MOJOK.CO – Pelajaran berharga kenapa saya mau ngajar meski ada saja yang bertanya, “Memang kamu digaji berapa?”
“Ngapain masih ngajar di Solo? Memangnya gaji kerjaan yang di Jogja kurang po? Dibela-belain sampai jauh-jauh ke Solo tiap dua kali seminggu buat ngajar,” tanya seorang teman sekolah saya dulu.
Saya tak punya banyak jawaban untuk itu. Saya cuma jawab sekenanya, “Nggak apa-apa, lumayan buat refreshing aja,” jawab saya.
“Memang digaji berapa kamu di sana?” tanyanya.
Saya cuma tersenyum.
Teman saya memang bertanya baik-baik, dia tidak sedang menyentil pendapatan saya sebagai seorang tenaga pengajar di salah satu kampus di Solo. Kalau mau dibandingkan, pendapatan saya di Jogja dengan ngajar di Solo mungkin hampir mirip kasusnya kayak “uang rokok” dari pemerintah buat Bambang Hartono yang kemarin dapat perunggu itu.
Kalau pakai logika, harusnya saya tetap kerja saja di Jogja dan tak perlu cari “tambahan” sampai ke Solo. Meski Solo itu dekat dari Jogja, cuma butuh naik kereta api Prameks, dan rasa-rasanya nggak beda jauh seperti orang Cibinong atau Bekasi naik KRL tiap hari untuk kerja di Jakarta, tapi kalau dilakukan terus-terusan—harus diakui—ternyata capek juga.
Apalagi tidak seperti infrastruktur di Jakarta, Prameks sering sekali habis tiket, jadi bikin saya harus selalu punya alternatif kendaraan lain tiap ngajar. Selain itu, pekerjaan ini memang nggak bisa dituntut untuk dapat benefit yang sebanding. Kalau hanya dilihat untung rugi secara nominal, jelas kegiatan ini sama sekali tidak menguntungkan.
Oke, saya paham itu. Saya ngerti. Tapi saya punya kisah sendiri kenapa mau melakukannya tiap dua kali dalam seminggu. Bahkan untuk minggu ini, saya empat hari bolak-balik Jogja-Solo untuk melakukan hal yang kelihatannya tidak memberi dampak finansial yang berarti.
Ada inspirasi buat saya sejak dulu, ketika saya masih sekolah di pondok pesantren. Jadi, sekolah di pesantren tidak cuma bikin saya kenal ilmu-ilmu agama, tapi juga ritus ibadah yang nggak akan ketemu nalarnya bagi banyak orang. Dan salah satu ritus tersebut adalah soal praktik mengajar yang ternyata bisa sama sakralnya dengan ibadah-ibadah yang lain.
Saat masih mondok, saya sudah kenal dengan beberapa guru “ajaib”. Hal-hal yang mereka lakukan saat itu (beberapa masih dilakukan sampai sekarang), akan memunculkan pertanyaan yang sama, “Emang digaji berapa, Pak? Kok mau-maunya melakukan hal-hal kayak begitu?”
Ada salah satu guru sepuh di pesantren tempat saya mondok yang ngajar dilaju dari luar kota. Usianya sudah 70-tahun saat saya masih sekolah. Dan beliau melakukannya tiap minggu. Mbah Abdun, begitu kami memanggilnya.
Beliau seorang hafiz yang artinya hapal di luar kepala 30 juz Al-Quran, mengajar beberapa mata pelajaran diniyah dari faroidh, fikih, sampai macam-macam. Jadi kalau malam beliau akan mengajar kami ngaji Al-Quran, sore harinya beliau akan ngajar ngaji kitab di kelas diniyah.
Meski sudah sepuh, Mbah Abdun adalah sedikit guru yang mampu mempertahankan selera humor pada usia senja. Hal yang saya pikir cukup ajaib untuk sosok sesenior beliau. Pernah suatu kali, ketika kami berada dalam kelas dan melihat jam menunjukkan pukul 5 sore, bel sekolah tidak kunjung berbunyi. Mbah Abdun berkali-kali melihat jam dan bingung kenapa suara bel pulang tidak juga dinyalakan dari kantor.
“Karena sudah jam pulang, ayo kita pulang saja, kita bikin bel sendiri,” kata Mbah Abdun.
Tentu saja murid satu kelas bingung mendengar kalimat “bikin bel sendiri” itu.
“Ayo,” ajak Mbah Abdun disambut dengan wajah-wajah celingak-celinguk murid-muridnya.
“Tirukan saya ya, Anak-anak?” kata Mbah Abdun lagi.
“Bismillah…” kata Mbah Abdun meminta murid satu kelas mulai menirukannya.
“Bismillahirrohmannirrohim,” suara satu kelas meski semua masih bingung.
“Teeeet…. Teeett…. Ayo,” teriak Mbah Abdun lagi.
Oalah, kami baru paham, ternyata “bikin bel sendiri” yang dimaksud Mbah Abdun adalah menyuarakan bel pulang pakai mulut sendiri-sendiri.
Kami pun melakukan instruksi Mbah Abdun.
“Teeet…. Teeet… Teeet,” pakai mulut sekitar 30-an anak di dalam kelas.
“Ya sudah. Bel sudah bunyi itu. Ayo kita pulang,” kata Mbah Abdun sambil beres-beres kitab di mejanya lalu keluar kelas. Meninggalkan kami dalam gelak tawa yang tak ada habisnya.
Meski usianya sudah sepuh, fisik Mbah Abdun sebenarnya cukup prima untuk mengajar kami. Tubuh dan tulang-tulangnya yang menua sama sekali tidak melunturkan semangat mengajar kepada kami. Saya ingat lagi, sangat jarang Mbah Abdun “mengosongkan” pelajarannya. Padahal beliau datang mengajar kami dari luar kota.
Terlebih perjalanan luar kota yang beliau lakukan tidak seperti saya sekarang yang cuma Jogja-Solo dan begitu nyaman tinggal naik Prameks. Jika dibandingkan dengan Mbah Abdun, jarak saya ini nggak ada seupil-upilnya. Mbah Abdun mengajar saya berangkat dari Jepara. Iya, Jepara yang itu. Yang di ujung utara Pulau Jawa. Jadi dalam satu minggu Mbah Abdun bisa beberapa kali bolak-balik Jepara-Solo.
Naik mobil sendiri? Dijemput santri?
Oh, tidak, beliau naik kendaraan umum. Mbah Abdun akan mulai naik angkot ke halte, lalu naik bus kecil ke Terminal Semarang, lalu dari Semarang naik bus besar ke Solo. Itu pun masih harus naik angkot lagi ke Pesantren saya. Dan beliau melakukannya sudah puluhan tahun. Bahkan dengan usia saya, periode bolak-balik Jepara ke Solo milik Mbah Abdun usianya jauh lebih tua.
Orang-orang boleh saja bertanya heran, “Buat apa melakukan itu semua, Mbah?”
Wajar saja pertanyaan itu muncul. Sudah barang tentu, pendapatannya ngajar—bahkan untuk membiayai perjalanan Mbah Abdun saja—tidak akan cukup. Jangankan cukup, bisa jadi beliau malah merugi secara ekonomi. Akan tetapi kadang memang ada banyak hal-hal yang tak bisa dinilai oleh uang.
Setahu saya, salah satu hal yang bikin Mbah Abdun mau melakukan itu semua adalah karena beliau pernah berjanji pada almarhum pendiri pesantren saya. Bahwa Mbah Abdun akan mengabdikan diri mengajar. Dan seperti halnya pendekar zaman Wiro Sableng dengan keilmuan yang tinggi, beliau pun memegang janjinya meski sudah puluhan tahun janji itu dijalaninya. Hebatnya, beliau sama sekali tak pernah berniat undur diri meski sudah dapat pekerjaan lain yang jelas lebih menghidupi keluarganya di Jepara.
Jika mengingat Mbah Abdun, saya akan ingat wejangan dari seorang guru saya yang lain, yang kira-kira bilang begini, “Jadi guru itu jangan mengharap duit dari ngajarnya. Seorang guru itu harus punya pendapatan lain. Soalnya kalau cuma hidup ngandalin duit dari ngajar, hatinya rawan nggak ikhlas. Kalau sudah begitu, ilmu nggak akan sampai ke muridnya. Ada yang nyampai pun bisa jadi ilmunya malah tidak manfaat.”
Barangkali memang pelajaran-pelajaran di dalam ruang kelas dari Mbah Abdun tidak semuanya sampai ke saya. Ya maklum, sebagai muridnya, saya termasuk murid yang mbeling. Sering membolos, kadang tidur di kelas, dan sudah barang tentu hanya sedikit materi-materi pelajarannya yang nyantol di saya—bukan hal yang patut dicontoh tentu saja.
Akan tetapi, bukan dari materi pelajarannya saya belajar banyak dari beliau. Ada semangat yang saya tak bisa raih dan dapatkan contohnya sejak saya keluar dari pesantren. Pelajaran-pelajaran Mbah Abdun memang tidak banyak yang bisa saya pahami ketika di dalam kelas saat sekolah dulu.
Akan tetapi dari contoh yang beliau tunjukkan ke murid-muridnya, tanpa pernah berniat pamer, tanpa pernah ngeluh “wah, saya capek nih”, beliau membuat seorang dosen dari Jogja, rela beberapa hari bolak-balik ke Solo karena ingin meneladani lelaku yang sudah dijalaninya sampai sekarang. Memang betul, sebaik-baiknya mengajari orang adalah dengan perilaku, bukan dengan ceramah atau omongan belaka.
Begitu saya menyelesaikan cerita tentang Mbah Abdun ke teman saya yang tadi bertanya, teman itu terdiam lama. Lalu senyum gantian muncul dari wajahnya.