MOJOK.CO – Arab Saudi udah masuk fase new normal. Maklum, denda pelanggaran saat lockdown aja cukup buat bayarin haji untuk satu muslim Indonesia. Tekor langsung.
Setelah lebih dari dua bulan dalam masa karantina, 31 Mei lalu wilayah Kerajaan Arab Saudi telah memasuki fase new normal. Angka positif COVID-19 berangsur turun di bawah rata-rata 2k per harinya. Sebelumnya, kasus positif bisa menyentuh angka rata-rata 2.500-2.800 orang per harinya.
Dari data yang saya dapat di tempat tinggal saya di Madinah, jumlah kasus ketika saya menulis ini mencapai 89.011 dari angka tersebut jumlah kasus yang aktif sebanyak 22.672, tingkat kesembuhan cukup tinggi mencapai 65.790 orang, jauh melampaui kasus aktif dan angka kematian cukup rendah sebanyak 549 jiwa. Adapun jumlah orang yang sudah dites mencapai 853.987.
Yaaa, saya sih nda mau banding-bandingin sama negara yang penduduknya doyan banget bilang kadrun-kadrun. Faktanya, negara ini bisa dibilang sukses dalam menangani COVID-19.
Uniknya, menurut data yang saya pernah baca pula, jumlah kasus positif COVID-19 di Arab Saudi ini 60 persennya justru menimpa para pendatang, pekerja-pekerja imigran. Sisanya 40 persen dialami oleh penduduk pribumi. Itu artinya Arab Saudi mengeluarkan sumber dayanya justru untuk melayani kebutuhan warga asingnya.
Tentu sumber daya Kerajaan Arab Saudi yang melimpah menjadi salah satu kunci dalam menekan penyebaran virus ini. Plus… fasilitas kesehatan yang memadai, gelontoran uang yang mereka miliki, dan—yang paling penting—nda adanya gimmick-gimmick yang keluar dari pejabat kerajaan.
Selama saya mengikuti pemberitaan di sini, yang sering muncul di layar kaca adalah Menteri Kesehatannya serta juru bicara resmi kementrian kesehatan. Kedua orang ini pun komunikasinya jelas dan tanpa banyak basa-basi.
Sedikit info saja, ternyata Menteri Kesehatan Arab Saudi ini bukan orang yang berlatar belakang kesehatan. Beliau dari sisi pendidikannya ternyata orang IT. Anehnya, pernyataan yang keluar dari mulutnya jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada seorang menteri di sebuah negara yang jelas-jelas belatar belakang kedokteran.
Meski begitu, sinyal keberhasilan Arab Saudi mengatasi COVID-19 ini tentu ada peran dari disiplin tinggi dari para warganya. Ketika masjid ditutup, nda ada yang membandel untuk membuka masjid atau bahkan misuhi pemerintah dengan tuduhan menghalangi ibadah.
Walaupun, mungkin ini ada kaitannya juga dengan peran penegakan aturan yang luar biasa tinggi. Hal yang ikut mempengaruhi kedisiplinan para penduduk Arab Saudi. Asal situ tahu, di sini itu asal ada pelanggaran, biasanya ada denda yang besarannya lumayan bikin mehong.
Ketika masih ada jam malam misalnya. Denda yang dibanderol nda main-main jumlahnya. Sepuluh ribu riyal Saudi, alias cukup untuk biaya haji satu muslim Indonesia atau beli skinker yang bisa bikin glowing satu kecamatan.
Lantas mengapa masih banyak yang terkena virus ini di Arab Saudi?
Sebagaimana sudah saya sebutkan tadi, kebanyakan (60 persen) virus ini hinggap di antara para pendatang yang umumnya bekerja di sektor-sektor informal. Mereka ini biasanya hidup mengontrak dalam sebuah rumah dengan jumlah penghuni yang nda sedikit.
Di sisi lain, menyusul keadaan new normal di Arab Saudi ini, banyak fasilitas publik sudah mulai dibuka seperti masjid, pusat perbelanjaan, tempat makan, bandara, terminal, dan perkantoran. Tentu hal ini diikuti dengan standar keamanan dan kesehatan yang sangat ketat.
Untuk kegiatan akademik masih belum dibuka karena sekarang masih masa liburan musim panas. Dan biasanya awal tahun ajaran baru baru dibuka pada bulan September.
Seluruh aturan tadi berlaku untuk semua provinsi di wilayah kerajaan, terkecuali provinsi Mekkah al Mukaromah. Di sana, masih berlaku aturan lockdown 24 jam. Fasilitas umum juga masih ditutup.
Keputusan ini bisa dipahami mengingat angka COVID-19 tertinggi memang ada di Mekkah. Dan di kota ini pula seluruh ritual haji akan berlangsung. Jadi pemerintah kerajaan akan memaksimalkan upaya yang ada untuk menekan penyebaran virus di kota yang dijuluki al ‘ashimah al muqoddasah itu.
Bicara tentang haji, memang belum ada informasi resmi dari kementerian haji dan umroh. Pak Menteri, Muhammad Soleh Bantani (yang masih keturunan orang Banten) masih belum memberikan informasi terkait ibadah agung ini.
Meski begitu, saya pribadi optimis haji tahun ini akan tetap ada walau dengan keterbatasan di sana-sini. Entah hanya mengundang beberapa negara saja atau bahkan hanya penduduk Saudi saja—atau malah hanya penduduk Mekkah saja.
Karena kalau sampai ibadah akbar ini gagal terlaksana. Bisa dibayangkan kesedihan yang menimpa kaum muslimin. Terkecuali—barangkali—ustaz-ustaz akhir zaman karena akan dapat bahan ceramah lagi terkait huru-hara akhir zaman. Eaaa.
Pihak Kemenag RI sendiri, setahu saya, sudah menyatakan nda akan memberangkatkan jamaah haji. Hal yang diprotes sama DPR karna dianggap nda komunikasi sama mereka. Aduh, duh, Pak, di jaman wasap, efbe, i-ge, sampai tiktok begini kok ya masih ada aja alasan nda ada komunikasi sih?
Satu hal yang jelas, sampai nanti akhir bulan Syawal, Arab Saudi masih masa penyesuaian new normal. Jam malam masih aktif namun sebatas dari jam 8 malam sampai 6 pagi. Rencananya nanti ketika bulan Zul Qaedah jam malam akan betul-betul ditiadakan.
Pengalaman fase new normal ini beneran saya rasakan baru kemarin, ketika saya bersama seorang teman mengunjungi Masjid Nabawi. Berbekal masker dan sajadah kami berangkat. Masker ini sangat penting selain untuk alasan kesehatan, soalnya barang siapa yang nda mau maskeran siap-siap harus rogoh kocek sebesar seribu riyal buat bayar denda.
Sebelum zuhur sampailah kami di tengah siang panas musim panas yang panasnya melebihi tamparan guru lagi razia rambut siswa gondrong. Protokol kesehatan begitu ketat diberlakukan. Kamera termal pemeriksa suhu dipasang di tiap-tiap pintu masuk yang sudah ditentukan.
Tadinya saya khawatir mengingat aturan Kemeterian Wakaf dan Keislaman yang ada, bahwa setiap WC di masjid harus ditutup. Namun, Alhamdulillah, WC Masjid Nabawi tetap dibuka.
Kekhawatiran saya sangat beralasan dong. Coba kalau tiba-tiba mules? Mau ditunaikan di mana itu hajat? Mau mengamalkan ajaran ortu dulu untuk senantiasa menggenggam batu ketika mules menyerang yaa kan nda mungkin nanti dikira ke nabawi mau tawuran.
Di dalam masjid, semua hadirin lengkap memakai masker dan membawa sajadahnya masing-masing. Kami pun berdiri sesuai tanda yang sudah disiapkan oleh pengurus masjid. Kalau ada orang yang nda berdiri di tanda itu, siap-siap bakal ditegur polisi.
Kurang lebih ada jarak 1,5 meter saf di antara jamaah. Hal ini tentu makruh kalau kondisi biasa, namun karena ini kondisi yang nda biasa maka berlaku kaidah dar’ul mafasid muqoddam ala jalbil mashalih. Menghindari bahaya lebih diutamakan dari pada menghasilkan kemanfaatan.
Jadi buat kamu yang masih pertahanin toxic relationship dengan alasan masih sayang atau hanya sekadar mendapat status nda dianggap jomblo yaaa baiknya putusin aja pacar kamu. Lagian dalam Islam kan nda ada pacaran, adanya ta’aruf. Indonesia-Tanpa-Pacaran-detected.
Di tambah salat berjamaah yang berjarak ini juga sesuai dengan kaedah yang lain, ma la yudrok kulluhu la yutrok kulluhu, sesuatu yang nda bisa dikerjakan seluruhnya yaa mbok jangan ditinggalkan semuanya. Salat Jemaah mempunyai keutamaan yang banyak, kalau masih bisa dikerjakan walau dengan saf yang berjarak tentu masih jauh lebih mending daripada nda mengerjakan sama sekali.
Namun, plis, mohon diingat, kaidah ini hanya berlaku dalam hal beribadah saja. Kalau dalam hal percintaan yaaawes kalo kamu sudah nda dapat hatinya doi ya baiknya tinggalkan seluruhnya. Jangan masih nda move on dengan stalking-stalking medsosnya. Nanti kalau kepencet love malah hanya meninggalkan luka di hati dan membutuhkan klarifikasi. Eh.
BACA JUGA Jadi Mahasiswa Indonesia di Arab Saudi Berarti Siap Ditanya Harga Kurma sampai Letak Istana Dajjal atau tulisan Dinar Zul Akbar lainnya.