MOJOK.CO – Supaya Kawasaki Ninja 250 bisa diajak ngebut, ada beberapa bagian yang perlu diganti terlebih dahulu. Jadi pembalap jalanan memang butuh modal.
Dua kali saya membeli Kawazaki Ninja 250 Sport. Ya, yang full fairing itu. Dulu, awal keluar, warnanya merah nyether, persis lipen yang dipake para biduan dangdut koplo. Saya inden sekira sebulan dan kata salesnya (entah benar, entah ndobos), saya adalah pemilik ke-24 Ninja 250 se-DIY.
Itu masih Ninja 250 karbu, belum injeksi. Setiap habis subuhan, tak selalu sih, tapi kebanyakan, saya mbalap macam Valentino Rossi dari Ringroad Wonosari, terus ke jembatan layang Janti, lalu ke timur sampai Prambanan. Ngebut beneran!
Saya memutuskan berhenti melakukan olahraga tersebut gara-gara pada suatu pagi, di tikungan tak terlalu tajam dekat kantor Kedaulatan Rakyat, dari arah barat, dalam kecepatan pol-polan, tiba-tiba nongol bakul sayur dari dalam gang dan masuk ke racing line saya terlampau nganan.
Wut-wut-wut! Astagfirullah! Saya baru ngeh saat itu, ternyata sistem pengeremannya tidak ciamik banget. Nyaris terpental, pulanglah saya sebelum finish dengan perasaan yang anjrit.
Bla-bla-bla, saya lalu beli Kawazaki ER6 hijau, cc-nya 650. Persis punya Almarhum Ustaz Uje. Niatnya buat touring. Dan touring terjauh saya bersama motor hijau itu ialah Jogja lantai dua alias Gunungkidul.
Terlantarlah itu Ninja 250 berwarna merah. Debu-debu menyelimutinya. Hanya sesekali sempat saya lirik dan membatin, “Pantesan ya, merana memang sesuatu yang ditelantarkan, tak terurus, tak terlirik, apalagi tak dinafkahi lahir batin. Bagaimana kalau hati manusia.”
Daripada merasa terus zalim, saya jual motor merah itu.
Eladalah, tahun 2017 lalu, saya kok kangen olahraga ngebut-ngebutan lagi. Saya pikir, daripada saya beli kuda dan olahraga kuda-kudaan sehabis Subuh ke Prambanan dengan risiko beolnya pating tletek di jalanan, lebih baik saya pakai motor. Lebih dekat pada an-nadhafatu minal iman. Yekan.
Lirik-lirik Ducati Monster bikin merinding. Harganya tak mencerminkan sikap wara’ sama sekali. Malu saya belinya. Sumpah, malu. Itu pun kalau ada duit. Apalagi ini, nggak ada.
Akhirnya saya pilih Ninja 250 lagi. Kali ini warnanya hitam. Injeksi. Keluar dari dealer, langsung saya bawa ke bengkel. Ganti knalpot, copot spion, dan ganti sepatbor belakang. Berkal-kali saya nonton langsung MotoGP, nggak pernah ada lho motor yang pakai spion dan sepatbor. Mau belok, ya belok aja, nggak usah lirik spion apalagi, “Kulonuwun njeh, Marquez kulo ndisiki. Senggol sisan!”
“Yo, Su!” sahut Marquez.
Kan nggak enak. Jadi, itulah perubahan simpel yang saya pilih.
Celakanya, dasar bengkelnya amatir dan saya pun sama, knalpot racing yang saya pakai hanya menang suara, tapi nggak ngangkat blas ke tenaga. Malah di tarikan rendah, bikin mbrebet. Batal sudah niat mulia saya untuk olahraga ber-Ninja 250 itu. Cuma saya pakai muter-muter dari rumah ke kampus atau rumah ke Kafe Basabasi. Udah.
Hingga suatu hari, saya kenal sama seorang mekanik andal yang baik hati. Muhammadiyah pula. Nah! Allah Mahabaik kan, selalu mempertemukan saya dengan orang yang cocok. Darinya, namanya Bang Fadli, saya akhirnya menyerahkan motor hitam itu untuk dipermak.
Saya cuma pesan, “Nggak usah ekstrem gimana, Bang, asal bisa lari maksimal aja.”
Beberapa hari saja motor itu di bengkelnya. Lalu ia serahkan ke saya dalam keadaan mulus. Maklum, di tangan saya, Ninja 250 itu nggak pernah dicuci. Di tangan Bang Fadli, dicuci kempling. Semoga kau masuk surga deh, Bang.
“Ini, Pak, sudah bisa santai untuk lari 168 kilometer per jam,” ujarnya sambil tertawa. Entah bagaimana, beliau nampak begitu tampan. Mendadak saya lupa sama ketampanan Ivan Lanin.
“Busyet, Bang, gimana ngetesnya itu?” sahut saya kaget.
Dia lalu cerita, semalam saat dini hari, ia bawa motor Ninja 250 yang udah dipermak itu ke Ringroad, dan mudah sekali mencapai kecepatan mentok itu.
Mentok?
“Ya, karena ECU-nya belum diganti, Pak,” lanjutnya. Jadi, saudara-saudara yang demen ngebut, bawaan pabrikan Ninja itu memang diset oleh ECU pada kecepatan maksimal segitu. Limiter-nya bekerja demikian.
Demi apa? Demi keamanan penunggangnya. Saya sendiri bingung. Kurang lebih penjelasannya begini, kata Bang Fadli.
Pertama, setelan tuas kopling diubah rapat. Bawaan pabrik renggang. Dengan dibikin rapat, otomatis tak ada jeda yang terbuang percuma pada setiap perubahan giginya. Begitu. Otomatis, dengan sesederhana mengubah kerapatan tuas kopling, entakan tenaganya langsung melonjak.
Kedua, knalpot asli yang terdiri dari empat kamar itu didesain dengan sengaja oleh insinyur Kawazaki untuk menghasilkan peredaman suara di satu sisi. Di sisi lain, untuk menghasilkan perputaran oksigen (udara) sebelum benar-benar terbuang ke exhaust alias knalpot. Hasilnya, bahan bakar lebih irit plus udara-panas-balik itu menyokong tambahan tenaga.
Hanya saja, dengan mengganti knalpot racing, otomatis udara-panas-balik itu hilang karena langsung nyeplos ke lubang muffler, ke wajah orang di belakang saya. Suaranya jadi nyelekit blombong—tolong bedakan ya sama blombongan RX-King—sehingga tarikan menjadi lebih cepat dapat tenaga. Dan, utamanya, karena tenaga didapat dengan cepat, napasnya pun panjang.
Ibarat kata, untuk mencapai kecepatan 100 km/jam yang standar, perlu narik gas sampai sekian RPM. Menggunakan knalpot racing, bisa didapat di bawahnya sehingga RPM bisa lebih panjang digenjot. Hasilnya, lebih kencang tentu saja.
Tapi, karena saya nggak ganti ECU (sebenarnya ECU ala racing itu sudah plug-in kok), maka batas maksimal kecepatannya ya tetap sama, 168 km/jam. Cuma, waktu mencapainya yang beda.
Jadi, kalau ingin dapat kecepatan lebih, harus ganti ECU. ECU ini berfungsi mengatur suplai injeksi bahan bakar ke kedua silinder Ninja 250. Risiko pakai knalpot racing, pada tarikan rendah, pasokan bahan bahar menjadi berkurang sehingga terdengar macam suara mbrebet, beda dengan knalpot asli yang sudah diatur terpasok cukup.
Solusinya, borosin sedikit bahan bakarnya, supaya terpenuhi kebutuhan pasokan sesuai dengan hawa nafsu knalpot racing itu.
Eman? Halah, suka mbalap kok pelit. Sana, mandi, sikat gigi, sarapan, lalu sekolah, Dik….
Di suatu malam yang larut, seusai ngaji lima juz dan memohon keselamatan kepada-Nya, Bang Fadli saya lihat sudah menyiapkan motor saya di parkiran Kafe Basabasi. Saya pun memakai helm dan peralatan yang dirasa perlu.
“Hati-hati, Pak, waspadai pengereman mendadak karena rem depannya nggak support untuk racing. Harus di-upgrade ke Brembo yang ori atau minimal limbah ori….”
“Lho, gimana, Bang? Kok baru bilang?” saya kaget di atas sadel dalam keadaan motor udah nyala.
“Ini kampas rem depannya kan sama dengan yang dipake Supra, Pak. Dan juga sistem ABS itu kan nggak sip buat balap. Tapi, nggak papa, bismillah aja….”
Saya mengangguk. Menguluk salam. Menarik gas. Brem-brem. Lalu melesat. Ya pulang. Ke rumah. Pelan-pelan….