MOJOK.CO – Jaka Tarub adalah seorang pria straight yang sedikit terlambat kawin. Ahli manipulasi, tapi malah mendapat kesan sebagai sosok protagonis.
Perkara mandi di ruang terbuka hijau itu sebenarnya dilarang di bumi. Kita tidak tahu kapan drone milik Google terbang memotret sebuah lokasi atau ada orang asosial yang nggak sengaja ngintip waktu mau berburu rusa.
Dan pada saat yang sama, kok kebetulan para bidadari sedang bercengkrama dalam air pada hari itu ada, kecipak-kecipuk mengibaskan rambut sambil bersenandung diobok-obok-airnya-diobok-obok.
Sebagai perempuan dengan profesi sehari-hari adalah bidadari khayangan, perbuatan ini mungkin dianggap kesenangan yang lumrah. Maklum bidadari perutnya kenyang, hatinya senang, jadi penderitaan hidup tidak menghalanginya berbuat gembira.
Tak masalah kalau perbuatan mereka di bumi dapat bakal diceritakan berulang-ulang selama berabad-abad kemudian.
Tentu bukan karena manusia bumi suka ghibah, tapi karena manusia bumi seperti saya, berlagak mengambil hikmah tapi sebenarnya mengorek-ngorek masalah yang sudah selesai demi kelancaran dunia dongeng dan tulis-menulis.
Jadi kali ini saya akan menguak tabir di balik daun, di mana Jaka Tarub mengintip bahu perempuan-perempuan bidadari yang gembira saking kenyangnya, dan mengambil selendang serta baju milik salah satu dari tujuh bidadari yang hari itu mandi-mandi cantik di sebuah telaga di dalam hutan.
Di kemudian hari kita tahu nama bidadari pemilik pakaian dan selendang yang dicuri itu adalah Nawangwulan. Perkara apa dia yang paling cantik di antara tujuh bidadari lainnya atau seluruh bidadari ini kembar semua… tidak ada yang tahu.
Jangankan kita, Jaka Tarub juga tidak tahu. Karena bagi Jaka Tarub yang hari itu masih perjaka dan sudah lama ingin punya istri, siapapun dari tujuh bidadari yang mandi-mandi itu tidak masalah, sepanjang dia perempuan adanya.
Ya, Jaka Tarub adalah seorang pria straight yang sedikit terlambat kawin dalam sejarah terkenal ini. Dan karena itu pula, dia jadi sedikit bodoh dan kotor dengan tiga periode hal di bawah ini. Hal-hal yang—anehnya—diterima gitu saja oleh kita semuwa.
Mencuri selendang dan baju seorang perempuan padahal tidak tahu perempuannya yang mana
Ada beberapa hal yang menganggu pikiran saya sehingga saya mencurigai kewajaran tindakan Jaka Tarub. Hampir semua orang menerima kisah Jaka Tarub dan sekaligus menganggap biasa-biasa saja perbuatannya itu.
Saya tidak, saya justru mempertanyakan tindakan perjaka dari Tarub ini, yang tidak jadi berburu rusa hari itu, hanya karena mendengar ada suara-suara ramai perempuan-perempuan bercengkrama di dalam hutan.
Terbiasa mengintip rusa tanpa ketahuan, Jaka Tarub memiliki keahlian mengamati dari balik dedaunan tanpa membuat korbannya terganggu atau merasa feeling-nya mendadak tidak enak.
Bidadari sakti yang mampu mengubah setangkai padi menjadi seperiuk nasi ini tidak tahu pakaian dan selendangnya di atas batu telaga diam-diam dicuri oleh seorang manusia. Si manusia yang mencuri lebih tidak tahu lagi itu selendang dan pakaian siapa di antara tujuh bidadari itu.
Tujuan Jaka Tarub mencuri adalah agar salah satu dari bidadari itu tidak bisa kembali ke khayangan. Jika tidak bisa kembali ke khayangan tentu pilihan yang tersisa adalah sang bidadari ikut dengan Jaka Tarub ke rumahnya.
Jaka Tarub sendiri tidak tahu itu bakal bidadari yang mana, karena semuanya cantik maka tidak masalah dengan yang mana dari mereka.
Inilah keanehan Jaka Tarub dalam memilih perempuan yang hendak dia tangkap. Dia tidak dapat membedakan wajah apalagi kepribadian. Baginya yang manapun tidak masalah, itu sebab dia mencuri selendang dan baju seorang perempuan padahal tidak tahu perempuannya yang mana.
Alih-alih kenalan, Jaka Tarub malah menolong orang yang barangnya dia curi
Menurut tradisi di kampungnya, Jaka Tarub adalah pria yang seharusnya sudah menikah. Dia hidup asosial di sebuah pondok di pinggir hutan dan profesinya adalah pemburu. Sehari-hari dia berada di dalam hutan, bukan pergi ke tempat keramaian.
Jaka Tarub terbiasa sendiri sehingga secara psikologis dia tidak biasa bergaul begitu saja dengan orang lain, terlebih perempuan. Ini yang menyebabkan dirinya belum juga menikah, karena tidak banyak orang yang dia kenal, ibunya pun telah tiada untuk membantunya mencarikan jodoh.
Namun keinginan hatinya adalah hidup wajar seperti pria pada umumnya, yaitu memiliki istri dan tentunya keturunan. Keinginan ini menguasai dirinya, tapi alih-alih masuk kampung ke luar kampung agar dilihat banyak orang tua yang punya anak gadis, Jaka Tarub hanya keluar masuk hutan berburu rusa.
Sampailah hari itu dia masuk ke hutan yang paling dalam yang jarang dikunjungi manusia. Sayup-sayup Jaka Tarub mendengar suara banyak perempuan tertawa, bernyanyi dan mengobrol dengan riang. Seperti pada umumnya pria yang ingin menikah yang mendengar suara perempuan beramai-ramai tentu timbul rasa ingin tahu.
Terbiasa mengintai mangsa, Jaka Tarub mengintai dari celah dedaunan. Tampaklah tujuh bidadari yang mandi-mandi dan bercengkrama.
Di mata Jaka Tarub mereka semua cantik, mungkin karena dia memang hanya tahu menilai lawan jenis lewat wajah dan tubuh semata. Hanya tahu menilai lawan jenis lewat wajah dan tubuh semata menyebabkan yang terdorong dalam diri Jaka Tarub adalah nafsu dan ego untuk memiliki.
Sebagai seseorang yang asosial dan tidak memiliki kemampuan bergaul, Jaka Tarub tidak memiliki kecakapan komunikasi yang mumpuni. Sebagai seorang pemburu rusa, yang dia pahami hanya menjebak mangsa. Itu sebab alih-alih berkenalan, Jaka Tarub memilih mencuri lalu menolong orang barangnya dia curi.
Sebagai pria dusun yang terbatas akses dan daya tariknya, maka menjadi pahlawan saat seseorang kesusahan akan membuat dia cepat diterima, dipercayai sekaligus dihargai.
Timbullah taktik untuk mencuri salah satu dari tujuh onggok pakaian di atas batu telaga itu, menyembunyikannya lalu nanti saat semua bidadari panik, Jaka Tarub akan nongol seolah-olah tak sengaja melewati telaga itu untuk membantu sang bidadari ke luar dari masalahnya.
Bidadari itu tentu tidak punya pilihan lain selain menerima dengan pasrah kondisi yang dia punya. Maka sudah pasti kehendak Jaka Tarub lah yang terjadi.
Mengapa Jaka Tarub tidak mengambil cara lain?
Jika Jaka Tarub seorang yang percaya diri tentu dia akan memperkenalkan dirinya sebagai manusia yang sedang berburu dan bertanya mengapa para bidadari mandi di kawasan hutan yang belum tentu aman untuk mereka.
Jika Jaka Tarub pria yang berbudi luhur, tentu dia tidak khawatir reaksi terburuk dari bidadari karena niatnya mulia memperingatkan para bidadari dari kemungkinan yang membahayakan mereka di dalam hutan.
Jika Jaka tarub tidak memiliki niat buruk dalam mewujudkan keinginan hatinya, tentu Jaka Tarub akan menggunakan cara-cara gentleman seperti misalnya mengambil rasa percaya orang tanpa harus memanipulasi mereka.
Jika Jaka Tarub seseorang yang tidak bertujuan egois untuk mendapatkan seseorang yang hendak diperistri, tentu dia akan memilih cara mulia agar rumah tangganya diberkati langit dan bumi, bukan menipu seseorang dan lalu tampil sebagai pahlawan seolah-olah hanya dia yang layak dipilih.
Jadi yang dilakukan sesejaka Tarub adalah tindakan tidak fair. Jaka Tarub membuat sebuah tindakan tidak terpuji untuk mendapatkan seorang perempuan yang tidak menyangka ada “dunia manipulatif pria”.
Jaka Tarub mengkondisikan diri sebagai pahlawan yang menyelamatkan harga diri si perempuan dengan memberikan pakaian, sehingga si perempuan berkata, “Jika ada yang memberikanku baju di hutan yang sepi ini, maka jika dia perempuan akan aku angkat jadi saudara, jika lelaki akan aku jadikan suami.”
Dan sudah dapat ditebak yang datang kemudian adalah lelaki kebelet kawin.
Memilih tempat yang tidak kondusif untuk menyembunyikan barang bukti
Perempuan sering menjadikan seorang pria yang tampil sebagai penyelamat marwah atau hidupnya sebagai suami. Ternyata sebenarnya si prialah orang yang menyebabkan si perempuan kehilangan kesempatan emas dalam hidup.
Si pria mencomot perempuan untuk dimasukkan ke dalam hidupnya agar dirinya tidak sepi dan tidak mati kering sebagai sebatang kelamin. Untuk kepentingan siapa? Ya pria itu sendiri.
Niat yang seperti ini yang tidak akan membahagiakan seorang perempuan menjadi istri. Karena si pria sadar atau tidak sadar, menjadikan istrinya pelengkap dan hanya untuk memenuhi ego jantan: aku punya istri, aku nggal mati kering sendiri, di mata masyarakat aku kepala keluarga. Istri pun tidak ditanyai harapannya apa.
Pria hanya ingin kebutuhan dan keinginannya yang dipenuhi oleh si istri. Kebanyakan istri menerima dinikahi, persis seperti Nawangwulan yang harus bersyukur ada yang memberinya baju di tengah hutan. Tanpa dia tahu si pemberi baju adalah orang yang mencuri pakaian dan selendangnya.
Menjalani kehidupan sebagai manusia dengan predikat istri, Nawangwulan tampaknya menerima itu sebagai takdir yang harus dijalani sebaik-baiknya.
Seperti apapun dia merasa berat dan rindu tempat asalnya, dia tidak punya pilihan lain selain berterima kasih kepada orang baik hati yang telah menolongnya, yaitu Jaka Tarub. Maka dia harus membalas dengan berkah dari khayangan agar kehidupan rumah tangganya ringan dan bahagia bagi penyelamatnya, yaitu Jaka Tarub.
Manusia makan nasi dan itu pasti menghabiskan stok pangan nasional. Kemiskinan dan kesusahan manusia berasal dari perut, itulah pertimbangan Nawangwulan menyulap sebatang gabah.
Ada yang menyebut juga sebutir padi, menjadi seperiuk nasi. Stok pangan keluarga mereka terjaga dengan keajaiban ini, karena jumlah beras yang mereka gunakan tiap hari hampir tidak mengurangi hasil panen mereka tiap musim.
Jaka Tarub melihat lumbung mereka semakin meninggi bukan semakin menipis. Seperti apapun hasil panen mereka, mereka tidak khawatir kekurangan. Tarub berbahagia karena berkah kesaktian bidadari seperti ini.
Kita tidak tahu, apakah Jaka Tarub di dalam hatinya bahagia dengan penuh syukur atau bahagia dengan euforia. Jika dia bahagia dengan penuh syukur tentunya dia akan sadar untuk menjaga apa yang dia terima dengan berhati-hati bertindak dan berpikir agar bahagia itu tidak hilang karena kebodohan atau kecerobohan.
Tapi jika dia bahagia dengan euforia sudah pasti dia berkeyakinan apa yang dia peroleh tidak mungkin hilang dan apa yang dia miliki dalam hidup tidak mungkin akan berubah.
Suatu hari Nawangwulan menanak sebatang gabah lagi di dalam periuk. Setelah bertahun-tahun hidup bersama dengan penampilan manusianya, Nawangwulan melahirkan seorang anak perempuan untuk Jaka Tarub yang mereka beri nama Nawangsih.
Pagi itu, di rumah pinggir hutan yang terpencil, Jaka Tarub terlihat bermain-main dengan putri terkasihnya sambil sang ibu yang bidadari menanak nasi. Teringat dia harus ke sungai untuk mencuci, Nawangwulan menitipkan nasi yang ditanak itu ke suaminya dengan pesan untuk tidak membuka tutup kukusan nasi. Tarub mengiyakan dan Nawangwulan segera ke sungai.
Seperti kisah yang kita ketahui, teringat akan nasi yang dimasak istrinya, Jaka Tarub ke dapur dan timbullah rasa penasarannya mengapa Nawangwulan mewanti-wantinya untuk tidak membuka tutup kukusan nasi.
Bagaimana cara dia mengetahui nasi itu masak atau tidak jika tidak membuka tutup kukusannya?
Mudah ditebak, Jaka Tarub tentu membuka tutup kukusan dan hal itu walau terlihat sepele, tapi melanggar ketentuan yang diutarakan istrinya sebelumnya.
Inilah keteledoran Jaka Tarub yang menganggap ketentuan yang disepakati sebagai hal yang sepele. Akibatnya kita ketahui bersama. Kesaktian bidadari Nawangwulan lenyap, stok pangan keluarga menipis dan jumlah beras di lumbung habis dengan cepat.
Apa yang terjadi setelah beras di lumbung habis? Rahasia terkuak, apa yang culas dan disembunyikan nampak dengan sendirinya. Di sinilah kejatuhan Jaka Tarub.
Diawali karena menyepelekan kesepakatan dengan sang istri, Jaka Tarub akhirnya dikutuk oleh kegirangannya menikmati hidup dari memanipulasi orang lain.
Nawangwulan lantas mengambil selendang untuk terbang meninggalkan orang yang berlagak pahlawan tapi justru merupakan penjahat sebenarnya di kisah ini.
BACA JUGA Ustaz Akhir Zaman dan Dongeng Dukhon Hari Kiamat Mereka atau tulisan Estiana Arifin lainnya.