MOJOK.CO – Gus Dur sering dianggap punya kemampuan spektakuler. Salah satunya, kalau sedang tidur, Gus Dur bisa tahu apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Dalam khasanah dunia pesantren, kisah cerita seorang kiai atau ulama punya kemampuan supranatural memang kerap kali muncul. Istilah yang lumrah digunakan untuk menyebutnya adalah “ilmu laduni” atau “karomah”.
Hal-hal yang juga muncul dalam banyak kisah-kisah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan beberapa kiai di Nusantara seperti KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta.
Soal Gus Dur, ada banyak kemampuan menakjubkan yang lumayan sulit untuk dijelaskan. Seperti yang pernah dikisahkan Bang Saleh Abdullah, Direktur Penerbitan terkemuka di Jogja, ketika bertemu dengan Gus Dur beberapa dekade silam di Belanda.
Ketika sedang asyik-asyiknya berdiskusi, Gus Dur mendadak tertidur. Bahkan sampai samar-samar terdengar suara dengkuran. Hal yang menandakan Gus Dur sangat pulas dalam tidurnya.
Ketika obrolan diskusi sudah cukup panjang, Gus Dur yang tertidur dibangunkan karena ada salah seorang yang ingin bertanya kepada beliau. Tentu saja pertanyaan ini nggak jauh dengan topik diskusi yang sedang dibicarakan.
Ajaibnya, tanpa kebingungan sama sekali, Gus Dur mampu cas-cis-cus menjelaskan dengan panjang lebar. Tentu saja satu ruangan melongo bingung. Kok Gus Dur bisa tahu topik yang sedang dibicarakan padahal sejak awal beliau tidur?
Tanpa ragu-ragu Bang Saleh kemudian menyebutnya sebagai salah satu ilmu laduni Gus Dur yang disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri.
Penyebutan istilah Bang Saleh ini sebenarnya karena ada sesuatu yang hilang dari penjelasan kenapa seorang kiai “seolah-olah” punya kemampuan di atas normal ketimbang orang kebanyakan. Dalam kasus Gus Dur tentu hal ini perkara beliau bisa tahu sesuatu bahkan ketika sedang dalam posisi tidur.
Hal-hal yang ketika penjelasannya belum muncul, orang memang mudah menyerahkannya pada istilah ilmu laduni atau karomah seorang kiai. Padahal kadang-kadang—tidak semua tentu saja—kejadian seperti itu sering ada penjelasan logisnya. Cuma memang cukup jarang bisa ditemukan.
Seperti kisah KH. Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta misalnya. Kisah yang sering diceritakan beberapa alumni Pondok Krapyak ke saya. Suatu kali seorang santri bernama Kang Jidun dipanggil oleh Kiai Ali Maksum.
“Kang, dipanggil Pak Kiai,” kata seorang santri memanggil Kang Jidun.
Kang Jidun tentu kaget. Ada urusan apa seorang kiai memanggil santri nggak penting seperti dirinya? Bagi seorang santri, dipanggil kiai itu bisa jadi dua kemungkinan.
Pertama, karena pernah melakukan kesalahan lalu dipanggil untuk diperingatkan atau ditakzir (baca: dihukum). Kedua, ya karena si santri sudah dihapal sama si kiai dan memang sedang butuh bantuan. Tentu saja menyenangkan sekali rasanya bagi seorang santri bisa dikenal langsung oleh kiainya seperti poin kedua itu.
Tahu bahwa Kang Jidun sudah datang, Kiai Ali Maksum lalu bertanya. “Kang Jidun hari ini lagi ada acara atau tidak ya?”
Kang Jidun tentu bingung. Kok bisa sosok sekaliber Kiai Ali Maksum sampai menanyakan jadwal selo santrinya sendiri.
“Oh, tidak ada Pak Kiai,” jawab Jidun.
“Kalau begitu, ikut aku jalan-jalan ya?” ajak Kiai Ali Maksum.
Kang Jidun pun tak kuasa menolak. Kapan lagi mendapat kehormatan bisa diajak oleh kiai jalan-jalan? Tak semua santri bisa dapat kehormatan seperti itu tentu saja.
Akan tetapi situasi jadi aneh karena Kiai Ali mengajak jalan-jalan Kang Jidun menggunakan mobil dan Kiai Ali yang menyetir. Tentu saja Kang Jidun kikuk setengah mati.
Sebab, normalnya jika seorang santri diajak jalan-jalan oleh kiainya, biasanya ya si santri yang bakal nyetirin si kiai. Lha ini malah kebalik. Sudah begitu Kang Jidun pun tak tahu perjalanan ini menuju ke mana. Hatinya pun semakin bingung tak karuan.
Sampai akhirnya Kang Jidun memberanikan diri bertanya.
“Pak Kiai, kita mau ke mana ya?”
“Mau ke kampus.”
“Kampus mana Pak Kiai?”
“IAIN Sunan Kalijaga.”
Terang saja, Kang Jidun pucat pasi mendengarnya.
Bukan apa-apa, Kang Jidun merupakan santri yang kebetulan juga seorang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga (saat itu belum UIN). Posisinya sebagai mahasiswa selama ini sering jadi alasan untuk membolos ngaji. Hal ini juga jadi alasan Kang Jidun untuk jarang tidur di pondok.
Masalahnya Kang Jidun sendiri juga jarang berangkat kuliah. Aktivitasnya di kampus lebih banyak ngurus organisasi saja ketimbang mengerjakan tugas-tugas kuliah. Bisa mampus nasib Kang Jidun kalau ketahuan ternyata dia ke kampus nggak untuk kuliah selama ini.
Karena sudah kelewat takut dan tidak bisa apa-apa, Kang Jidun pun bertanya lagi.
“Pak Kiai, ini ada urusan apa ya Pak Kiai kok ke IAIN?”
Sambil tersenyum Kiai Ali Maksum menjawab dengan enteng, “Ya untuk mengantar anakku paling ganteng dewe untuk kuliah to.”
Anak yang dimaksud itu ya Kang Jidun sendiri. Sebuah ungkapan lumrah seorang kiai menganggap santri layaknya anak sendiri karena saking sayangnya.
Kang Jidun sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tanpa bawa satu pun peralatan kuliah—bahkan sampai jadwal kuliah juga tidak tahu, Kang Jidun harus ke kampus tanpa tahu harus ngapain.
Begitu sampai ke kampus, Kang Jidun merasa sudah tertangkap basah. Ternyata aktivitasnya di kampus sudah ketahuan sama Kiai Ali. Padahal setahu Kang Jidun, Kiai Ali tak pernah memergoki sekali pun kalau dirinya tidak pernah berangkat kuliah.
Satu hal kemudian muncul adalah; kejadian ini merupakan salah satu karomah Kiai Ali. Bisa tahu aktivitas santrinya meski yang bersangkutan tidak tahu dengan mata kepala sendiri. Hal yang kemudian menjadi mitos bagi santri-santrinya.
Sampai ketika Kang Jidun datang suatu kali ke kampus, seorang teman bertanya.
“Wah keren, kemarinan itu kamu diantar sama mobilnya Pak Kiai Ali ya sekarang?”
Tentu saja Kang Jidun kaget. Sejak kapan temannya yang bukan dari Pondok Pesantren Krapyak bisa tahu kalau mobil yang pernah mengantarnya adalah mobilnya Pak Kiai?
“Lho kok kamu tahu? Kok kamu bisa tahu itu mobilnya Kiai Ali segala?” tanya Kang Jidun penasaran.
“Ya kenal lah, Pak Kiai Ali kan dosen kita. Ya kamu sih nggak pernah berangkat, makanya nggak tahu kalau Kiai Ali Maksum itu ngajar kita, makanya aku hapal lha wong beliau itu sering ke kampus.”
Tentu saja Kang Jidun merasa semakin tertelanjangi lagi. Ternyata selama ini Kiai Ali bisa tahu karena memang jadi salah satu dosen di mata kuliah yang diambil Kang Jidun. Penjelasan yang kemudian meruntuhkan mitos-mitos karomah yang sempat diduga Kang Jidun sendiri.
Hal semacam ini seperti halnya ketika banyak orang yang bertanya-tanya ke Gus Dur. Kok bisa sih Gus Dur bisa tahu omongan orang padahal beliau sedang tidur.
Dan ternyata ada jawabannya ketika Gus Dur ditanya oleh Andy F. Noya di acara Kick Andy beberapa tahun silam.
“Katanya kalau Gus Dur tidur, kita ngobrol kita diskusi, Gus Dur bangun langsung nyambung. Apa betul itu, Gus?” tanya Andy F. Noya penasaran.
Dengan enteng lalu Gus Dur menjawab misteri ilmu laduni yang melekat padanya saat itu.
“Saya dengarkan apa kata terakhir yang saya ingat ya? Nah, tentu mereka belum bicara jauh dari situ-situ aja paling. Laaah, disangkanya saya (bisa) denger (waktu tidur).”
Hadirin pun tertawa ngakak.