Merasa tidak berhak “memakan” subsidi
Ada kawan yang tak mau makan subsidi, yang dia anggap sebagai bukan haknya. Meski mobilnya cuma masuk dalam kelas bawah, dia tetap yakin harus beli yang non-subsidi.
Baginya, subsidi hanya untuk orang yang berhak, yang kebanyakan dalam keadaan papa. Dia nggak papa-papa amat, makanya merasa tak berhak.
Kurang kisah nasionalisme dan kepahlawanan apa yang ada di situ? Bahkan ada teman PNS yang memaksa dirinya untuk selalu beli Pertamax. Katanya, dia malu. Sudah digaji oleh negara lewat pajak rakyat, masak masih mau makan subsidi rakyat pula?
Makanya, meski hanya bermotor, tetap saja dalam hati dan kesadaran terdalamnya dia membeli Pertamax.
Bukan hanya sebagai ajang kecintaan dan heroisme
Di sana, ada semacam pembagian kelas yang jelas antara pembeli Pertamax dan Pertalite. Lihat saja wajah penuh curiga beberapa petugas SPBU yang dengan lantang menanyakan barcode ketika orang mau beli Pertalite. Mukanya sering kayak menindas, seakan berkata kalau mau yang subsidi taatlah pada mekanisme yang ada, barcode!
Atas semua itu, eh ternyata kasus korupsi di atas menjelaskan secara mudah. Pertamax yang Anda dan kawan-kawan saya beli, ternyata kualitasnya subsidian. Kualitas kacrut, oplosan!
Bayangkan wajah nasionalisme teman saya yang PNS itu. Ketika tahu bahwa nasionalismenya nggak berguna. Bayangkan betapa hancur hati kawan saya lainnya, yang dari dalam dirinya terpancar “kepahlawan lugu” yang dia berikan selama ini untuk negara. Ternyata, rasa kepahlawanan di dalam dirinya jadi korban keculasan.
Soal kepahlawanan yang kena keculasan, saya sekarang malah membayangkan sebaliknya. Yakni keculasan yang sok pahlawan.
Nasionalisme posisi
Ada yang pernah dengar lagu “Sontoloyo” yang dirilis di tahun 2020? Silakan berselancar di Google atau YouTube. Sambil mendengarkan lagunya, bayangkan Anda berada dalam konteks tahun 2020, ya.
Saat itu, Jokowi masih dianggap musuh oleh orang-orang tertentu dan dipuja oleh orang-orang tertentu lainnya. Lagu itu ditulis dengan rasa nasionalisme kritis pada negara, alias Jokowi, yang berlaku sontoloyo.
Namun sekarang, orang-orang tersebut sudah bertukar kursi dan pujaan. Makanya lagu “Bayar Bayar Bayar” dianggap oleh si bapak itu sebagai potensi pelanggaran atas konsep kritik konstitusional.
Jiwa nasionalisme si bapak menjelaskan bahwa di balik lagu itu menyimpan potensi bahaya merusak kepercayaan pada institusi negara. Dia mungkin lupa dengan lagu “Sontoloyo”-nya.
Jawabannya mungkin sebenarnya sederhana. Bukan isi dan kritiknya yang jadi persoalan, tetapi Anda sedang berdiri di mana. Keculasan itulah yang akan membedakan konstitusionalitas suatu kritik.
Posisi yang akan menentukan jiwa nasionalisme akan diarahkan ke mana. Nasionalisme posisional mungkin bisa jadi istilah buat yang jenis ini.
Menjelaskan nasionalisme rasional
Tetapi, nasionalisme bukan hanya soal keluguan dan posisi. Ada banyak jenis nasionalisme lainnya. Salah satunya nasionalisme rasional.
Adalah rasional bagi seseorang merasa ada masalah di Indonesia. Dia lantas merasakan juga kesempatan di dalam negeri tak lagi sama. Apalagi ada kondisi yang menekan. Makanya, dia memilih lari ke luar negeri.
Kejadian itu sama sekali tidak serta merta menghilangkan rasa nasionalisme. Jadi, kalau ada pejabat yang buru-buru mengatakan “kabur aja dulu” sebagai tindakan tidak nasionalis dan sekalian saja tak usah pulang, saya berharap dia mau mengucapkan itu di hadapan Pak Presiden kita.
Kita semua ingat, beliau beserta ayahnya mendapatkan problem di dalam negeri. Kasus tersebut membuat sang ayah mengorbankan nasionalismenya dengan masuk ke hutan hingga ke daerah Jambi, dan akhirnya mampu menyeberang dari Bungo ke Singapura di tahun 60-an.
Peristiwa yang sama menimpa Pak Prabowo juga. Kala itu, dia dihimpit oleh kasus yang melibatkan rezim Soeharto, dugaan penculikan aktivis, hingga akhirnya memilih ke Yordania. Di sana, dia mendapatkan status warga kehormatan dari Raja Yordania di Desember 1998.
Apalah karena kejadian itu kita lantas bisa menyimpulkan bahwa Pak Prabowo tak punya semangat nasionalisme? Atau mungkin si pejabat itu mengatakan dan menjelaskan ke Pak Prabowo bahwa jangan pulang sekalian?
Menghayati perasaan masing-masing
Memang, nasionalisme itu bentukan yang terbayang. Komunitas terbayang, dalam istilah Ben Anderson. Bisa jadi, setiap orang tentu saja dapat mengkontekskan masing-masing nasionalisme-nya.
Makanya, ketika lagu “Tanah Air” itu Anda dengarkan, silakan membayangkannya masing-masing, lantas menghayatinya lewat versi Anda. Jika ingin menangis, tak perlu ditahan. Kalian juga tidak perlu menjelaskan itu tangisan haru, muak, benci, rindu, lelah, marah, atau bangga. Toh bahtera negeri ini milik kita bersama.
Bedanya cuma satu. Ada yang rajin membocorkan kapal dan ada yang rajin menambal kapal. Ya begitulah.
Penulis: Zainal Arifin Mochtar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Haruskah Menjadi Nasionalis agar Humanis? Dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.