Baca cerita sebelumnya di sini.
“Daya pikat selalu lebih penting daripada kebenaran,” kata AH. “Karena manusia hidup dalam cerita, kita tak berpikir dalam statistik atau rumus. Kita berpikir dalam cerita.”
Kemarin aku jumpa Kina di Reading Room dan dia mengulang omongan itu.
Kamu sudah baca cerita “Jangan Lupa Memberi Makan Kucing” versi Kina? Dia bilang, keputusannya untuk menjadikan si bapak sebagai dosen linguistik, alih-alih guru fisika SMA seperti dalam ceritamu, secara konseptual lebih berterima. Namun, bisa jadi dia keliru. Mungkin, fisika dan linguistik—atau apa sajalah—sama patutnya buat mengantarkan nonsens demi nonsens itu sendiri.
Yang lebih penting, menurut Kina, cerita versinya lebih memikat. “Terus terang saja,” katanya, “kalau tidak kau beritahu, aku takkan paham bahwa pada bagian yang berantakan itu cerita Dio hanya berpindah ke si kucing. Transisinya kelewat mendadak. Mengejutkan, tetapi secara tidak menyenangkan.”
“Omong-omong soal berterus terang, Kina,” kataku, “aku tidak punya pendapat soal cerita kalian.”
Kina kelihatannya sebal. Aku tak paham kenapa dia seolah hendak memaksaku mengakui dia lebih baik darimu, padahal AH sendiri, mentor kalian, berkali-kali mengatakan, “Dio dan Kina punya kualitas masing-masing yang tak tergantikan.”
Kemarin aku mengulang pernyataan itu buat mencairkan suasana. Keputusan yang layak disesalkan, kukira. Sambil merengut, ia berkata, “Armandio mungkin mewarisi sifat eksentrik AH, tapi akulah yang mewarisi keterampilannya.” Tak lama kemudian dia pergi, mengejar temanmu, Dea Anugrah, yang kebetulan melintas di jalan di luar.
Terus terang saja, aku ingin menusuk orang itu. Memang, dulu aku memintanya merahasiakan identitasku sebagai narator Bakat Menggonggong. Tapi, kenyataan bahwa dia mendapatkan segalanya dan aku tak kebagian apa-apa, benar-benar menyakitkan. Tapi, itu soal lain. Aku membayar tagihan, dan kamu tahulah masalahku: Kina sebetulnya lumayan manis dan aku selalu kekurangan uang dan gampang minder.
Di atas segalanya, aku cuma ingin hubunganku dengan semua temanku baik-baik saja. Tapi, setelah kupikir-pikir kembali pagi ini, mungkin sifatku itulah—ego yang kelewat redup itu—yang membuatku tak bisa jadi penulis sungguhan seperti kalian. Aku ingat bagaimana AS Laksana menghabiskan dua jam hanya untuk menjelaskan kepadaku mengapa sesekali orang perlu bersikap asertif, plus dua jam lagi untuk hipnoterapi, sebelum menyadari bahwa ada satu lagi pekerjaan yang lebih sia-sia ketimbang mengajari batu bicara.
Tidak ada orang yang ingin kalah terus-menerus. Tidak ada orang yang… Ah, gelora mendadak untuk mengubah kepribadian itulah yang membuatku berani menulis catatan ini.
Seharian ini, perkataan Kina soal warisan merundung benakku. Poin pertama, menurutku kalian tak mewarisi apa-apa dari AH. Beberapa idenya mungkin memikat kalian, tetapi kalian bebas memilih buat memelihara atau mengabaikan, atau memodifikasi, ide-ide itu. Warisan, di sisi lain, tak pernah disertai pilihan, dus, poin kedua: semua warisan adalah tahi.
Ambil contoh genom: cetak biru yang tersimpan dalam kromosom-kromosom kita, alias warisan paling fundamental yang kita terima. Bayangkan, hanya karena mutasi sepele sebuah gen pada kromosom 4, seseorang diterkam penyakit mengerikan yang sewaktu-waktu bisa memaksa tubuh berkelojotan, sembari terus menggerogoti pikiran dan meracuninya dengan rupa-rupa halusinasi. Tentang penyakit ini, seorang pakar genetika mengatakan, “Inilah takdir dengan ketegasan yang melampaui Tuhan.” Sebaliknya, jika seseorang tak mempunyai gen sialan itu, bisa dipastikan ia bakal mati muda.
Andaikan tahu iblis apa saja yang mengintai dari kegelapan cetak biru masing-masing, kurasa kita semua, kecuali sedikit orang yang sangat beruntung, sudah beramai-ramai menggantung diri sambil mengacungkan sepasang jempol-di-antara-telunjuk-dan-jari-tengah tinggi-tinggi.
Biar kuulang, semua warisan adalah tahi bagi penerimanya.
Apa menurutmu Anies Baswedan, pejabat yang bilang memompa banjir ke laut adalah pembangkangan terhadap hukum Tuhan, rela anjing-anjing di wilayahnya dipasangi microchip?
Zulkifli Songyanan, kawan penyair kita, tak melewatkan satu hari pun buat mengeluhkan susuk warisan keluarga yang salah tanam dan malah membuatnya dikejar-kejar para penyuka sesama jenis.
Bagaimana dengan Teguh Purnomo, yang bertekad jadi pria metroseksual, tetapi malah mendapat dua petak sawah dan sepuluh ekor kambing perah yang tak boleh dijual, di Indramayu sana, dari orang tuanya? Aku bisa melanjutkan daftar ini sampai berhalaman-halaman, tapi sebagai ilustrasi, kukira ini sudah lebih dari cukup.
Maksudku, kenapa AH menantang kalian menulis cerita tentang warisan? Kupikir, kalau memang dia sehebat anggapan kita, yang diinginkannya bukanlah cerita-cerita seperti itu, yang cuma mengulang kebenaran. Ingat, warisan cuma tahi—apalagi dengan penyampaian ruwet penuh gimmick rumus-rumusan begitu. Sebagai pembaca, aku sama sekali tidak terpikat dan kalian malah membuat kepalaku sakit.
Begitulah pendapatku. Sekarang, tolong beritahu aku dua hal secara terus terang. Pertama, haruskah aku menyampaikan ini kepada Kina? Kedua, apakah aku yang sekarang punya kesempatan lebih besar untuk ia sukai? Terima kasih. Jangan marah.
Salam,
Temanmu,
Bambang
Baca cerita berikutnya di sini.