Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Indomie

Arman Dhani oleh Arman Dhani
23 Maret 2015
A A
Indomie

Indomie

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ketika Menteri Pertanian Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatakan bahwa konsumsi beras masyarakat menurun karena mie instan, ada sebuah gejolak rasa haru dalam dada yang menggebu tiada henti.

Hati kecil saya memberontak, apa-apaan ini? Bagaimana mungkin mie instan menjadi kambing hitam atas perubahan pola konsumsi? Apalagi, merujuk berita yang dimuat Kompas, Pak Menteri menyalahkan Indomie—sebuah merk digdaya nan agung—sebagai biang kerok perubahan pola konsumsi.

Di jagat raya ini, hanya ada dua hal yang absolut: pertama adalah Mbak Rara Sekar dan yang kedua Indomie Goreng. Indomie Goreng adalah mesias, penyelamat hidup manusia-manusia kesepian di tengah malam. Kadang ia ditemukan bersama potongan sawi, telor dadar dan cabe rawit. Kadang ia ditemukan dengan kornet dan potongan sosis, tapi seringkali Indomie ditemukan dalam ruang-ruang ketidakmungkinan.

Apakah ruang ketidakmungkinan itu, Pak? Ia adalah ruang-ruang yang mustahil dijelaskan dengan definisi normatif kebahasaan kontemporer? Mbulet? Jelas, lha wong saya ngarang.

Ruang ketidakmungkinan itu seperti ini, Pak. Pernahkah Bapak naik kereta api kelas ekonomi? Lalu saat hujan deras tiba, Anda menuju gerbong restorasi, memesan semangkuk Indomie kuah. Sembari memandangi kaca yang basah, uap panas Indomie menghadirkan imaji tentang masa lalu, ketika Anda masih muda dan berapi-api lantas memacari tiga sahabat sekaligus. Itu adalah ruang ketidakmungkinan, Pak.

Atau pernahkah Bapak sendiri dan kesepian di kontrakan, baru saja pulang dari konser Maliq D’Essentials di Solo, lantas mendapati seorang sahabat nikung gebetan Anda?

Di tengah remuk-redamnya perasaan, Bapak menemukan Indomie goreng dengan dua telur dan 10 potong cabe. Dengan hati yang gelisah, dada yang sesak, Anda membuat Indomie Goreng paling pedas dalam hidup Anda. Memakannya dengan sendokan penuh dendam, berharap rasa cabe itu akan menghilangkan segala kemarahan. Itu adalah ruang ketidakmungkinan.

Mungkin Bapak Menteri pernah mengalami perpisahan karena gagal menikah? Seusai lamaran tapi esoknya mesti berpisah? Indomie adalah satu-satunya karib yang menjadi kawan setia ketika Bapak melakukan perjalanan menuju timur dengan naik vario jauh. Di tengah pulau yang sunyi, ditemani tenda dan pasir putih, Bapak membuat Indomie. Tidak satu, tapi dua, mengingatkan perasaan-perasaan bersama yang dulu pernah ada, namun kini hanya bisa dinikmati sendiri. Itu adalah ruang ketidakmungkinan.

Indomie Goreng bukan sekadar makanan instan, Pak. Ia adalah mesias. Ia menjadi saksi betapa beribu-ribu mahasiswa di nusantara menjalani laku prihatin karena kiriman telat. Bayangkan berapa ribu mahasiswa di Indonesia yang lulus dan terselamatkan dari jurang Drop Out, karena mengecangkan ikat pinggang tidak makan nasi hanya untuk menabung demi uang kuliah?

Indomie, saya kira, punya jasa besar bagi jutaan anak bangsa untuk bisa meraih pendidikan tinggi. Indomie Goreng bukan sekadar makanan pengganti, Pak. Ia adalah nyawa, ia adalah penghidupan beribu-ribu penjual burjo yang mengadu nasib di kota-kota besar.

Apa jadinya Yogyakarta jika tidak ada Burjo? Di mana para mahasiswa itu mesti mencari makanan murah ketika angkringan sudah tutup menjelang tengah malam? Berapa ribu pengusaha Burjo yang hidup dan mencari nafkah dari Indomie?

Ini bukan perkara nasionalisme gandum melawan ubi, ini masalah penyerapan tenaga kerja dan kemakmuran bersama. Goenawan Mohamad pada Catatan Pinggir edisi 25 Juni 1994 pernah menulis, “Ada yang bergerak maju, ada yang diam atau tenggelam.” Di caping berjudul “Kita” itu, Mas GM (tolong jangan iri saya memanggil beliau Mas, sebagai sesama budayawan ini sah) mengatakan bahwa “dalam proses itu banyak kepastian guncang, bentuk-bentuk martabat dan penghormatan lama jadi rancu dan juga anyaman hubungan-hubungan yang pernah ada menjadi tak stabil lagi.”

Apa korelasi Caping itu dengan Indomie? Ya tidak ada. Saya nulis itu biar keliatan pinter dan hebat saja. Namun perlu dipahami, sudah saatnya kita tidak lagi mengukur pola konsumsi melulu dari beras. Seperti yang mas GM katakan ‘ada yang bergerak maju’, bukankah kita punya sagu? Punya ubi? Punya singkong? Mengapa melulu konsumsi harus diukur dengan beras? Jika ini terus terjadi bukan tidak mungkin kita akan ‘diam atau tenggelam’. Keserakahan kita terhadap nasi telah melibas batas-batas kemanusiaan.

Selain tuduhan kepada Indomie, obsesi terhadap beras telah membuat kita memaksakan pembangunan yang abai pada kemanusiaan. Suku-suku yang dahulu hidup dari hutan kini mati kelaparan karena hutan dialih fungsikan menjadi kebun sawit, suku-suku tersebut dipaksa makan nasi. Lantas ketika tak mampu mengakses nasi yang mesti dibeli pakai uang itu, satu per satu manusia mulia ini gugur. Mati kelaparan di rimba yang kaya-raya.

Iklan

Atas alasan ini, saya perlu menggugat dan mengadu.

Pertama-tama, saya ingin meluruskan kepada Bapak Menteri Amran Sulaiman, bahwa Indomie bukanlah sekadar makanan. Ia adalah sakramen, sebuah kesadaran filosofis akan hidup yang tersublimasi dalam bentuk makanan Instan.

Sebagai duta besar tidak resmi dari Indomie Goreng, saya merasa perlu memberi tahu Bapak tentang visi dan misi keberadaan Indomie Goreng. Ia adalah sebuah realitas dari betapa negeri ini sebenarnya gagal dikelola. Kedua, bukan salah Indomie jika sebungkus Indomie lebih murah daripada sekilo beras. Selama negara ini tidak mencanangkan diversifikasi pangan dan melulu bergantung pada beras, selamanya Indomie akan dijadikan kambing hitam atas pola konsumsi yang tidak beraturan.

Ketidakadilan yang berawal dari perut akan melahirkan insureksi yang perih, Pak. Ingat, Pak, lebih baik ditolak balikan daripada kelaparan.

Demikian, saya mau sarapan Indomie dulu. Karena Indomie paling sedap adalah Indomie yang dinikmati seusai kemenangan tandang Manchester United di Anfield.

Terakhir diperbarui pada 6 November 2018 oleh

Tags: #PekanKulinerAmran SulaimanGoenawan MohamadIndomieMie InstanTerbaikMojok2015
Arman Dhani

Arman Dhani

Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Saat ini bisa ditemui di IG @armndhani dan Twitter @arman_dhani. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di https://medium.com/@arman-dhani

Artikel Terkait

warmindo unggul dari warteg.MOJOK.CO
Kuliner

3 Alasan Sederhana Orang Memilih Makan di Warmindo daripada Warteg, Padahal Lauknya Kalah Lengkap

29 Juni 2024
warmindo tertua jogja menolak jadi warteg.MOJOK.CO
Kuliner

Warmindo Generasi Tertua di Jogja yang 42 Tahun Menolak Jualan Lauk Kayak Warteg, Setia dengan Burjo dan Indomie

23 Juni 2024
indomie di warmindo semarang.MOJOK.CO
Ragam

Kolaborasi Indomie dan Warmindo yang Mengubah Dunia Kuliner Mahasiswa, Anak Kos Melarat di Semarang Bisa Makan Gratis Sebulan

19 Juni 2024
Indomie Penyet Pak Lamidi, Hidden Gem Surabaya yang Nonstop Layani Pembeli Sampai Tutup MOJOK.CO
Kuliner

Indomie Penyet Pak Lamidi, Hidden Gem Surabaya yang Nonstop Layani Pembeli Sampai Tutup

2 April 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.