600 Ribu Lebih Peserta BPJS di Malang Dicoret. Negara Ini Maunya Apa, sih?

Pada 2019, 18 ribu lebih peserta JKN KIS di Pasaman dicoret. Masih di tahun yang sama, Dinsos Kabupaten Gresik mencoret 717 peserta BPJS PBI. Lalu, pada 2021, 24 ribu warga miskin Bone dicoret dari peserta BPJS PBI.

600 Ribu Lebih Peserta BPJS di Malang Dicoret MOJOK.CO

Ilustrasi 600 Ribu Lebih Peserta BPJS di Malang Dicoret. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO Akhir Juli 2023, sebanyak 600 ribu lebih peserta BPJS PBID di Malang dicoret. Duh, negara ini maunya apa, sih? Kebijakan yang membunuh mereka yang bergantung kepada asuransi plat merah ini.

Huru-hara dunia kesehatan Indonesia rupanya baru dimulai setelah RUU Kesehatan disahkan. Terbaru, akhir Juli 2023 lalu, pemerintah Kabupaten Malang telah menonaktifkan sebanyak 679.721 peserta BPJS PBID (Penerima Bantuan Iuran Daerah). Setelah dilakukan klarifikasi akun, sebanyak 419 ribu peserta telah dicoret dari PBID. Mereka diminta untuk mendaftar BPJS Mandiri.

Hal ini disebabkan Kabupaten Malang memiliki utang yang mencapai Rp84 miliar, imbas tunggakan sebesar Rp25 miliar tiap bulan dari BPJS. Padahal, Bupati Malang, pada bulan Maret 2023 kemarin telah mendapatkan penghargaan UHC Award. Malang mendapatkan penghargaan ini setelah berhasil meng-cover sebanyak 97,26% lebih penduduk dan jumlah peserta BPJS sebanyak 660 ribu lebih jiwa lewat mekanisme PBID tadi.

Lah, ini baru saja menang, tapi kenapa datanya bermasalah? Program yang seharusnya bisa menolong para penduduk kurang mampu ini, malah menjadi bumerang buat mereka yang sudah telanjur bergantung pada program BPJS.

BPJS sebetulnya sangat bermanfaat

Secara nasional, sejak diselenggarakannya dari 2014 sampai Maret 2023 kemarin, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan telah berhasil mencangkup lebih dari 90% penduduk. Terdapat 248,77 juta jiwa atau 90,34% dari total 275,3 juta penduduk menjadi anggotanya. Capaian ini mengalahkan Korea Selatan yang perlu waktu 12 tahun untuk mencapai 97,2% penduduk, Jepang selama 36 tahun untuk meng-cover 100% penduduk, dan Jerman, selama 127 tahun, baru mencapai 85% penduduk.

Pak Jokowi juga tidak main-main perihal Jaminan Kesehatan Nasional ini. Keseriusannya menitis pada beberapa kebijakan. Pada 2022 kemarin, lewat instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN, beliau mewajibkan BPJS sebagai syarat wajib layanan publik seperti pembuatan SIM, STNK, pengurusan jual beli tanah, hingga ibadah haji.

Lewat Instruksi Presiden itu pula, beliau meminta 30 lembaga untuk mendukung program BPJS ini. Termasuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota. Pak Jokowi menyebut pendanaan untuk optimalisasi ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Masalah baru yang muncul

Sayangnya, instruksi ini tampaknya tidak berjalan mulus ketika jumlah peserta makin meningkat dari tahun ke tahun. Penambahan peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI), menjadi masalah baru. Kasus yang ada di Malang bukan kali pertama pihak pemerintah mencoret kepesertaan anggota BPJS. Anda, bisa dengan mudah mencarinya lewat Google dengan kata kunci: “Mencoret Anggota BPJS PBI”.

Saya coba tuliskan beberapa. Pada 2019, 18 ribu lebih peserta JKN KIS di Pasaman dicoret. Masih di tahun yang sama, Dinsos Kabupaten Gresik mencoret 717 peserta BPJS PBI. Lalu, pada 2021, 24 ribu warga miskin Bone dicoret dari peserta BPJS PBI. Satu lagi, masih di tahun yang sama 2021, sebanyak 5.270 warga Kebumen peserta BPJS PBI diberhentikan kepesertaannya.

Kasus serupa mungkin akan terus berlangsung ketika beban anggaran dari peserta BPJS PBI ini mulai tidak masuk akal. Verifikasi peserta kemudian dilakukan untuk menyaring penduduk yang benar-benar memerlukan. Sisanya yang tidak sesuai kriteria, disuruh untuk menjadi peserta mandiri.

Apa yang terjadi di Malang?

Mari bicara soal anggaran yang ribet ini. Sebelum RUU Kesehatan pada Juli 2023 lalu disahkan, komitmen negara untuk membantu rakyat kurang mampu lewat kepesertaan BPJS PBI ini terpatri pada UU No. 36 Tahun 2009. Begini bunyinya:

Pasal 171, ayat 1: Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. Ayat 2: Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.

Kalau kita berhitung anggaran Kabupaten Malang tadi, mengikuti mekanisme mandatory spending, dengan APBD Pemerintah Kabupaten Malang pada 2023 yang mencapai Rp4,7 triliun. Seharusnya ada Rp470 miliar bisa disisihkan untuk biaya kesehatan. Anggaplah sebagian besar biaya telah terpotong untuk pengadaan alat kesehatan, pembangunan, vaksin, dan lainnya. Kita masih patut menanyakan, apakah hanya Rp5 miliar kemampuan APBD Kabupaten Malang untuk pembiayaan BPJS?

Sayangnya, komitmen mandatory spending itu telah terhapus lewat mekanisme Omnibus Law RUU Kesehatan baru kemarin. Haluan anggaran kesehatan berubah menjadi anggaran berbasis kinerja, money follow program. Padahal, semangat dari pembuatan mandatory spending pada UU No. 36 tahun 2009 adalah komitmen negara untuk menyisihkan sekian persen anggaran untuk kesehatan. Eh, tapi malah dihapus.

Apa tidak malu, Indonesia?

Kata Juru Bicara Kemenkes, dr. M Syahril, tidak adanya persentase angka dalam UU Kesehatan, bukan berarti anggaran itu tidak ada. Katanya, semua tersusun rapi berdasarkan rencana induk kesehatan dan berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome. Tepat sasaran, dan tidak buang-buang uang.

Padahal, secara nampak, health spending yang dihabiskan negara jelas sangat berpengaruh kepada taraf kesehatan. Coba kita tarik satu indikator berupa angka harapan hidup. Nyatanya, health spending berhubungan dengan tingginya angka harapan hidup pada 30 lebih negara anggota Organization of Economic Co-operation and Development (OECD). 

Angka harapan hidup yang tinggi tercermin pada negara-negara dengan health spending tinggi, seperti Jepang, Spanyol, dan Korea. Begitu pula dengan tingginya GDP per kapita yang dimiliki negara, yang juga berhubungan positif dengan tingginya angka harapan hidup. Anda bisa membacanya di sini.

Beberapa negara berpendapatan tinggi menunjukan data yang tidak mengikuti kurva, seperti Amerika Serikat dan Rusia. Terdapat faktor lain terkait sistem kesehatan mereka yang berbeda dengan negara-negara OECD kebanyakan. 

Lalu, Indonesia yang health spending dan GDP-nya rendah ini, apa tidak malu jika malah menghapus mandatory spending? Yakin anggaran kesehatan kita tembus 10%?

Berapa banyak orang bisa membayar iuran BPJS?

Mirisnya persentase kemiskinan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Apalagi potensi peserta yang seharusnya ditanggung BPJS PBI juga seharusnya semakin bertambah. Coba kita membayangkan kondisi masyarakat kita kebanyakan. Berapa banyak, sih, yang mampu membayar BPJS secara mandiri? Jika satu keluarga berisi 4 orang termasuk 2 anak, untuk BPJS Kelas 3, kepala keluarga harus membayar sebanyak Rp140 ribu per bulan.

Tapi, bagi seorang buruh harian yang satu hari hanya mendapat Rp100 ribu, nominal Rp140 ribu tersebut sudah menjadi beban. Lalu, bagaimana jika seseorang yang memang butuh bantuan BPJS lalu kemudian tidak masuk kriteria pemerintah? 

Padahal, tujuan utamanya adanya JKN adalah memberikan perlindungan finansial untuk warga negara. Jika pelaksanaannya kurang tepat, potensi warga negara mengalami out-of-pocket health spending (pengeluaran biaya dari kantong sendiri untuk biaya kesehatan) dan halangan finansial untuk mengakses layanan kesehatan bisa makin memburuk. Ditambah, menurut data WHO, kini 930 juta orang atau 12,7% populasi dunia mengalami catastrophic health spending akibat pengeluaran dana kesehatan yang melebihi 10% anggaran rumah tangga mereka.

Orang miskin semakin banyak

Lebih jauh, pada studi yang membahas 133 negara, pada 2000, 2005, dan 2010 secara global catastrophic health spending proporsinya selalu bertambah. Lalu bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Mengingat persentase orang miskin di Indonesia pada Maret 2023 sebanyak 9,36%, atau 25,9 juta orang, ditambah pada 2021 kemarin jumlah penduduk di Indonesia yang menjadi peserta BPJS PBI sebanyak 38,46%.

Ya, masalah JKN ini memang pelik dan global. Masing-masing negara sedang mencari versi terbaik sesuai kebutuhan mereka. Negara yang universal health coverage-nya sudah matang seperti Jepang dan Perancis pun perlu penyesuaian yang terus-menerus untuk pembenahan pelayanan dan perlindungan finansial.

Lalu, Indonesia yang sudah menghapus mandatory spending ini maunya apa? Mencoret peserta BPJS PBI supaya anggaran APBD dan APBN bisa digunakan untuk hal lain? Menambah biaya premi BPJS? Menambah peserta mandiri? Sementara masih banyak penduduk yang bekerja hanya sekedar menambal rasa lapar.

Penulis: Prima Ardiansah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Ngurus SIM dan STNK Wajib BPJS Adalah Akal-akalan Penguasa Untuk Melibas Gengsi Orang Miskin dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version