, diasumsikan hanya akan menggoda para cebong galau dan abal-abal, untuk menjadi golput, tidak akan mempan untuk para cebong sejati.
Nah, saya mendeteksi adanya semacam bug dalam algoritma Sisdukbong ini. Bug itu membuat sistem kesulitan mengidentifikasi saya, apakah saya ini cebong galau, atau kampret yang menyamar jadi cebong. Kalau menurut history lini masa saya, sebenarnya sulit untuk mengidentifikasi saya sebagai kampret, karena rekam sejak saya membuat saya sempat masuk ke deretan cebong seleb dengan kualifikasi sejati.
Dugaan saya, ada “sub-loop” lain dalam algoritma ini, yaitu untuk keadaan darurat, di mana para cebong dalam keadaan panik. Pilihan Jokowi pada Ma’ruf yang sebenarnya di luar dugaan atau ekspektasi para cebong membuat “sub-loop” ini mendadak teraktivasi lagi secara otomatis. Inilah yang jadi bug dalam algoritma tadi. Akibat adanya bug ini posisi saya menjadi double degree, antara cebong galau dan kampret yang sedang menyamar jadi cebong.
Satu hal yang belum saya temukan dalam algoritma Sisdukbong ini adalah mekanisme pendeteksian kampret, dan langkah-langkah untuk menariknya agar jadi cebong. Sisdukbong sepertinya hanya didesain untuk bertahan, yaitu agar jumlah cebong yang sudah ada tidak lagi berkurang. Tidak ada mekanisme untuk menambah cebong.
Jadi, kalau mereka menemukan kampret, reaksinya tunggal, yaitu: bully. Kerjai kampret sampai mereka menderita sebagai kampret. Tidak ada mekanisme untuk membuat kampret merasa nyaman di dekat cebong, kemudian perlahan berubah jadi cebong.
Bagi para cebong, kampret itu abadi, mereka suci. Kalau mereka kampret, ya biarlah mereka begitu. Cebong tidak memerlukan tambahan anggota baru. Ini mungkin sebuah sistem pertahanan juga. Seperti cara kerja alam bekerja, bahwa cebong itu ada karena kampret ada. Sebaliknya, kampret ada karena ada cebong. Kalau semua kampret berubah jadi cebong, maka hukum co-existence tidak lagi terpenuhi, sehingga cebong akan punah dengan sendirinya.
Cebong tak ingin kampret berubah jadi cebong. Mereka hanya ingin agar jumlah kampret tidak lebih banyak dari cebong dan bikin kampret sebagai sandbag untuk kemarahan mereka sendiri bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Apalagi jika kemarahan itu muncul dari sosok yang mereka puja-puja sendiri.