MOJOK.CO – Belanja di luar rencana adalah problem kaum ibu abad ke-21. Apa yang salah dengan jalan pikir mereka? Berikut penjelasan dan pembelaan dirinya.
Mak, apa pernah kalian ke pasar niatnya mau beli kulit lumpia dan pisang, tapi saat pulang yang terbeli adalah timun, kangkung, wortel, tomat, ikan, tempe, bahkan gayung dan sikat cucian? Sementara kulit lumpia dan pisangnya malah nggak masuk keranjang belanja? Kalau iya, kita tos dulu.
Saya tipe orang yang mudah terdistraksi ketika menjalani aktivitas jual beli. Tentu saja posisi saya adalah sebagai pembeli. Kebiasaan membeli barang yang melenceng dari rencana semacam itu kadang bikin jatah belanja bulanan tak cukup sampai tanggal gajian berikutnya. Padahal saya sudah lebay menuduh Kinder Joy yang diminta paksa oleh anak sebagai penyebab cupetnya anggaran, ternyata malah kebiasaan saya belanja secara sporadis seperti itu yang jadi pangkal perkaranya.
Pertanyaan itu pernah saya lontarkan di status Facebook karena ada yang menganggap kebiasaan ini sangat buruk dan merugikan. Ini membuat saya tak enak hati dan merasa terluka. Masak iya, hanya karena persoalan belanja lantas saya disebut sebagai ibu dan istri yang tak baik? Ternyata, ada banyak (jika tak boleh dibilang hampir semua) kaum ibu yang punya kebiasaan sama: ke pasar niatnya beli apa, pulangnya bawa segala rupa kecuali yang diniatkan semula.
“Seriiing… udah bawa daftar belanja, nyampe pasar yang ada di urutan pertama nggak ada, selanjutnya buyar acara belanja sesuai daftar. Jadi, sedapatnya dibawa pulang, plus belanjaan yang tak terduga jauh dari daftar,” kata salah satu komentar di status itu. Komen senada serupa berderet-deret di bawahnya.
Tuh, kan!
Jika dihadapkan kepada pakar perencanaan keuangan seperti Safir Senduk, kebiasaan seperti ini tentu akan dibantai habis-habisan. Kesalahan fatal. Tapi, kenapa ya ibu-ibu tetap melakukannya dengan riang gembira?
Saya coba mengingat-ingat kronologi peristiwa belanja di luar rencana yang terus berulang itu dan mencoba menjawabnya.
Bisa jadi ini karena benak saya sebagai ibu sesak oleh ingatan-ingatan tentang semesta keluarga. Kami selalu memikirkan semua anggota keluarga setiap waktu. Hahaha cara membuka pleidoi yang ngeles.
Tapi, serius, para ibu ingin memberikan apa saja untuk orang-orang yang kami cinta. Biar lebih konkret, mari masuk ke contoh peristiwa.
Misalnya dalam kasus saya ingin bikin piscok lalu merasa perlu membeli kulit lumpia dan pisang, tapi malah beli hal-hal segala rupa kecuali yang dibutuhkan. Piscok adalah keinginan saya, sedangkan ketika di pasar berhadapan dengan banyak benda, ingatan saya melayang pada suami dan anak-anak di rumah.
Saya ingat, suami sudah lama tidak makan cah kangkung dan bakwan. Jadilah saya membeli kangkung dan wortel. Dan sepertinya enak juga kalau sambal hadiah dari dermawan kemarin dimakan sama lalap siang-siang. Suami pasti suka. Maka, saya tambah timun ke dalam belanjaan hari itu. Lalu supaya anak-anak makan makin lahap, saya tambahkan tempe dan ikan kesukaan mereka.
Saat hendak pulang dan melewati penjual alat rumah tangga, mendadak saya ingat anak-anak suka berebut gayung ketika mandi. Dan masuklah gayung baru ke plastik tentengan sebagai usaha seorang ibu membuat anak-anak mandi tanpa keributan. Perihal sikat cucian, itu saya beli saat ingat celana lapangan suami yang memang kotor sekali akhir-akhir ini karena ia bekerja di tanah basah.
Setelah semua kebutuhan untuk orang-orang tercinta dipenuhi, tentu saja saya merasa tenang dan cukup. Itulah sebabnya saya kemudian ngacir pulang tanpa ingat lagi niat awal: ingin membeli kulit lumpia dan pisang untuk diri sendiri. Ingatan pada kesukaan dan kebutuhan orang-orang tercinta di rumah menguasai otak saya sehingga kebutuhan saya sendiri tidak terpikir lagi. Saya mencintai mereka, maka mohon maklum kalau kadang saya jadi kehilangan logika. Asal suami dan anak-anak menjadi nyaman, apa yang telihat akan saya belikan (dengan memakai uang jatah bulanan, tentu saja).
Lain waktu, mblebernya belanjaan pada hal-hal yang tidak direncanakan disebabkan karena saya justru ingin melakukan penghematan. Misalnya, karena tidak setiap saat bawang merah diobral, ketika menemukan obral bawang merah, saya akan membelinya. Begitu juga ketika bertemu dengan obral-obral lainnya. (Sayang sekali bagian ini tidak begitu disetujui suami karena sering kali barang obral itu teronggok sia-sia.)
Tapi, kan, niat saya membeli itu untuk penghematan karena harganya yang murah. Yang penting niat, kan?
Jadi sebelum Anda menyalahkan apalagi menghujat kebiasaan kaum ibu yang suka belanja tanpa patuh anggaran, ada baiknya pikirkan dulu alasan-alasan yang mendasarinya. Kemungkinan besar kami melakukannya karena dua alasan di atas.
Untuk para bapak, daripada menyalahkan, mendingan tambah saja uang belanja kami. Supaya kami makin leluasa membahagiakan keluarga. Bukankah tujuan Anda bekerja adalah untuk keluarga? Percayalah, Anda tak akan kehilangan apa-apa dengan menambah jatah karena kami akan mengembalikannya juga dalam bentuk masakan yang enak dan limpahan cinta yang tiada habisnya. Hahaha.