#6 Nggak kuat bersaing penghasilan sama ani-ani
Seseorang yang sudah pasti tidak bijak pernah berkata: rugi kalau di Jakarta lo nggak jadi ani-ani.
Mungkin benar, bisnis yang mudah dan profitable di Jakarta tinggal bisnis lembap. Tanpa perlu baca novel Jakarta Undercover, tinggal pergi ke kawasan GI dan Sarinah, kamu akan memahami betapa basah lahan ini.
Kalau nggak pernah berniat jadi ani-ani atau “kucing” mungkin kamu bakal stres setengah mati memikirkan kenapa orang-orang tertentu terlihat nggak kerja tapi duitnya mengalir deras kayak pakai pipa rucika.
#7 Suara bising knalpot racing di Sudirman jelang tengah malam
Saya mau minta maaf dulu, tapi saking emosinya kalau dengar knalpot racing lagi balap di Jalan Sudirman, saya latah berdoa jelek, minimal kesrempet. Jelang tengah malam sekelompok pemuda yang nggak tahu arahnya dari mana selalu saja flexing kendaraan cum knalpot berisik mereka. Sesekali berlalu lalang sambil balap.
Ini bukan masalah receh, tapi sudah dikeluhkan bertahun-tahun. Beberapa wisatawan yang menginap di hotel-hotel kawasan Sudirman agaknya juga sudah bosan mendengar polusi suara yang nggak pernah serius ditangani ini.
#8 Kamu terlalu cinta sama kendaraan pribadi
Jakarta, mungkin satu-satunya kota besar di Indonesia, yang punya moda transportasi. Kota lain cuma punya kendaraan umum buat nganterin kamu dari titik A ke B. Di kota lain, transportasi umum tidak menjadi budaya.
Oleh sebab itu, kalau terlalu mengandalkan kendaraan pribadi di kota ini, kamu bakal capek sendiri. Kemacetan itu cuma bisa kamu hindari pas Lebaran doang. Selebihnya, saran saya, adaptasi deh ke transportasi umum.
#9 Macet bikin perut kamu mulas
Kalau kamu terlalu cinta kendaraan pribadi tapi perut langsung mulas kalau lihat kemacetan, mending segera angkat kaki dari Jakarta. Sumpah, ketimbang kamu kena mental dan tua di jalan, asam lambung naik karena stres, dan emosi tak terkontrol melawan “transformer” di Jakarta, mari pindah saja.
#10 Jakarta is not for everyone
Sok bijak memang, tapi 100% benar. Betah nggak betah di Jakarta bukan perkara kuat nggak kuat, bagus nggak bagus, atau keren nggak keren. Jakarta memang bukan untuk semua orang.
Meninggalkan kota ini bukan selamanya hal buruk. Meskipun imajinasi manismu tentang jenjang karier dan independensi Jakarta itu tampak menggiurkan, nggak selama Jakarta menyehatkan jiwamu. Siapa tahu meski tinggal di kabupaten dengan penghasilan minimalis, “rezeki” akan datang dari nikmatnya slow living.
Jika kamu mencoba bertanya kepada orang-orang yang telah bergumul dengan kehidupan Jakarta tentang masa pensiun mereka, hampir semua akan menjawab mereka ingin pindah ke Jogja. Ya, mungkin mereka belum terpapar info klitih dan UMR yang nominalnya bikin merinding itu. Kalau mereka sudah tahu sisi gelap Jogja, mereka bakal nulis opini tentang 20 Tanda Kamu Harus Nekat Meninggalkan Jogja.
Penulis: Ajeng Rizka
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Spot Terbaik Melihat Kesenjangan Kota Jakarta dari Ketinggian dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.