10 Tanda Kamu Harus Berani Nekat Meninggalkan Jakarta dan Bye-bye for Good

10 Tanda Kamu Harus Berani Nekat Meninggalkan Jakarta MOJOK.CO

10 Tanda Kamu Harus Berani Nekat Meninggalkan Jakarta MOJOK.CO

MOJOK.COJakarta memang bukan untuk semua orang. Jenjang karier dan independensi bisa membunuhmu. Yuk, mari segera kita pindah aja.

Sebuah hal tidak terduga telah menyumbang trigger pada saya untuk menimbang kembali rencana hengkang dari kota ini. Ada reels yang secara brutal pakai pakem “orang gila mana-orang gila mana”. Lalu, si kreator menyematkan kalimat yang mengandung kebanggaan bahwa dia telah merantau dari Jakarta ke kabupaten. Bukan sebaliknya ya, ini ceritanya orang Jakarta asli yang berani merantau. Begini nih reels-nya:

Oleh karena ada kalimat yang begitu melawan arus di unggahan itu, komentar pun langsung dibayar kontan sama netizen. Tentu saja ada yang bilang unggahan ini nggak jelas, nggak masuk akal, atau bahkan menganggap yang bikin konten cuma caper. Tapi, nggak sedikit juga yang rela menulis 1 sampai 2 paragraf untuk mengisahkan betapa menyehatkannya meninggalkan Jakarta di kolom komen. Ya ampun saya jadi terinspirasi.

Baik teman-temanku yang budiman, mari kita sejenak menentukan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa perasaan kita kepada Jakarta sudah terkikis.

#1 Jakarta penuh sesak sampai kamu merasa tak ada lagi ruang bernapas

“Jakarta penuh sesak” adalah metafora sekaligus ungkapan denotatif yang artinya memang demikian gila. Kota ini sepi cuma di waktu Lebaran dan itu terasa sangat tidak Jakarta. Ya gimana, lha wong menyandang status sebagai salah satu perkotaan terpadat di dunia, kok. Bahkan, kalau mau spesifik dan menyentil statistik, per kilometer persegi di Jakarta kini ditempati 16.600 manusia. Iya, emang segitu.

Dengan kondisi yang luar biasa ramai, kamu bakal merasa “sesak”. Bukan hanya karena seolah kamu tak leluasa dalam dimensi ruang, tapi juga karena makin banyak orang makin banyak problem. Dimensi kebahagiaan menyempit. Persaingan di dunia kerja yang bikin makan ati, pertemanan era-era post truth, percintaan yang liar tak terkendali, dan problem-problem pusing lainnya. Kalau begini, kehidupan telah memberimu sesak napas yang nggak ada obatnya.

#2 Waktu di Jakarta berjalan terlalu cepat

Jakarta membuat saya dalam hati berdoa: Tuhan, berikan saya 8 jam tambahan dalam sehari. Sebab, waktu di kota ini berjalan begitu cepat. Ah. Apalah itu kereta Whoosh, pace kehidupan Jakarta dong… seng gada lawan

Jika kita cuma punya 24 jam sehari, 8 jam untuk tidur, 8 jam untuk bekerja, 3 jam untuk commuting (ya maklum ini kota macet), sisanya tinggal 5 jam. Sisa waktu ini harus kita bagi untuk durasi yang-yangan, nonton drakor terbaru, baca buku biar otak nggak tumpul, scroll TikTok, dan domestikasi diri sendiri alias beberes rumah. Hashhh, mumet.

#3 Gagal irit karena digerogoti tuntutan pergaulan untuk merias diri

Receh, tapi orang-orang di Jakarta tampaknya sangat peduli dengan fesyen. Fesyen bukan isu yang simpel. Fesyen yang bagus menurut Jakartans ya fesyen yang sedang populer. Kebanyakan yang populer ya yang mahal. Bodo amat soal kualitasnya, yang penting lagi banyak diomongin.

Beberapa orang yang saya kenal lebih memilih kelaparan daripada nggak beli sepatu Adidas. Lebih memilih nggak pulang kampung daripada nggak beli New Balance. Bahkan nggak apa-apa nggak nabung yang penting tas Beyond The Vines kebeli.

Ini nggak sepenuhnya tergantung mental individu. Masalahnya, peer pressure pergaulan Jaksel terlalu kuat akarnya. Kalau nggak sanggup, ya pilihannya cuma dua. Status sosial tidak diakui atau hengkang.

#4 Sekalipun ada Tapera, mustahil punya rumah dengan mudah di kawasan kota

Beli rumah di Jakarta bukan cuma soal mahal. Mahal itu pasti, tapi kawasan yang dekat dengan lokasi kerja terlalu sulit dicari. Kamu harus merelakan tinggal di kawasan luar seperti Tangerang, Depok, Bekasi, bahkan Bogor jika memang sudah mantap ingin menghabiskan seluruh hidup di Ibu kota. Eh, tapi sebentar lagi bukan Ibu kota siih.

Ya, sekalipun ada Tapera, mungkin baru ratusan tahun kamu bisa beli rumah di kawasan Tangerang-agak-masuk-dikit-yang-luas-dan-bangunannya-nggak-seberapa.

#5 Modus minta-minta yang makin kreatif

Jakarta diisi orang-orang kreatif yang salah arah. Seorang abang-abang pernah dengan perlahan bertanya pada saya apakah saya bisa memberinya uang untuk ongkos naik bajaj. Dia bilang kehabisan uang untuk kembali ke rumahnya. 

Saya menolak karena kebetulan memang tak bawa uang, hanya e-money untuk naik bus. Meski begitu, ada perasaan bersalah yang membuat saya berdoa, semoga abang-abang tadi ditolong dan berhasil pulang ke rumahnya.

Sialnya, pada hari lain, di lokasi yang sama dan orang yang sama, abang-abang itu kembali meminta uang dengan alasan yang sama. Dalam hati saya pikir, kreatif nggak ketulungan orang-orang Jakarta. Perkara minta-minta bisa bikin skenario drama. Jika kamu terlalu baik, Jakarta bukan buatmu.

Baca halaman selanjutnya: Jakarta memang not for everyone. Pindah saja kalau tak lagi betah.

#6 Nggak kuat bersaing penghasilan sama ani-ani

Seseorang yang sudah pasti tidak bijak pernah berkata: rugi kalau di Jakarta lo nggak jadi ani-ani.

Mungkin benar, bisnis yang mudah dan profitable di Jakarta tinggal bisnis lembap. Tanpa perlu baca novel Jakarta Undercover, tinggal pergi ke kawasan GI dan Sarinah, kamu akan memahami betapa basah lahan ini.

Kalau nggak pernah berniat jadi ani-ani atau “kucing” mungkin kamu bakal stres setengah mati memikirkan kenapa orang-orang tertentu terlihat nggak kerja tapi duitnya mengalir deras kayak pakai pipa rucika.

#7 Suara bising knalpot racing di Sudirman jelang tengah malam

Saya mau minta maaf dulu, tapi saking emosinya kalau dengar knalpot racing lagi balap di Jalan Sudirman, saya latah berdoa jelek, minimal kesrempet. Jelang tengah malam sekelompok pemuda yang nggak tahu arahnya dari mana selalu saja flexing kendaraan cum knalpot berisik mereka. Sesekali berlalu lalang sambil balap.

Ini bukan masalah receh, tapi sudah dikeluhkan bertahun-tahun. Beberapa wisatawan yang menginap di hotel-hotel kawasan Sudirman agaknya juga sudah bosan mendengar polusi suara yang nggak pernah serius ditangani ini.

#8 Kamu terlalu cinta sama kendaraan pribadi

Jakarta, mungkin satu-satunya kota besar di Indonesia, yang punya moda transportasi. Kota lain cuma punya kendaraan umum buat nganterin kamu dari titik A ke B. Di kota lain, transportasi umum tidak menjadi budaya.

Oleh sebab itu, kalau terlalu mengandalkan kendaraan pribadi di kota ini, kamu bakal capek sendiri. Kemacetan itu cuma bisa kamu hindari pas Lebaran doang. Selebihnya, saran saya, adaptasi deh ke transportasi umum.

#9 Macet bikin perut kamu mulas

Kalau kamu terlalu cinta kendaraan pribadi tapi perut langsung mulas kalau lihat kemacetan, mending segera angkat kaki dari Jakarta. Sumpah, ketimbang kamu kena mental dan tua di jalan, asam lambung naik karena stres, dan emosi tak terkontrol melawan “transformer” di Jakarta, mari pindah saja. 

#10 Jakarta is not for everyone

Sok bijak memang, tapi 100% benar. Betah nggak betah di Jakarta bukan perkara kuat nggak kuat, bagus nggak bagus, atau keren nggak keren. Jakarta memang bukan untuk semua orang. 

Meninggalkan kota ini bukan selamanya hal buruk. Meskipun imajinasi manismu tentang jenjang karier dan independensi Jakarta itu tampak menggiurkan, nggak selama Jakarta menyehatkan jiwamu. Siapa tahu meski tinggal di kabupaten dengan penghasilan minimalis, “rezeki” akan datang dari nikmatnya slow living.

Jika kamu mencoba bertanya kepada orang-orang yang telah bergumul dengan kehidupan Jakarta tentang masa pensiun mereka, hampir semua akan menjawab mereka ingin pindah ke Jogja. Ya, mungkin mereka belum terpapar info klitih dan UMR yang nominalnya bikin merinding itu. Kalau mereka sudah tahu sisi gelap Jogja, mereka bakal nulis opini tentang 20 Tanda Kamu Harus Nekat Meninggalkan Jogja.

Penulis: Ajeng Rizka

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 3 Spot Terbaik Melihat Kesenjangan Kota Jakarta dari Ketinggian dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version