MOJOK.CO – Karikatur Nabi Muhammad di Perancis merupakan provokasi mengerikan ke muslim sedunia. Penggal kepala orang itu juga sama ngerinya dong.
Dunia Islam kembali gaduh gara-gara seorang guru di Perancis dipenggal kepalanya oleh imigran asal Chechnya. Eksekusi mati ini terjadi karena sang guru mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad di depan anak muridnya. Pemuda imigran Chechnya tersebut akhirnya ditembak mati oleh aparat karena alasan melawan ketika diamankan.
Anehnya, bukannya mau meneduhkan situasi, Pemerintah Perancis dengan pongah malah memajang karikatur Nabi Muhammad dalam ukuran besar di dua gedung balai kota Montpellier dan Toulouse.
Bahkan sebelum kejadian pilu di atas, Presiden Perancis Emanuel Macron sudah membuat dunia Islam tersinggung dengan ucapannya. Kala itu, dengan pedenya Macron bilang bahwa agama Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis.
Dengan momentum peristiwa pemenggalan guru tersebut Macron makin menemukan situasi yang menguntungkan untuk memerangi—apa yang dia sebut—“Islam Radikal” dan membela nilai-nilai liberalisme sekularisme yang dianutnya.
Macron melupakan bahwa dalam agama Islam, menggambar Nabi untuk tujuan penghormatan saja dilarang keras apalagi bertujuan untuk olok-olokan. Lebih parahnya, kejadian semacam itu sudah berkali-kali terjadi di negaranya.
Pertanyaannya, sebagai muslim apakah kita harus marah melihat itu? Tentu.
Sebab aksi provokasi yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat itu sama saja radikalnya. Sama saja jahatnya. Akan tetapi, sebagai seorang muslim, kemarahan di ubun-ubun seperti ini haruslah tetap terukur.
Problemnya, melakukan aksi sepihak dengan memenggal kepala orang lain bukanlah bagian dari langkah terukur itu. Yang ada malah semakin menimbulkan reaksi yang jauh lebih besar mudaratnya.
Syaikhul Azhar mengatakan bahwa tindakan pemuda Chechnya tersebut sebagai tindakan kriminal. Bahkan Syaikh Ali Alqaradaghi, Sekjen Persatuan Ulama Islam Sedunia berpendapat bahwa tindakan pemuda tersebut adalah sesuatu yang diharamkan. Syaikh Muhammad Al Isa malah lebih tegas lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan pemuda tersebut merupakan bentuk teror.
Namun jangan salah sangka, selain mengecam aksi pemuda tersebut, para tokoh tadi juga mengecam sumber masalahnya. Yakni penghinaan terhadap perasaan umat muslim sedunia dengan karikatur Nabi Muhammad.
Di sisi lainnya, tidak sedikit pihak-pihak yang bersimpati akan aksi pemuda tersebut. Mereka yang mendukung aksi itu berdalih bahwasannya darah si guru halal karena telah menghina Nabi.
Sayangnya, mereka lupa bahwa setiap frasa hukuman mati yang termaktub dalam kitab-kitab ulama itu ditujukan kepada penguasa kaum muslimin yang mempunyai wilayah dan kekuasaan. Artinya sama sekali bukan ditujukan kepada tiap individu muslim.
Saya sendiri tidak mengingkari adanya ancaman hukuman mati bagi siapa saja yang menghina Nabi. Walaupun ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukuman mati bagi penghina Nabi Muhammad terutama dari kalangan kafir dzimmi.
Jika tindakan main hakim sendiri semacam ini diapresiasi, reaksi ini akan memicu kekacauan dan kerusakan massal. Dan ini situasi yang bisa jadi jauh lebih buruk, mengingat ada cara yang lebih beradab menghadapi provokasi biadab ini.
Dalam Islam, pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman mati jika terbukti ada unsur kesengajaannya.
Sekarang apa jadinya apabila si A membunuh si B dengan alasan si B telah membunuh kerabat si A? Lantas, karena tak terima B dibunuh, keluarga B akhirnya membalas dengan membunuh si A. Akan terjadi lingkaran setan saling bunuh-membunuh yang tiada henti.
Atau hukuman potong tangan bagi pencuri. Bagaimana jadinya apabila masyarakat merasa berhak memotong tangan yang dianggap pencuri? Padahal bisa jadi pencuri tersebut melakukan aksinya karena didorong oleh rasa lapar yang tak tertahankan?
Begitupun dengan ancaman orang yang keluar dari Islam. Sudah menjadi rahasia umum dalam kitab fikih tentang ancaman hukuman mati bagi orang-orang yang sengaja keluar dari agama Islam. Apa hanya karena teks hukum bilang seperti itu lalu konteks hukum jadi dilupakan?
Betapa kacaunya dunia Islam kalau hal itu sampai terjadi.
Tak perlu jauh-jauh sampai ke Perancis, lihat saja situasi kita sekarang ini. Betapa mudahnya dapat kita temui seseorang mengkafirkan sesama muslim hanya karena perbedaan pendapat.
Coba kamu bayangkan betapa ngerinya jika setiap yang “dianggap” keluar dari Islam tadi harus dihukum mati? Betapa banyak nyawa umat muslim yang harus melayang kalau teks hukum dicabut dari konteksnya semacam itu tadi?
Jadi sangat jelas bahwa Islam adalah agama yang penuh aturan. Islam bukan agama yang mengajarkan penganutnya untuk main hakim sendiri. Semua yang berkaitan dengan pelaksaan had atau jinayat dikembalikan kepada penguasa yang menggenggam kekuatan politik serta hukum dalam kuasanya.
Oke, lalu bagaimana keadaan kita sekarang? Dengan kelemahan kepemimpinan umat Islam baik secara politik maupun ekonomi, rasa-rasanya hampir mustahil untuk melaksanakan apa-apa yang sudah ditulis oleh para ulama.
Berkaitan dengan hal tersebut. Ibnu Taimiyah seorang ulama besar pada zamannya (yang mana nama beliau beserta kitabnya Ash Shorim Al Maslul sering disebut ketika ada peristiwa karikatur Nabi Muhammad begini) pernah menuliskan dalam kitabnya.
Barang siapa dari kalangan orang-orang yang beriman (mukminin) yang tinggal di bumi di mana mereka dalam keadaan lemah atau dalam satu waktu di mana kondisi mereka lemah, maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat sabar dan menahan diri dari orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin.
Oke, itu kalau situasi kita berada di posisi yang lebih lemah, tapi bagaimana kalau kita mau nekat? Hm, sebetulnya ada kisah menarik untuk disimak. Bahwa dalam sejarahnya, Nabi Muhammad tidak serta merta kasih vonis mati kepada siapa saja yang menghinanya.
Dalam kitab hadis Sahih Muslim disebutkan bahwa pernah suatu ketika ibunda dari Abu Hurairah mengucap sesuatu tentang Nabi Muhammad. Suatu ucapan yang bahkan Abu Hurairah sampai menangis mendengarnya.
Abu Hurairah pun pergi mengadu ke Baginda Nabi Muhammad perihal apa yang dia dengar. Tak lupa Abu Hurairah juga meminta Nabi Muhammad untuk mendoakan ibunya.
Tanpa rasa marah atau kesal, Nabi justru berkata, “Ya Allah berilah hidayah kepada ibunda Abu Hurairah.”
Tak perlu waktu lama, ketika Abu Hurairah kembali kepada ibunya dia mendapati sang bunda tengah bersiap-siap untuk mengucap dua kalimat syahadat. Melihat hal tersebut, Abu Hurairah kembali berlinang air matanya. Namun air mata kali ini adalah air mata Bahagia.
Begitu pula dengan sosok Ka’ab bin Zuhair bin Abi Sulma. Seorang penyair yang pernah membuat puisi menghina Nabi. Ketika Ka’ab akhirnya menyadari kekeliruannya, dia datang kepada Nabi Muhammad dan Nabi memaafkannya. Bahkan tak sekadar memaafkan, Nabi juga memberikan burdah atau selendangnya kepada Ka’ab.
Beberapa riwayat di atas sebenarnya merupakan contoh bagaimana Nabi menghadapi provokasi dengan cara yang elegan. Riwayat itu juga menunjukkan bagaimana umatnya harus mengukur sejauh mana kemampuannya ketika mau bereaksi menghadapi provokasi.
Misalnya, tanpa harus dengan perang terbuka kita bisa (dan sudah) melawan dengan boikot produk-produk Perancis.
Ini langkah sepele tapi cukup efektif karena dalam persoalan ini semua umat Islam dari kalangan apapun satu suara. Kalau toh ada yang membedakan soal kasus karikatur Nabi Muhammad ini, paling-paling hanya pada bentuk reaksinya saja.
Dengan jumlah 1,9 miliar jiwa di dunia, misalnya hanya 10 persen saja umat muslim mau melakukan itu, sudah jelas Perancis akan ketar-ketir. Bahkan belum sampai 10 persen saja, Kementerian Luar Negeri Perancis saja kemarin sudah memohon agar seruan boikot ini dihentikan.
Untuk level negara. Kita bisa meminta para pemimpin kita untuk melayangkan protes kepada Pemerintahan Macron. Sebagaimana yang dilakukan negara-negara seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, dan Maroko.
Atau sebagaimana yang dilakukan pimpinan Al Azhar, Syaikh Ahmad Thoyyib, yang membentuk satu badan yang terdiri dari pakar hukum internasional untuk menggugat harian Charlie Hebdo.
Yang jelas jangan pernah ada tuduhan bahwa ada orang-orang Islam yang hanya diam ketika nabinya dihina merasa bahwa hanya dirinya sendiri yang membela Allah dan Nabi. Kamu tak tahu dalam diam mereka. Bisa jadi mereka yang terlihat diam, dalam hatinya juga mengingkari terhadap apa yang terjadi. Lagipula, bukankah diam seperti itu juga salah satu ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad?
Dan terakhir, sekalian memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, ingatlah bahwa senjata terbaik melawan provokasi semacam itu adalah dengan mempelajari sejarah Nabi sendiri, lantas memperkenalkannya ke orang lain.
Sebab, para pelaku provokasi tersebut jelas tidak mengetahui dan tidak mengenal sosok yang mereka hina. Tanpa pernah kenal dan tahu, dikombinasikan dengan islamofobia di sana, paket itu pun jadi paket provokasi kebencian tanpa dasar.
Apalagi di negara maju dan berpendidikan seperti Perancis, mengabaikan verifikasi dan konfirmasi kenapa umat Islam begitu marah dengan karikatur Nabi Muhammad itu jelas sangat memalukan sekali. Terutama bagi pemerintahannya.
Dan salah satu cara membuat Pemerintah Perancis mau mengenal Nabi adalah dengan mengingatkan mereka bahwa Perancis punya Victor Marie Hugo. Penyair besar yang menuliskan beberapa karya bersejarah, seperti novel legendaris Les Miserables misalnya.
Dan Pemerintah Perancis seolah mengabaikan betapa penyair kenamaan mereka abad ke-19 itu pernah menulis puisi indah yang berisi soal kekaguman ke sosok Nabi Muhammad. Puisi yang kiranya perlu dibacakan pelan-pelan ke telinga Presiden Emanuel Macron sebelum beliau beranjak tidur.
Ya, semata-mata agar Macron juga sadar, bahwa selain Islam yang diklaimnya sedang mengalami krisis, negeri Perancis pun sebenarnya lebih merasakan krisis. Terutama soal hubungan antar-umat beragama di sana yang makin lama makin tercium bau amis tipis-tipis.
BACA JUGA Godaan Melecehkan Agama, dari PKI hingga Charlie Hebdo dan tulisan Dinar Zul Akbar lainnya.