MOJOK.CO – Toyota Alphard adalah mobil keluarga yang paling ingin saya miliki. Namun, kayaknya saya perlu upgrade penampilan biar nggak kayak sopir pribadi dulu.
Menengok arsip Instastory persis setahun lalu, ingatan saya terlempar ke suatu malam pada musim hujan penghujung Oktober. Saat itu, saya diminta berperan sebagai pengemudi untuk mengantar dan menjemput tamu kontingen peserta lomba di kampus.
Teringat kembali betapa terkejutnya saya malam itu ketika seorang teman baik sekaligus ketua pelaksana acara, tanpa tedeng aling-aling, memasrahkan sebuah Toyota Alphard untuk saya kemudikan selama seminggu dalam misi tersebut.
Sungguh, saya terkejut bahkan sempat merasa sungkan memakainya. Maklum, saya belum pernah mengemudikan atau menumpangi mobil sebesar dan semewah itu.
Namun saya tak punya pilihan untuk menolak karena hanya saya tim LO yang bisa mengemudi. Satu-satunya mobil berkapasitas tujuh penumpang yang tersedia hanya Alphard.
Rasa tegang tak tertahankan ketika perlahan saya membuka pintu pengemudi. Menginjak karpet berbahan sejenis wol tebal yang membuat merasa ingin lepas alas kaki layaknya masuk masjid. Kemudian saya mendudukkan bokong di jok kulit berwarna beige yang khawatir kalau keringat juga daki saya seketika mengotori warnanya.
Menekan tombol starter, lalu mesin empat silinder 2.400 cc yang digunakan juga pada Camry dan Harrier menyala dengan tenang dan terasa cukup hening begitu pintu ditutup rapat.
Terdapat sekian tombol pengaturan di sekujur dashboard hingga plafon. Pantas saja, ini adalah Alphard tipe G keluaran resmi Astra. Sekilas info, Alphard di Indonesia meski semua sekilas tampak sama, ada berbagai perbedaan fitur dan spesifikasi tergantung jalur masuk unitnya, entah resmi ATPM Toyota Astra Motor atau via Importir Umum (IU).
Alphard yang datang melalui IU memiliki banyak opsi tambahan sesuai pasar Jepang. Sebut saja premium sound system 18 speakers, kamera 360, jok berlapis bahan suede. Dan banyak lagi perbedaan yang bisa disimak di sini:
Sebelum berangkat, sambil menunggu mesin panas, teman baik saya ini bercerita, bahwa Alphard G kelir hitam keluaran 2012 ini adalah hasil tukar-tambah beberapa bulan lalu dengan Pajero Sport Dakar 2014 yang sempat ia pakai harian. Wah, naik kelas yang signifikan biarpun mobilnya jadi sedikit lebih tua.
Oke, sebelum berangkat saya sempat bertanya sambil mencoba-coba berbagai tombol fungsi elektrik untuk menghindari kejadian aneh-aneh akibat salah pencet.
Lalu saya coba menyetel posisi mengemudi melalui tombol jok elektrik dengan tiga fungsi memori. Gunanya untuk menyimpan pengaturan posisi mengemudi jika mobil ini dikemudikan secara bergantian antara si empunya dengan sopir pribadi.
Semua Toyota Alphard bertransmisi otomatis dari generasi awal hingga terbaru. Untungnya, saya sudah terbiasa mengemudikan mobil matik. Yang belum saya biasakan adalah ukurannya yang mengintimidasi pengemudi baru. Panjangnya hampir lima meter, lebar hampir 1,9 meter, dan tinggi 1,9 meter, dijamin jiper kalo sehari-hari cuma biasa bawa mobil kecil.
Impresi awal mengemudikan Alphard yang langsung terasa adalah kehalusan yang amat membuai, suspensi lembut mengayun, meredam gelombang dan entakan berlebih. Tenaga mengalir tanpa meluap berlebih kala pedal gas diinjak.
Saya sangat suka feeling rem yang empuk dan mampu menghentikan laju mobil dengan halus bahkan tanpa disadari penumpang. Kalau ada sopir mengerem Alphard tapi masih berasa menyentak-nyentak, berarti telapak kaki sopir itu terbuat dari batu.
Beberapa kilometer berjalan, sejurus kemudian saya berhasil beradaptasi dan merasa sudah mantap mengendalikan “lemari besar berjalan” ini. Namun ada perasaan kurang enak saban melihat spion belakang karena terpampang ruang begitu besar dan hanya ada saya sendiri mengisi kabin di tengah kegelapan malam sepanjang jalan menuju Stasiun Kiaracondong.
“Lemari besar” ini ternyata diluar dugaan memiliki respons manuver lincah untuk ukuran tubuh yang bongsor. Belok patah bahkan memutar balik tuntas dengan mudah di ruas jalanan Bandung yang tak begitu lebar. Entah mengapa, saya merasa lebih menikmati putar balik mengemudikan Alphard ketimbang Vios terbaru atau Sienta yang ukurannya jelas-jelas lebih ringkas.
Berhubung situasi Jalan Soekarno-Hatta sepi dan sudah tengah malam, saya iseng mencoba fitur cruise control. Ketika tuas digeser, mobil bisa begitu tenang jalan sendiri tanpa digas. Fitur memberi kesempatan pengemudi agar bisa duduk sila sejenak. Sangat bermanfaat untuk perjalanan jauh dengan rute tol.
Namun, image mewah Alphard membawa kutukan tersendiri bagi saya. Mungkin akibat tampang dan setelan yang kebanting dengan kemewahan mobil, membuat saya disangka sopir pribadi yang menanti kedatangan sang majikan di parkiran stasiun oleh kang parkir, juga sesama penjemput ketika mengobrol sembari rokokan.
Haiisshhh, kadung disangka sopir sekalian saja saya bawakan koper para tamu ke bagasi. Dalam posisi jok belakang tegak ternyata empat koper cabin size dan beberapa tas jinjing masih muat. Pintu bagasi pun tertutup sempurna dengan sendiri tanpa perlu dibanting berkat teknologi vacuum door. Sungguh Alphard tak diragukan lagi kepraktisan mengangkut orang bahkan barang.
Hal kurang mengenakkan lainnya terjadi ketika menunggu di salah satu hotel. Lagi-lagi mungkin karena setelan dan muka katrok saya yang lagi mengemudi Alphard dianggap kurang representatif sebagai tamu yang wajib dilayani. Sebelum masuk area lobi, saya malah diarahkan petugas keamanan untuk menunggu di ruang khusus sopir. Asem.
Kejadian lagi ketika saya masuk salah satu mall kelas menengah atas di Bandung. Saya kira mobil mewah seperti ini, terlebih dengan plat cantik dua digit akan diarahkan petugas untuk parkir di lokasi strategis sekitar lobi, atau sekadar dibantu mencari ruang yang kosong untuk parkir. Nyatanya? Boro-boro, tidak ada privilege. Buyar sudah ekspektasi saya.
Di balik rasa sebel mengalami perlakuan kurang enak di tempat umum karena dianggap sopir, sejujurnya saya ingin sekali memiliki Alphard. Cocok untuk mobil keluarga dan perjalanan luar kota. Tentu jika sudah mampu secara finansial. Dan tentu saja setelah memperbaiki penampilan fisik dan pakaian biar nggak dikira sopir pribadi.
Saat ini, melihat pajaknya yang tembus Rp11 juta per tahun untuk unit 2012 dan uang Rp200 ribu atau setara 22 liter Pertamax yang hanya mampu mengisi seperempat kapasitas tangki saja, sudah membuat ciut nyali untuk sekadar berniat punya.
Saya membayangkan mobil seperti ini rasanya bakal mantap sekali jika dikemudikan melintasi ratusan kilo ruas jalan tol Trans Jawa. Saya yakin badan dan kaki pengemudinya akan tetap segar tanpa pegal berarti setelah berjam-jam mengemudi.
Meski saya belum pernah menjajal duduk di baris kedua yang konon adalah tempat terbaik menikmati Alphard, saya yakin rasanya sangat nyaman dan mudah untuk tertidur. Asal pengemudi tidak goblok dan serampangan saat akselerasi dan manuver, mengingat suspensi lembut dan bodi besar tentu lebih berpotensi limbung.
Kini saya masih terobsesi untuk road trip bareng keluarga, di mana kedua orang tua cukup duduk manis di jok tengah, dan saya di balik kemudi Alphard menikmati sensasi halus dan tenangnya melewati ratusan kilometer perjalanan.
BACA JUGA Produk Gagal Sih Boleh, tapi Jangan Alphard Dong dan ulasan mobil lainnya di rubrik OTOMOJOK.